Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU
About Us  

         “Kau tidak perlu datang jika sedang sakit. Aku tidak mau dianggap sebagai pelaku kerja paksa.” Ronnie mengamati wajah Hayley yang pucat dan sedikit kusut. Memang benar, bawah mata Hayley berwarna hitam, matanya sembab, dan bibirnya pucat.

             Hayley menggeleng. “Aku hanya kurang tidur.”

            Will menepati janjinya untuk mengantar Hayley pagi tadi. Dan hal pertama yang Will ucapkan adalah, “Apakah ini karena ulahku?” Tatkala melihat kondisi Hayley.

Will merasa bersalah dan berjanji untuk tidak mengajak  Hayley keluar tengah malam lagi. Tetapi Hayley dengan cepat menolak, “Tidak perlu. Aku suka keluar malam seperti itu. Rasanya menenangkan.”

Apalagi jika bersamamu.

Ronnie menatap Will dan Hayley dengan tatapan—entahlah sedikit sinis—ketika mereka sampai di toko buku.

“Kurang tidur karena Will?” tanya Ronnie memicingkan mata. Will sudah pergi entah kemana, Hayley tidak berani bertanya.

“Ya, tapi bukan seperti yang kau bayangkan,” balas Hayley cepat-cepat. Ia sedang menata buku-buku baru yang baru dikirim penerbit.

“Dan hal seperti apa yang kubayangkan tepatnya?” tanya Ronnie lagi, sengaja. Membuat Hayley ingin menarik kacamata tebal itu dan melemparnya jauh-jauh.

“Bersetubuh,” jawab Hayley datar. Ia lalu pergi ke belakang untuk merapikan diri sebelum menyambut pelanggan. Goldie’s Bookshop akan buka sekitar sepuluh menit lagi.

        “Will tidak seperti yang kau bayangkan,” ucap Ronnie tiba-tiba membuat langkah Hayley terhenti.

            Hayley berbalik. “Maksudmu?”

         “Kau tidak akan percaya jika hal itu keluar dari mulutku. Kau harus mengetahuinya sendiri.” Kini giliran Ronnie yang berjalan menjauh tanpa menjelaskan maksud dan arti dari perkataannya.

           Dahi Hayley mengerut. Ia berpikir keras, ucapan Ronnie layaknya teka-teki yang harus dipecahkan. Mengapa Ronnie berkata begitu? Bukankah Will dan Ronnie teman dekat?

            Tapi tunggu, selama Hayley bekerja di sini, ia sama sekali belum pernah melihat Ronnie dan Will mengobrol. Apa yang sebenarnya terjadi?

            Hujan deras mengguyur The Cotswolds siang itu. Langit yang biasanya cerah kebiruan kini berubah menjadi abu kelam. Pelanggan pun menjadi sedikit berkurang, tapi hal tersebut sama sekali tak mempengaruhi semangat Hayley untuk terus bekerja. Ia dan Ronnie tidak mengobrol sepanjang siang. Mereka sibuk, berpura-pura menjadi profesional.

            Bel pintu berdenting; ada seorang pelanggan yang masuk. Hayley mendongak untuk menyambut pelanggan itu dan ia langsung tersenyum lebar ketika pelanggan itu adalah Jane. Ia tidak melihat Jane di rumah pagi tadi. Mungkin Jane sudah ke kebun dari pagi buta.

            “Jane, mencari genre tertentu?” sapa Hayley.

            Jane mendekat ke meja kasir sambil menggeleng. “Kau cantik sekali berdiri di meja kasir. Pantas saja orang-orang di kebun tadi membicarakanmu.” Ia membalas senyuman Hayley dengan senyum yang tak kalah lebar. “Aku tidak sedang mencari buku. Sebenarnya aku kesini ingin memberitahumu bahwa aku akan ke London selama tiga hari,” lanjut Jane.

            “London?” tanya Hayley. “Ya Tuhan, kau akan mengunjungi Madison?” Hayley sedikit memekik.

            Jane tampak berpikir selama beberapa saat. “Ya, tapi kau tak perlu khawatir. Ini hanya kunjungan rutin. Tidak ada sesuatu yang terjadi.”

            “Kenapa kau tidak memberitahuku nanti saja di rumah?” tanya Hayley yang sudah curiga.

            “Aku benar-benar harus berangkat sekarang. Oh iya hampir lupa, Matthew akan ikut denganku,” jawab Jane lalu menyentuh tangan Hayley yang berada di atas meja.

