Hari-hari membosankan datang setiap waktu, seolah keceriaan enggan masuk dalam hidupku. Ya, memang tidak seburuk itu sejujurnya, namun tetap saja rasanya lelah. Penat sering kali datang pada tiap waktu yang tak dibutuhkan, mengeluh kepada semesta padahal kalau dipikir lagi aku bukan satu-satunya orang paling menyedihkan di dunia, walau masih masuk ke dalam kategori itu.
Meski demikian, sekolah sudah menjadi rumah. Rumah tempatku merasakan kedamaian tanpa ada suara bising yang mengganggu telinga. Keramaian ini membuatku tenang, juga menyingkirkan segala riuh yang ada dalam kepala.
Omong-omong ini sudah siang, namun Gio belum tampak batang hidungnya. Biasanya laki-laki itu selalu memunculkan diri terlebih dahulu bahkan sebelum bel istirahat berbunyi. Aneh memang, Gio adalah manusia ajaib yang entah bagaimana bisa ada dalam hidupku. Kali ini tumben sekali, dan aku mulai mencari dimana keberadaan laki-laki itu.
Bangku kosong di bawah pohon rindang akhirnya menjadi pilihanku sebab tidak menemukan Gio dimana pun. Aneh, walau kadang tidak menemuiku, aku tetap bisa melihat keberadaan laki-laki itu, tidak seperti sekarang. Kuputuskan untuk duduk di sana, mungkin sebentar lagi Gio akan muncul dan mencariku. Jadi, laki-laki itu tidak perlu bingung kemana harus mencari karena bangku ini sudah seperti basecamp kita.
“Dia ga masuk sekolah apa, ya?” gumamku, masih bingung dengan Gio yang tiba-tiba hilang hari ini.
“Tapi kayaknya kalo dia ngga masuk, dia pasti bilang sama gue, ‘kan?”
Laki-laki itu, dengan sejuta obrolan bawelnya yang kadang membuatku sakit kepala, kini malah sunyi tanpa suara. Tidak ada pesan apapun yang dia sampaikan.
“Dorrrr!!”
Aku terlonjak dari tempat duduk itu, entah siapa namun rasanya ingin kupukul orang tersebut.
“GIO!” pekikku. Laki-laki itu sudah siap menutup telinganya tepat sebelum aku berteriak.
“Nyariin gue ‘kan lo?” ujarnya percaya diri. Aku hanya berdecih.
“Pede lo ketinggian! Ngga ada juga yang nyariin lo,” pungkasku, berbanding terbalik dengan apa yang kulakukan beberapa menit lalu.
“Sok banget ga mau ngaku, tuh keliatan dari muka lo!” katanya.
Aku mendadak diam. Sungguh? Memang begitu terlihat jelas kalau aku sedang mencarinya?
“Lagian lo abis darimana sih?”
“Kan, beneran nyariin!” Gio semakin percaya diri mendengar pertanyaanku barusan.
Lihat, tidak salah jika aku mengatakan bahwa Gio adalah manusia menyebalkan yang tingkat ke-pede-annya setinggi langit.
“Ngga, justru enak hidup gue tadi ga ada yang ngerusuh, ga ada yang berisik, ga ada yang bawel, ga ad-“ ucapanku terjeda, lalu terdiam setelah mendengar potongan perkataan Gio.
“Gitu-gitu juga lo suka, ‘kan?”
Apa katanya? Aku menyukainya? Ngawur!
“Hah? Suka apaan? Suka lo?” Gio mengangguk sembari duduk menyilangkan kakinya.
“Ngaco! Pede banget, dih.” Jawabku menepis perkataannya. Sedangkan di sebelah, laki-laki itu hanya terkekeh.
Aneh, tidak ada angin, tidak ada hujan, Gio tiba-tiba berkata demikian.
...
“Cil, lo gabut, ga?”
Di atas motor kesayangan Gio selepas pulang sekolah beberapa menit yang lalu, ketika sedang menikmati hiruk pikuk kota yang penuh dengan kendaraan berdebu, Gio tiba-tiba berbicara dengan sedikit berteriak.
“HAH?” Aku membalas dengan nada yang sama. Maklum, siang-siang seperti ini di tengah cuaca yang terik juga bising kendaraan, apalagi ditambah helm yang menghalangi telingaku, suara Gio jadi berubah sekecil-kecilnya.
“LO GABUT, NGGA?” Gio mengulangi perkataannya lagi.
“IYA, EMANG KENAPA?” jawabku setelah berhasil mendengar pertanyaan itu.
“ABIS GANTI BAJU, KELUAR, YUK!”
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas, namun bisa kupahami kalau Gio mengajakku jalan-jalan.
Tak menjawab, kuanggukkan kepala dengan mengacungkan jempol ke arah kaca spion. Bisa kupastikan kalau Gio dapat melihatnya dengan jelas.
