Read More >>"> Perhaps It Never Will (Chapter 7) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU
About Us  

“Dia sama sekali tak mengenalimu? Bagaimana bisa? Kau ini seorang bintang, Hayley. Rasanya tak percaya jika ada seseorang yang ‘sama sekali’ tidak mengenalimu,” cerocos Jane ketika Hayley tiba di rumah dan menceritakan semua yang terjadi hari ini tanpa terlewat. Bagaimanapun juga Jane adalah sahabatnya, human diary-nya.

Sepulangnya dari toko buku, Jane sudah menunggunya di ruang makan dengan sepiring roti bakar coklat dan teh hangat. Hayley tak henti-hentinya bersyukur dipertemukan dengan orang seperti Jane. Tanpa basa-basi karena perutnya yang sudah keroncongan, ia menghabiskan hidangan itu hanya dalam waktu beberapa menit saja.

“Maksudku aku senang orang-orang di sini tidak benar-benar mengenali siapa aku. Tapi, jika soal Will, aku tidak bisa menerima.” Hayley menyeruput teh hangat di tangannya. Matanya menerawang ke arah luar jendela. “Selama berminggu-minggu aku membayangkan bagaimana pertemuanku dengan Will nanti jika takdir menyatukan kami kembali. Aku berlari ke pelukannya dan dia balas memelukku sambil berbisik, ‘Aku juga mencarimu selama ini’. Lalu kami berciuman dan hidup bahagia selamanya.”

Jane menatap nanar Hayley. “Kedengarannya seperti mimpi.”

“Aku sama sekali tidak mengira bahwa aku akan membenci kalimat ‘Maaf, apakah aku mengenalmu?’ sebesar ini sekarang. Rasanya seperti ditampar, aku seperti orang bodoh yang mengharapkan kebahagiaan semu.” Kepala Hayley kini tenggelam di antara kedua tangannya yang dilipat di atas meja. Jika bisa, ia ingin menenggelamkan seluruh tubuhnya.

“Mungkin dia memiliki penyakit pikun—“                        

“Tidak mungkin. Dia berumur sama sepertiku. Sepertinya,” potong Hayley menghela nafas lelah. “Aku tidak tahu, Jane. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa-apa tentang William Morrison yang aku temui di toko buku tadi. Aku hanya tahu Will, seseorang yang menyelamatkanku di bandara,” lanjutnya meracau.

Jane bangkit dari kursinya di seberang Hayley. “Ayo, kuantar ke kamar. Waktunya istirahat.”

Hayley menurut. Tubuhnya terlalu lelah untuk membantah. Ia menggandeng lengan Jane selama berjalan menuju kamarnya di lantai atas.

“Selamat malam, Hayley.” Jane mengusap dahi Hayley yang kini sudah merebahkan diri di atas ranjang. Kedua mata Hayley belum tertutup sempurna, tapi gadis itu tak kuat lagi untuk membukanya. Sapuan lembut tangan Jane di dahi membuatnya perlahan melayang ke alam mimpi. Sampai-sampai ia bingung dengan perkataan terakhir Jane yang terdengar samar-samar. “Will butuh waktu, Hay. Terlalu banyak hal yang ditanggungnya sekarang.”

Ah, mungkin itu perkataan Jane versi mimpi.

***

Pagi ini Jane sudah pergi ke kebun. Meninggalkan sarapan dan sepucuk surat yang memberitahu Hayley bahwa Matthew sudah menunggunya di persimpangan. Rupanya Matthew ingin mengantar Hayley bekerja lagi pagi ini. Hal itu membuat mata Hayley tiba-tiba digenangi air. Ia sudah kehilangan figur seorang Ayah sejak usianya 10 tahun—dimana seharusnya anak seumuran dirinya mendapat kasih sayang yang penuh.

Kehadiran Matthew yang tak terduga di hidupnya membuatnya benar-benar bersyukur. Ia mengusap air matanya sembari tersenyum lalu melangkah keluar rumah Jane setelah sebelumnya mengunci pintu. Benar saja, Matthew sudah berdiri di persimpangan dengan mengenakan rompi kulit kesayangannya. Rambut putihnya disisir rapi ke samping kanan kali ini. Ia terlihat sedang menggenggam koran di tangannya.