            Hayley tahu sesuatu telah terjadi. Dari kejadian tadi malam ketika Jane dan Matthew menangis di rumah Matthew, ia tahu betul kedua orang itu sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, untuk sekarang, ia ingin bermain aman; menjadi orang polos yang tak tahu apa-apa untuk mengetahui semua itu dengan caranya nanti.

            “Hayley, katakan sesuatu.” Jane cemas melihat Hayley yang hanya diam.

            Hayley berjalan memutari meja kasir dan memeluk tubuh Jane dengan erat. “Kumohon, jika sesuatu terjadi pada Madison, aku ingin mengetahuinya. Berhati-hatilah, aku tenang jika kau tidak pergi sendirian.”

            Jane balas memeluk Hayley. “Kau tak apa aku tinggal sendiri?”

            Kekehan halus keluar dari mulut Hayley. “Aku ini sudah bukan remaja, Jane. Kau tak perlu mengkhawatirkanku.”

            Mereka berpelukan lumayan lama sampai Ronnie berdeham karena pelanggan sudah mengantri di belakang mereka dan masing-masing berwajah kesal.

            “Baiklah, hati-hati di jalan.” Hayley melambaikan tangan sampai Jane menghilang di balik pintu dan cepat-cepat kembali ke belakang meja kasir untuk melayani pelanggan sebelum bos besarnya mengamuk.

            Ronnie tetap tidak mengajaknya mengobrol sampai Goldie’s Bookshop tutup. Kecuali untuk hal-hal tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan seperti ‘Hayley, cek rak fiksi’, ‘Hayley, taruh laporan keuangan kemarin di mejaku’, ‘Hayley, ubah urutan best-seller di jendela’. Berkurangnya keramahan Ronnie membuat Hayley kurang nyaman. Ia tidak tahu pasti mengapa Ronnie menjadi seperti itu, yang ia tahu semua itu berawal sejak Hayley bertanya tentang Will.

            “Tutup mesin kasir dengan taplak putih di laci,” perintah Ronnie. Hayley menurutinya. Ia menutup meja kasir dan setelah selesai langsung bersiap untuk berpamitan.

            “Ronnie—“

            “Selamat malam,” potong Ronnie tanpa menoleh ke arah Hayley. Kali ini ia sibuk menghitung hasil penjualan hari ini di depan laptop.

            Karena terlalu lelah untuk mengemis penjelasan, Hayley hanya memutar bola matanya malas dan berjalan pergi keluar toko. Di luar, jalanan masih dibasahi air hujan. Air hujan pun masih turun dari ujung-ujung atap toko, membasahi rambut pirang Hayley yang tidak tertutup tudung jaket.

            Hayley baru saja akan menarik tudung jaketnya untuk menutupi kepala tatkala tangan seseorang sudah mendahuluinya melakukan itu. Ia menoleh, dan pandangannya langsung bertemu dengan pandangan Will Morrison. Hatinya langsung dikerubungi rasa suka cita yang tak terdeskripsikan ketika menyadari kehadiran Will disampingnya.

            “Rambut basah karena air hujan bisa membuat kepalamu pusing.” Will sendiri mengenakan topi coklat muda untuk menutupi kepalanya.

            “Toko buku sudah tutup, kau telat 15 menit.” Hayley memasukkan helaian rambutnya ke dalam tudung.

            “Aku tidak berniat ke toko buku,” balas Will.

            Hayley menoleh, menatap Will dengan bingung. “Lalu?”

            “Aku ingin ke toko roti Miss Tiana. Disana rotinya enak-enak, cocok untuk makan malam,” jawab Will. Hayley baru sadar jika sejak tadi Will menenteng buku catatan kecil di tangannya.

            “Oh begitu. Baiklah, aku duluan ya.” Hayley sudah hendak berjalan pergi ketika lengannya ditahan oleh tangan Will. “Ada apa?” tanya Hayley dengan alis mengerut.

            “Itu ajakan.”

            “Hah?” Sekarang Hayley yakin jika ekspresi wajahnya terlihat seperti orang bodoh.

            “Aku mengajakmu ke toko roti Miss Tiana. Itupun kalau kau mau, aku tidak memaksa seperti tadi malam,” jelas Will akhirnya meskipun sedikit terbata-bata. Sekilas, Hayley melihat semburat merah di pipi pria itu.

