Parkiran belakang sekolah beralih fungsi menjadi gudang semenjak tahun pertama Laura menginjak kaki di SMA Gharda, adanya pembangunan juga perluasan area sekolah membuat area yang seluas lapangan basket itu ditinggal begitu saja sebab semua aktivitas dipindahkan. Laura berbelok di ujung koridor setelah kantin melewati lorong jalan tembusan yang hanya muat dua orang jika dipaksakan.
Langkah kaki Laura melambat ketika sayup-sayup ia mendengar orang berdebat. Laura merapatkan badan ke dinding bangunan, menajamkan telinga.
"Lo gila sih!"
"Gue cuma ngasih doang! Sesuai request. Mana tau kalau itu bocah sampe OD?"
"Nggak-nggak, lo gila! Cliff punya listnya! Gak mungkin dia ngasih izin ke elo."
Suara tawa dibuat-buat terdengar walau tidak yakin siapa orang itu Laura bisa membayangkan ekspresinya. "Kenapa lo jadi sok tau gini? Lo akrab sama Cliff? Lo siapanya Cliff? Keluarga? Adek? Apa?"
"Anjing!"
"Lo yang anjing!"
Tidak ada yang Laura dengar lagi, perempuan itu memutuskan untuk mengintip memastikan apa yang terjadi. Laura terhenyak melihat seorang laki-laki berpawakan kekar, rambutnya acak-acakan meskipun berpotongan pendek, mengenakan kaos berwarna hitam dengan celana jeans belel yang memiliki sobekan di beberapa bagian tengah mencengkram kerah seragam lawan bicaranya.
"Sergio!"
Laki-laki kekar itu refleks menoleh ke sumber suara sementara Sergio mengambil kesempatan untuk melepaskan diri. Mendorong badan laki-laki yang tentu saja lebih besar dan berotot dari dirinya hingga pandangan lelaki itu kembali fokus pada Sergio. "Cabut lo!"
Sergio tidak mengatakan apa-apa lagi dan berderap ke arah Laura yang tampak pucat. Dia segera meraih pergelangan tangan perempuan itu, buru-buru mengajaknya pergi.
Hingga mereka berada dalam jarak aman, Sergio melepaskan genggamannya. Berkacak pinggang menatap kesal Laura. "Lo ngapain sih?!"
Laura mengerjap memperhatikan Sergio sejenak sebelum mengembuskan napas panjang. "Buruan balik ke kelas, lo dicari Pak Parno." Laura berbalik kembali berjalan gontai entah mengapa degup jantungnya tidak bisa kembali normal, ada rasa takut entah berasal dari mana tiba-tiba saja menyergap sejak ia meneriakan nama Sergio.
"Laura!"
Laura berhenti, berbalik menghadap Sergio yang mengusap wajahnya kasar sebelum kembali mendekat dan menarik lengannya paksa. "Ikut gue."
***
Laura duduk di salah satu kursi plastik yang ada di kantin berusaha menenangkan diri. Sementara dari jarak sepuluh meter Sergio tidak melepaskan pandangan dari Laura sembari menunggu pesanan teh manis hangat untuk perempuan itu.
"Ini Mas, tehnya," kata Umi seraya memberikan gelas pada Sergio. Sergio memberikan selembar uang lima puluh ribuan. "Sekalian gorengan yang diambil Alan tadi ya, Mi. Kembalinya ambil aja."
"Siap Mas. Makasih ya?"
Sergio tersenyum kecil lalu berjalan menuju Laura, meletakkan gelas yang ia pegang ke depan perempuan itu sementara ia duduk di seberangnya.
Laura menatap teh hangat pemberian Sergio. "Gue balik ke kel—"
"Minum dulu."
"Lo aja."
"Gue gak doyan."
Laura yang tadinya akan beranjak kembali duduk ketika Sergio justru berdiri dan melangkah pergi begitu saja. Laura memperhatikan punggung lelaki itu hingga menghilang di belokan tangga, pandangannya kemudian beralih kembali pada teh hangat pemberian Sergio.
Laura menoleh ke arah Umi yang ternyata tengah memperhatikan dirinya. "Umi..."
"Ya Neng?"
"Ini gak dikasih apa-apa kan, sama dia?" tanyanya sambil menunjuk gelas teh hangat.
Umi terkejut tapi detik kemudian terkekeh pelan. "Dikasih apaan toh, Neng? Mas Sergio mah orang baik," kata Umi masih tersenyum lalu kembali membuat adonan gorengan favorit murid SMA Gharda.