“Matt! Pagi!” sapa Hayley ceria.

Matt membalas sapaan ceria Hayley dengan anggukan dan senyuman hangat.

“Kau tak perlu mengantarku. Aku sudah cukup merepotkanmu kemarin,” lanjut Hayley merasa bersalah meskipun senang.

Matt mengibaskan tangan dan mulai mengajak Hayley untuk berjalan. “Aku memang biasa jalan pagi. Bukan masalah.”

Jalanan pagi ini banyak digenangi air. Hayley tidak tahu pasti apakah tadi malam turun hujan atau tidak. Ia tertidur sangat lelap. Mungkin karena rasa lelah dan kecewa yang menguasainya kemarin.

“Bagaimana? Ronnie memperlakukanmu dengan baik 'kan?” tanya Matthew ketika Goldie’s Bookshop sudah terlihat dari kejauhan.

“Sangat baik. Aku senang bekerja di sana.” Hayley menggandeng lengan Matt. “Sejak kecil aku memang ingin sekali bekerja di toko buku. Tapi karena jadwal syutingku yang padat, keinginanku yang satu ini lepas dari jangkauan.”

Matthew terkekeh, membuat guratan di wajahnya semakin terlihat. “Kau ini aneh sekali. Orang-orang di luar sana rela membunuh demi menjadi aktor hebat sepertimu, tapi kau malah ingin menjadi pegawai di toko buku.”

Hayley mengendikkan bahu. Andai saja Matthew tahu dunia perfilm-an lebih kejam dibandingkan dengan menata buku di rak best-seller atau sesuai genre. Matthew juga pasti akan lebih memilih menjadi pegawai di toko buku.

Ronnie sudah sibuk membersihkan jendela ketika Hayley dan Matthew masuk ke dalam. Ia tersenyum menyambut kedatangan mereka.

“Tumben sekali kau datang lagi. Biasanya hanya satu minggu sekali,” ucap Ronnie pada Matthew.

“Aku hanya mengantar Hayley. Tidak membeli buku,” balas Matthew tetapi dengan mata yang menelisik ke rak-rak buku. Takut-takut ada buku baru yang menarik.

“Terima kasih banyak, Matt, sudah mau mengantarku. Itu sangat berarti.” Hayley memeluk Matt secara singkat lalu berjalan ke arah belakang meja kasir—tempat ia akan menghabiskan waktu seharian penuh.

Matthew mengangguk kaku lalu berbalik badan ke arah kedatangan mereka tadi. Senyum tipis menghiasi wajahnya selama perjalanan kembali ke peternakan. Ia senang—senang tidak sendirian lagi.

Selepas Matthew pergi, Hayley langsung dibebani oleh banyak tugas; mulai dari membereskan kardus-kardus buku, menyapu lantai, membersihkan rak-rak, dan mengoperasikan meja kasir. Ronnie pun tak kalah sibuk darinya, pria berkacamata tebal itu mondar-mandir mengecek barang dan menerima telepon tanpa henti.

Pelanggan berdatangan silih berganti. Namun, Will tak juga memunculkan diri. Hayley benar-benar mengharapkan kedatangan Will lagi, masih banyak misteri tentang pria itu yang harus dipecahkan olehnya.

“Hayley, bisa tolong ambilkan koran baru di kotak surat? Aku butuh sesuatu untuk menyegarkan otak,” pinta Ronnie sambil memijat dahi. Ia terlihat sangat lelah padahal jam baru menunjukkan pukul sebelas siang.

Hayley berjalan keluar toko. Kotak surat Goldie’s Bookshop sudah benar-benar penuh, ia mengingatkan diri untuk membereskannya nanti. Matanya langsung menangkap koran baru yang dimaksud Ronnie di paling ujung. Dengan hati-hati Hayley mengambilnya.