            Jujur saja, Hayley ingin tertawa melihat ekspresi malu-malu Will. Pria di depannya seperti seorang remaja yang mengajak perempuan yang ia taksir untuk makan bersama. Tapi sebisa mungkin Hayley menahan tawa itu untuk keluar dan berdeham lumayan keras untuk menetralkan wajahnya.

            “Kalau rotinya enak-enak, aku tidak bisa menolak.” Hayley tersenyum simpul.

Will menghela nafas lega mendengarnya. Dengan pelan, ia menawarkan lengannya untuk digandeng Hayley layaknya pria-pria bangsawan di film drama periode kesukaan Jane. Hayley dengan senang hati mengaitkan tangannya di lengan kokoh Will dan mereka pun berjalan menuju toko roti tanpa menyadari tatapan kecewa Ronnie dari balik jendela toko buku.

Hayley lelah berdiri seharian di balik meja kasir. Dan hal terakhir yang diinginkannya adalah berjalan jauh menuju suatu tempat. Meskipun Hayley tidak mengatakannya keras-keras, tapi Will langsung peka.

“Tunggu di sini,” ucap Will tiba-tiba. Ia lalu berjalan menuju rumah-rumah yang berderet di dekat tempat mereka berdiri.

“Kau mau apa?” tanya Hayley.

Will tidak menjawab, tubuhnya menghilang di belokan. Membuat Hayley was-was jika Will meninggalkannya di tengah gelapnya malam seperti ini. Namun, rasa was-wasnya hilang ketika Will kembali dengan sepeda kuno berwarna abu-abu yang memiliki dua tempat: satu untuk pengayuh dan satu untuk orang di bagian belakang.

Will tersenyum bangga. “Silakan naik, Nona.”

“Will? Milik siapa ini? Darimana kau mendapatkannya?” cerocos Hayley meskipun senang karena ia tidak harus berjalan.

Will baru menjawab ketika Hayley sudah naik ke bagian belakang sepeda dan meneruskan perjalanan. “Sepeda ini milik seseorang yang mengurus Mrs. Patrick yang tua. Dia shift malam hari ini, jadi sepedanya tidak akan digunakan sampai pukul empat pagi.”

“Kau mencurinya.” Itu pernyataan bukan pertanyaan.

“Tidak juga,” bantah Will sambil terus mengayuh sepeda. “Ini meminjam. Bedanya, aku tidak bilang.”

Hayley mengeratkan pegangannya pada pinggang Will. Kali ini, ia gagal untuk menahan tawa. Jadi, tanpa bisa ditahan lagi, ia tertawa sangat keras. Membuat Will tersentak kaget.

“Maaf,” ucap Hayley sambil terus tertawa. Perutnya sedikit sakit tapi ia tidak peduli.

Tak lama kemudian, Will ikut tertawa. Membuat tawa Hayley bertambah semakin keras sampai matanya berair.

Mereka tertawa sepanjang jalan tanpa memedulikan tatapan beberapa orang yang menganggap mereka aneh. Bahkan Hayley tidak marah ketika Will tak sengaja membuat mereka terciprat air hujan di aspal yang menggenang. Yang ada, ia malah semakin tertawa.

Hayley tertawa karena Will mencuri sepeda tua milik pengasuh.

Tetapi, Will tidak tertawa karena sebab yang sama. Ia tertawa karena mendengar tawa indah Hayley di telinganya. Sedikit yang Hayley tahu, ini pertama kalinya Will tertawa lepas sejak kejadian itu.

***

Will benar, roti-roti buatan Miss Tiana benar-benar luar biasa.

            Meskipun mereka tidak makan langsung di tempat, karena terlalu penuh walaupun hari sudah mulai larut, Hayley tetap senang ketika Will mengajaknya makan di tempat kemarin malam mereka mengobrol, jembatan sungai Eye.

            “Kau mau lagi?” tawar Will. Menyodorkan roti isi coklat miliknya pada Hayley.

            “Tidak terima kasih, aku sudah kenyang,” tolak Hayley. Ia duduk di sisi jembatan yang seperti tembok, dengan lengan Will yang melingkar di pinggangnya. Menahannya agar tidak terjatuh. Setengah mati Hayley membuat dirinya setenang mungkin dengan perlakuan Will tersebut. Ia tidak takut terjatuh ke sungai karena ulahnya sendiri, melainkan takut terjatuh karena perlakuan Will padanya.

            “Buku apa itu?” tanya Hayley setelah hanya ada keheningan selama beberapa saat.