Laura menatap gelas tersebut begitu lama, memikirkan banyak hal hingga suara bel pergantian jam pelajaran menyadarkannya. Ia buru-buru menyeruput teh tersebut hingga seperempat bagian sebelum berjalan cepat kembali ke kelas.
"Lo dari mana sih?" pertanyaan April adalah hal pertama yang Laura dengar setelah perempuan itu menginjakan kaki kembali di kelas. Pandangan Laura tertuju ke baris paling belakang, tempat Sergio seharusnya berada sebelum kembali menatap April dan duduk di sampingnya. "Dari toilet."
"Toilet mana? Gue sama Citra habis dari toilet juga."
"O-oh... yang bawah. Sekalian soalnya—"
"Ketemu anak-anak?"
Laura menatap Citra lalu mengedikan bahu. "Gak ada. Gak tau deh di mana."
***
"Tadi gue ngobrol sama Umi." Lemparan tinggi yang dilakukan Evan dari jarak jauh berhasil membuat bola masuk ke ring dengan mulus. Evan berbalik setelah mengangguk mengapresiasi diri sendiri, bergabung dengan Sergio yang duduk meluruskan kaki di tepi lapangan.
Janji main basket bersama di lapangan dekat apartemen Angga rupanya hanya ditepati oleh Evan dan Sergio. Alan menggantikan jam kerja salah satu rekannya, katanya lumayan dapat uang tambahan sedangkan Angga entah di mana keberadaan lelaki itu.
Sergio tidak begitu tertarik dengan bahan obrolan Evan hingga kalimat berikutnya berhasil menyita perhatian. "Lo ngapain berduaan sama Laura?"
"Umi... bilang gitu?"
Evan terkekeh lalu meneguk habis air mineral yang ia beli di mini market. "Ya kaga. Masa iya Umi ngegosip?"
Sergio mengernyit. "Terus?"
"Nebak aja." Evan mengulum senyum, tapi segera menjelaskan juga bagaimana tebakannya bisa benar. "Dari tadi lo ngeliatin Laura terus, pas di kelas."
Nama Laura sudah tidak pernah jadi bahasan di antara keduanya juga yang lain. Sama sekali tidak ada yang membahas tentang perempuan itu bahkan ketika Laura memiliki pacar baru— seorang kakak kelas, dua bulan setelah putus dengan Sergio.
Sergio manggut-manggut. Jawaban Evan tanpa sadar membuat lelaki itu gusar. Rasa khawatirnya bisa ia rasakan dengan jelas berkat penuturan Evan yang tadinya Sergio sangkal.
"Lo masih suka?"
Tidak butuh waktu lama untuk Sergio memastikan jawaban atas pertanyaan tersebut. "Sama sekali enggak."
"Terus?"
"Gue ketemu Ben..." Sergio menggantungkan kalimatnya, helaan napas panjang dan berat menjadi pertanda tidak bagus. "Ben gak sengaja liat Laura."
"Hah?"
Evan tahu tujuan Sergio ketika memisahkan diri dari gerombolan temannya di jam kosong tadi adalah untuk bicara empat mata dengan Ben. Mencari tahu apa yang harus ia ketahui dan meluruskan apa yang masih bisa dibenarkan. "Kenapa tiba-tiba ada Laura?"
Sergio menggeleng pelan. "Ben liat wajahnya Laura."
"Oke." Evan hati-hati dengan kalimatnya. Sebab sejauh yang ia tangkap tidak akan jadi masalah besar karena Laura adalah murid pada umumnya yang kemungkinan besar tidak sengaja lewat dan melihat Ben. "Jadi masalahnya.... apa?"
Sergio menelan ludah susah payah. Tidak ada yang salah dengan tindakan Laura menghentikan aksi Ben yang kemungkinan besar bisa menyebabkan wajah Sergio bonyok jika Laura tidak berteriak memanggil namanya.
Yang jadi masalah adalah ekspresi Sergio saat tahu orang yang mencegah dirinya babak belur adalah Laura. Ben bukan orang bodoh. Ben yang Sergio kenal adalah orang paling licik. Satu ekspresi panik di wajah Sergio jelas menunjukan cela yang menguntungkan untuk Ben.
Sergio tidak berlebihan dia adalah saksi mata bahwa Ben akan melakukan apa saja demi keuntungan pribadi sekalipun pikiran dan tindakannya salah total.