Ia tidak pernah merasa begitu tertarik untuk membaca koran sebelumnya. Namun entah kenapa, kali ini dorongan untuk membuka gulungan koran baru itu begitu kuat. Hingga pada akhirnya tanpa sadar koran itu sudah terbuka lebar dan hal pertama yang dilihatnya di atas kertas itu adalah foto dirinya sendiri.

Hayley menjatuhkan koran itu ke tanah. Mulutnya menganga bersamaan dengan degup jantungnya yang berdetak tak karuan. Kepalanya serasa berputar dan tubuhnya gemetar. Dengan refleks ia menyandarkan diri ke tembok agar tubuhnya tidak ikut jatuh ke tanah.

Apa yang dilihatnya benar-benar di luar dugaan. Tidak cukupkah bagi Logan untuk membuat hidupnya menderita dan terpaksa harus mengasingkan diri?

Karena kali ini, iblis tak bertanduk itu kembali membuat pernyataan fiktif yang merugikannya.

“Logan Anderson: Jika memang benar Hayley Lexington kabur ke London, aku tidak peduli. Dia sudah cukup memanfaatkanku untuk kemajuan karirnya sendiri. Aku mencintai Jessie sejak lama, tapi demi kemajuan karir Hayley waktu itu, aku rela pura-pura jatuh cinta dengannya. Itu pengalaman buruk.”

Hayley memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sakit. Rasanya seperti ada yang menahannya untuk tidak bernafas. Susah payah ia menahan tubuh agar tetap berdiri, tapi nyatanya ia tak sekuat yang dikira. Ia merosot ke tanah dengan punggung yang masih menempel pada dinding.

Logan benar-benar keterlaluan—menganggap hubungan mereka yang terjalin selama ini hanya setting-an belaka. Hayley benar-benar mencintai Logan, sampai-sampai ia buta jika selama ini Logan-lah yang memanfaatkan dirinya untuk popularitas lelaki iblis itu sendiri. Hayley buta jika cinta yang selama ini ia bagi pada Logan tak berarti apa-apa bagi lelaki itu.

Hayley menenggelamkan wajah diantara kedua tangannya yang terlipat di atas lutut. Untuk pertama kalinya selama skandal itu berlangsung, ia menangis keras. Ia lelah. Lelah karena terus menerus dijadikan kambing hitam. Lelah karena harus bersembunyi padahal tidak bersalah. Lelah pada dirinya sendiri karena menjadi orang yang bodoh. Lelah karena harus jauh dari tempat dan pekerjaan yang ia cintai. Lelah karena merasa tidak berguna. Lelah karena terus-menerus dihantui oleh kehancuran karirnya setiap hari.

Ia yakin besok atau lusa, Yasmine akan meneleponnya dan berkata bahwa karirnya sudah hancur—tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Ia akan terjebak di sini selamanya, tidak bisa pergi kemana-mana tanpa diikuti tatapan jijik orang-orang terhadap dirinya.

Tangisan Hayley semakin keras ketika tiba-tiba ia merasakan sapuan halus di pucuk kepalanya. Ia tidak mendongak untuk melihat siapa pemilik tangan itu, mungkin Ronnie atau salah satu pelanggannya yang kasihan melihat kasir Goldie’s Bookshop yang menangis di jam kerja. Ia tidak peduli.

Ia terus menangis tanpa henti dan tangan itu pun terus mengusap kepalanya. Pikirannya berkecamuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Bagaimana jika media atau paparazzi menemukan keberadaannya di sini? Bagaimana nasib Jane dan Matthew jika ada seorang tetangga mereka yang membocorkan keberadaan Hayley? Mereka pasti akan terseret dan Hayley tidak mau itu semua terjadi.

Mungkin ini semua adalah kesalahan besar. Seharusnya ia tetap berada di New York—menghadapi Logan dengan berani. Bukan malah mengasingkan diri dan bekerja sebagai pegawai toko buku seperti tidak terjadi apa-apa. Ia sudah merugikan banyak orang; Yasmine, Madison, Jane, Matthew, Ronnie, dan bahkan Will.