            Will menatapnya bingung. “Buku apa?”

            “Buku catatan itu, yang sekarang mungkin ada di saku jaketmu,” jawab Hayley ragu-ragu.

            Will langsung paham. Ia menegakkan tubuh dengan satu tangan yang masih berada di pinggang Hayley. Will tidak duduk seperti Hayley, ia tetap berdiri di sisi jembatan.

            Will mengeluarkan buku itu dari saku jaketnya—dugaan  Hayley benar. “Aku menyebutnya Buku Ide. Aku menulis semua ide-ideku untuk menulis di dalam sini.”

            Ketika Hayley hendak menyentuhnya, Will buru-buru menjauhan buku itu dari jangkauan. “Maaf, aku masih belum bisa merelakan buku ini disentuh orang lain.”

            Meskipun agak kecewa, Hayley paham bagaimana rasanya. Jadi, ia mengangguk penuh arti dan tersenyum simpul.

            “Kau tidak kesulitan menulis lagi hari ini?” tanya Hayley mengalihkan topik pembicaraan.

            Will menggeleng sambil tersenyum menatap Hayley. “Tidak, tidak sama sekali.”

            “Lalu, mengapa kau mengajakku makan roti?” tanya Hayley lagi.

            “Menurutku itu lebih baik daripada langsung pulang ke rumah dari tempat kerja dan tak melakukan apapun lagi,” sarkas Will yang membuat Hayley secara spontan memukul lengan pria itu.

            “Aku ini wanita sibuk, Willy. Kau tidak tahu apa-apa.” Hayley membela diri. Membuat Will terkekeh geli.

            “Apa yang terjadi?” tanya Will setelahnya.

            “Maksudmu?”

            “Kau terlihat kesal dan... sedih. Ketika keluar dari toko buku tadi. Ronnie memberikanmu kesulitan?” tebak Will yang sayangnya benar tapi Hayley terlalu enggan untuk berkata jujur.

            “Tidak juga. Aku hanya sedih karena Jane dan Matthew ke London hari ini sampai tiga hari kedepan. Rasanya akan sepi jika mereka tidak ada. Aku sudah terbiasa dengan kehadiran mereka dan keramaian yang mereka ciptakan. Jadi rasanya... aneh,” jelas Hayley yang tidak sepenuhnya berbohong.

            Ia tidak mungkin mengatakan ‘Ronnie menjadi agak menjauhiku sejak kita dekat’ kan?

            Will hanya mengangguk meskipun Hayley tahu jika pria itu tidak puas dengan jawaban yang diberikannya. Beberapa saat kemudian, Will ikut duduk di samping Hayley, masih dengan satu lengannya yang melingkar di pinggang wanita itu. Kali ini lebih erat.

            “Apa kau pernah merasa menyesal, Hayley, dengan keputusan yang kau buat sendiri?” tanya Will tiba-tiba. Aroma tubuh pria itu kini semakin tercium oleh hidung Hayley karena jarak mereka yang lebih dekat dari sebelumnya.

            “Pernah, lebih sering dari yang orang-orang kira,” jawab Hayley. Ia lalu menoleh, mengamati rahang kokoh Will yang ia kagumi. Will terlihat sangat sempurna walaupun dari arah samping, Hayley tak tahu cara mendeksripsikan kesempurnaan wajah Will dari arah depan. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” lanjut Hayley.

            Will ikut menoleh sehingga kini mereka saling bertatapan dengan jarak yang sangat dekat. Meskipun ini bukan kali pertama mereka berdekatan seperti ini, tetapi jantung Hayley tidak terbiasa, tetap berdebar tak karuan.

            “Tidak apa-apa. Aku hanya memastikan jika aku punya teman dalam penyesalan ini,” jawab Will tersenyum usil.

            “Sialan,” balas Hayley mencubit pinggang Will. “Kau ini benar-benar di luar dugaan, Willy. Aku tidak tahu apa isi otakmu.”

            “Itu bagus. Mengerikan jika kau tahu isi otakku, karena pasti kau akan langsung lari sekarang.” Ekspresi Will kini berubah serius, namun kedutan di ujung bibirnya menandakan bahwa ia menahan tawa. Apalagi melihat ekspresi Hayley yang menjadi sedikit ketakutan.

            “Siapa kau? Pembunuh bayaran?” tebak Hayley sembari berusaha melepaskan tangan Will di pinggangnya.

            “Bukan.” Will menggeleng. “Aku pencuri sepeda.”