Mengapa demikian? Karena tidak tahu mengapa, laki-laki itu selalu mengarahkan kaca spionnya tepat ke arah wajahku. Entah sudah berapa kali kuprotes untuk mengarahkannya ke jalan, namun bukan Gio namanya kalau tidak keras kepala.
“Itu kaca spion tuh gunanya buat liat jalan, bukan liat muka gue!” omelku sembari mengarahkan kaca tersebut ke arah yang seharusnya.
“Kenapa si emang? Suka-suka gue lah orang gue maunya gini, motor-motor gue juga!” kekehnya kemudian menyetel ulang posisi kaca tersebut. Kemana lagi kalau bukan ke arahku.
Tadi pagi, aku tidak berangkat dengannya karena jadwal piket yang mengharuskanku pergi lebih awal. Namun meski begitu, Gio selalu membawa dua helm kemana pun dia pergi, katanya bisa jadi helm tersebut akan ada gunanya walau entah kapan.
Lalu di tengah kemacetan yang melanda itu, kini aku tahu mengapa bisa demikian. Sebab di depan sana, terdapat sebuah gedung tengah mengadakan acara pernikahan. Ada banyak sekali karangan bunga di depannya.
“Acara elit, tempat parkir sulit!” cerocos Gio. Aku hanya tertawa, membayangkan raut wajahnya yang masam.
...
Kubuka pintu rumah begitu sampai beberapa detik yang lalu, kosong. Syukurlah. Terkadang ketidakhadiran mereka malah justru membuatku merasa tenang. Ya, sebab jika tidak, telingaku pasti lagi-lagi sudah mau pecah sekarang, atau kepalaku yang panas sebab dihujani puluhan pertanyaan sama berulang kali.
Baru sempat meletakkan tas di meja, suara dering ponsel menarik perhatianku.
Kulihat nama yang tertera di layar, dari Gio.
Gio : Cil, dandan yang cantik, ya.
Aku terdiam, bingung dengan maksud Gio. Biasanya, Gio tak pernah seperti ini. Maksudnya ketika laki-laki itu mengajakku keluar, Gio tak pernah protes tentang apa yang harus kupakai. Namun kali ini berbeda.
Siang bolong seperti ini, dia menyuruhku berdandan? Aku semakin penasaran apa sebenarnya rencana dan tujuan laki-laki itu.
Kupilih dress selutut berwarna cream, dengan polesan bedak tipis-tipis—karena kurasa di luar panas sekali, juga beberapa aksesoris seperti kalung dan cincin sebagai pemanis. Begitu melihat diri di cermin, rasanya seperti akan pergi ke pesta. Aku memutuskan untuk menguncir rambut, seperti biasanya. Jarang sekali kuurai surai legam ini, sejak terakhir kali papa memotongnya dengan sengaja. Ah, sudah. Aku sedang tidak ingin bersedih sekarang, sebab Gio dan motor kesayangannya itu sudah ada di depan sana.
“Widih, beneran dandan,” ledeknya saat membuka kaca helm hitam itu.
“Lah, lo yang nyuruh.”
Laki-laki itu hanya mengangguk, tak lupa diselingi kekehan kecil khasnya itu. Kemudian dia turunkan dua foot step dan menyuruhku naik.
“Cih, sok act of service lo!” kataku meledeknya.
Lama mengenal Gio membuatku tahu kalau laki-laki itu selalu memberikan perhatian sekecil apapun pada orang-orang di dekatnya. Selain aku yang beruntung karena memiliki teman seperti dia, beruntung sekali nantinya orang yang akan hidup bersama dengan laki-laki itu.
Tapi, tunggu. Siapa yang mau dengan lelaki menyebalkan seperti Gio?
Tak ada percakapan selama perjalanan itu, kami sibuk masing-masing; Gio dengan jalanan di depannya, aku dengan suasana sekitar yang sebenarnya tidak ada bagus-bagusnya. Tak kutanyakan juga perihal kemana Gio akan membawaku kali ini, biarkan saja dia, aku juga penasaran tempat aneh apa yang akan menjadi tujuannya sekarang.
“Kita ngapain ke sini anjir?!” tanyaku dengan nada tak biasa.
“Makanlah!” jawab Gio seenaknya.
Mungkin kalau tujuan Gio sekarang adalah restoran atau rumah makan seperti pada umumnya, aku tidak akan protes sedemikian rupa, tapi ini....
Ingat acara pernikahan yang aku dan dia lewati tadi? Ya, di sinilah aku sekarang. Bersama dengan Gio yang entah apa tujuannya membawaku ke tempat ini.
Belum sempat protes lagi, Gio tiba-tiba berpindah posisi di belakangku, aku menoleh namun dia menyuruhku untuk tetap menghadap ke depan.