Ia harus cepat-cepat pergi dari sini sebelum sesuatu buruk menimpa orang-orang yang dicintainya. Mungkin ke Alaska atau Antartika yang tidak banyak memiliki populasi. Ia tidak peduli jika harus mati di sana, asalkan tidak ada lagi orang-orang yang rugi karena skandal sampah ini.

Perlahan, Hayley akhirnya mendongak. “Ronnie, maafkan ak—Will?”

Pandangannya masih buram karena terhalang oleh air mata. Tetapi ia yakin jika laki-laki yang berjongkok di depannya dan mengusap kepalanya sejak tadi itu adalah Will.

Will tersenyum lembut—sangat lembut. Membuat Hayley yakin jika ia bisa tertidur hanya dengan menatap senyum Will lama-lama. “Kakekku pernah berkata, ‘Seberat apapun masalahmu, pelukan selalu menjadi obat sebelum nantinya kau menemukan sebuah solusi.’ Mau membuktikannya?” Will merentangkan kedua tangannya.

Hayley terdiam selama beberapa detik. Dahinya mengerut, semua ini masih terasa seperti mimpi. Namun akhirnya, ia merapatkan tubuhnya pada tubuh hangat Will dan masuk ke dalam pelukan lelaki itu.

Sebagian beban yang menumpuk di jiwa Hayley serasa hilang secara perlahan. Rasanya seperti energi positif dari tubuh Will berpindah ke tubuhnya, menendang semua energi-energi negatif itu untuk pergi. Kedua tangan Will berada di punggung Hayley—membelai bagian tubuh itu dengan perlahan dan penuh kelembutan sedangkan kepala Hayley berada tepat di pundak Will.

Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu, berpelukan di depan Goldie’s Bookshop tanpa memedulikan tatapan orang-orang yang melewati mereka. Sampai akhirnya Hayley terpaksa harus melepaskan diri dengan perasaan tak rela. Jika bisa, ia rela menghabiskan sisa hidupnya di dalam dekapan tubuh Will.

“Maaf, aku... aku hanya kau tahu... tidak sedang berada dalam keadaan mental yang baik...” Hayley tidak berani menatap bola mata indah itu. Ia menunduk menatap sepatu boots-nya.

Hayley mengusap pipinya yang basah dengan sedikit kasar, membuat Will secara perlahan menyentuh pergelangan tangan Hayley untuk menjauh dari pipinya dan mengusap pipi Hayley dengan tangannya sendiri.

“Ini sudah jam makan siang. Aku akan ada di Joe & Go Cafe.” Will mengusap pucuk kepala Hayley untuk yang terakhir sebelum akhirnya berdiri dan berjalan menjauh.

Apa itu? Apakah Will Morrison baru saja mengajaknya makan siang bersama?

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
5303      2097     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Jelita's Brownies
2915      1259     11     
Romance
Dulu, Ayahku bilang brownies ketan hitam adalah resep pertama Almarhum Nenek. Aku sangat hapal resep ini diluar kepala. Tetapi Ibuku sangat tidak suka jika aku membuat brownies. Aku pernah punya daun yang aku keringkan. Daun itu berisi tulisan resep kue-kue Nenek. Aku sadar menulis resep di atas daun kering terlihat aneh, tetapi itu menjadi sebuah pengingat antara Aku dan Nenek. Hanya saja Ib...
SORRY
14433      2740     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Call Kinna
3899      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Allura dan Dua Mantan
2962      951     1     
Romance
Kinari Allura, penulis serta pengusaha kafe. Di balik kesuksesan kariernya, dia selalu apes di dunia percintaan. Dua gagal. Namun, semua berubah sejak kehadiran Ayden Renaldy. Dia jatuh cinta lagi. Kali ini dia yakin akan menemukan kebahagiaan bersama Ayden. Sayangnya, Ayden ternyata banyak utang di pinjol. Hubungan Allura dan Ayden ditentang abis-abisan oleh Adrish Alamar serta Taqi Alfarezi -du...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Palette
3918      1575     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
Aku Benci Hujan
4945      1410     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Hujan Paling Jujur di Matamu
5404      1483     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...