            Hayley tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Sampai-sampai tak sadar jika ia hampir terjatuh dan Will dengan sigap menahan tubuhnya serta menariknya ke dalam pelukan agar tubuh Hayley tetap seimbang selama tertawa.


Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Toko Kelontong di Sudut Desa
5667      1998     3     
Fantasy
Bunda pernah berkata pada anak gadisnya, bahwa cinta terbaik seorang lelaki hanya dimiliki oleh ayah untuk anaknya. Namun, tidak dengan Afuya, yang semenjak usia tujuh tahun hampir lupa kasih sayang ayah itu seperti apa. Benar kata bundanya, tetapi hal itu berlaku bagi ibu dan kakeknya, bukan dirinya dan sang ayah. Kehidupan Afuya sedikit berantakan, saat malaikat tak bersayapnya memutuskan m...
REGAN
10219      3051     4     
Romance
"Ketika Cinta Mengubah Segalanya." Tampan, kaya, adalah hal yang menarik dari seorang Regan dan menjadikannya seorang playboy. Selama bersekolah di Ganesha High School semuanya terkendali dengan baik, hingga akhirnya datang seorang gadis berwajah pucat, bak seorang mayat hidup, mengalihkan dunianya. Berniat ingin mempermalukan gadis itu, lama kelamaan Regan malah semakin penasaran. Hingga s...
Between the Flowers
758      419     1     
Romance
Mentari memilih untuk berhenti dari pekerjaanya sebagai sekretaris saat seniornya, Jingga, begitu menekannya dalam setiap pekerjaan. Mentari menyukai bunga maka ia membuka toko bersama sepupunya, Indri. Dengan menjalani hal yang ia suka, hidup Mentari menjadi lebih berwarna. Namun, semua berubah seperti bunga layu saat Bintang datang. Pria yang membuka toko roti di sebelah toko Mentari sangat me...
Gray November
3825      1314     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
6971      2050     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
graha makna
5856      1835     0     
Romance
apa yang kau cari tidak ada di sini,kau tidak akan menemukan apapun jika mencari ekspektasimu.ini imajinasiku,kau bisa menebak beberapa hal yang ternyata ada dalam diriku saat mulai berimajinasi katakan pada adelia,kalau kau tidak berniat menghancurkanku dan yakinkan anjana kalau kau bisa jadi perisaiku
Kembali Utuh
802      482     1     
Romance
“Sa, dari dulu sampai sekarang setiap aku sedih, kamu pasti selalu ada buatku dan setiap aku bahagia, aku selalu cari kamu. Begitu juga dengan sebaliknya. Apa kamu mau, jadi temanku untuk melewati suka dan duka selanjutnya?” ..... Irsalina terkejut saat salah satu teman lama yang baru ia temui kembali setelah bertahun-tahun menghilang, tiba-tiba menyatakan perasaan dan mengajaknya membi...
LATHI
1995      812     3     
Romance
Monik adalah seorang penasihat pacaran dan pernikahan. Namun, di usianya yang menginjak tiga puluh tahun, dia belum menikah karena trauma yang dideritanya sejak kecil, yaitu sang ayah meninggalkan ibunya saat dia masih di dalam kandungan. Cerita yang diterimanya sejak kecil dari sang ibu membuatnya jijik dan sangat benci terhadap sang ayah sehingga ketika sang ayah datang untuk menemuinya, di...
Susahnya Jadi Badboy Tanggung
6075      1910     1     
Inspirational
Katanya anak bungsu itu selalu menemukan surga di rumahnya. Menjadi kesayangan, bisa bertingkah manja pada seluruh keluarga. Semua bisa berkata begitu karena kebanyakan anak bungsu adalah yang tersayang. Namun, tidak begitu dengan Darma Satya Renanda si bungsu dari tiga bersaudara ini harus berupaya lebih keras. Ia bahkan bertingkah semaunya untuk mendapat perhatian yang diinginkannya. Ap...
Metamorf
151      125     0     
Romance
Menjadi anak tunggal dari seorang chef terkenal, tidak lantas membuat Indra hidup bahagia. Hal tersebut justru membuat orang-orang membandingkan kemampuannya dengan sang ayah. Apalagi dengan adanya seorang sepupu yang kemampuan memasaknya di atas Indra, pemuda berusia 18 tahun itu dituntut harus sempurna. Pada kesempatan terakhir sebelum lulus sekolah, Indra dan kelompoknya mengikuti lomba mas...