Aku hanya diam hingga kemudian ikatan rambut itu dia tarik begitu saja, membuat rambutku terurai di udara. Aku terkejut, tetapi lagi-lagi Gio berhasil membuatku bungkam saat dia merapikan rambutku dengan jepit rambut yang entah darimana dia dapatkan.
“Nah, gini kan lebih cantik!” kata Gio, sedang aku masih diam.
“Ayo masuk!” ajaknya sembari menggenggam tanganku.
Harusnya saat itu aku marah, harusnya saat itu aku protes pada Gio. Sudah membawaku ke tempat aneh, kini dia merusak ikatan rambutku yang sudah kutata dengan rapi pula.
Sialnya, yang kulakukan sekarang justru hanya diam, benar-benar bungkam. Bahkan ketika laki-laki itu menggenggam tanganku dan menarik masuk ke gedung yang penuh dengan manusia asing.
“Senyum aja, Cil, kalo ngeliat orang,” bisiknya. Dan sekarang juga aku mengikuti instruksinya.
“Lo mau makan apa nih?” tanya Gio. Kami berdiri di antara beberapa meja menu.
“Bakso!” kata itu serempak keluar dari mulutku dan dia.
“Hadeh, kagak dimana-mana bakso terus isi otak lo!” ledek Gio.
Aku mendecih kesal. “Ya kalo gitu ngapain lo nanya dodol!”
Kalau biasanya Gio yang menurutiku, kali ini kubiarkan aku yang mengalah dan mengikuti kemauannya. Satu piring berisi nasi dan lauk-pauknya kini sudah ada di tanganku, menyantapnya sedikit demi sedikit sembari melihat sekitar juga dua orang pengantin yang duduk di atas pelaminan. Gio bilang, makan nasi lebih penting untuk mengenyangkan perut, tahu saja dia kalau sejak tadi aku belum makan nasi.
Begitu makanan di piring sudah habis, Gio kemudian mengajakku untuk maju ke depan, memberi salam dan selamat pada pengantin itu. Ya, aku menurut saja. Lagi pula aku tidak kenal dengan mereka.
Aku dan Gio berjalan di atas karpet merah yang tergelar di sepanjang jalan menuju pelaminan, dengan tangan Gio yang kembali menggenggam tanganku. Kami seperti pasangan yang menghadiri acara undangan, apalagi jika melihat pakaian yang aku dan dia kenakan sekarang.
Sampai di atas pelaminan itu, Gio terlebih dahulu memasukkan amplop ke dalam sebuah kotak yang terhias cantik sekali, kemudian melanjutkan jalan dengan menyalami satu persatu orang di sana.
“Itu tadi siapa, Gi?” tanyaku begitu kami sampai di parkiran.
“Ngga tau,” kata Gio sembari mengangkat bahunya acuh.
Jawaban diuar nalar yang membuatku melongo. Maksudnya? Tidak tahu bagaimana?
“Hah? Ini maksud lo, lo ga kenal sama mereka?” aku bertanya lagi, memastikan kalau Gio tidak salah tangkap akan pertanyanku.
“Iya, ngga,” jawabnya lagi.
Aku menepuk tangan sebelah kirinya. “Terus kita ngapain ke sini kalo lo ga kenal anjir?!”
“Dibilangin makan juga,” kata Gio yang semakin membuatku kesal dengan jawabannya.
“Iya makan si makan, tapi lo ga kenal gimana ceritanya?!”
“Lagian nih yang punya acara ngeselin, lo liat tuh jalan macet gara-gara siapa? Gara-gara acara mereka, ‘kan? Terus juga gue tadi harusnya bisa lebih cepet sampe ke rumah terus makan, eh malah kejebak macet,” ujarnya panjang lebar.
Aku masih tak mengerti, “Ya, terus?”
“Jadi, ya udah kita makan di sini aja. Lagian siapa suruh bikin gue laper!” sambungnya.
Aku menganga, apa yang sebenarnya ada di dalam kepala laki-laki itu?
“Terus tadi lu segala ngasih amplop?”
Gio terkekeh, perasaanku mulai tidak enak. “Kosong, hehe.” Laki-laki itu menggaruk tengkuknya sambil nyengir.
Terkadang, ada beberapa hal yang ingin sekali kulakukan selama menjalani hari-hariku saat ini. Salah satunya adalah membelah kepala Gio dan memeriksa barang kali ada kabel yang terputus di sana sehingga membuat laki-laki itu agak aneh dan sangat random.
“Yang penting kenyang!”
Sepanjang jalan itu, aku menghabiskan waktu dengan tertawa bersama laki-laki aneh di depanku ini. Memutar keliling kota hingga fajar terbenam, sesekali singgah di sebuah warung kecil untuk membeli minuman kemudian mengulang hal yang sama.
Sudah kubilang, Gio itu makhluk yang tak pernah bisa ditebak maunya apa. Akan tetapi justru entah mengapa aku malah bahagia ketika bersamanya.