"Gio...!" pekikku dari luar pagar rumah Gio. Ini hari minggu, rutinitas yang biasa kami lakukan adalah lari pagi mengelilingi komplek atau pergi ke sebuah taman.
Hingga suara pintu terdengar dibuka, aku menoleh ke belakang mendapati seorang wanita cantik berdiri di sana sembari tersenyum.
"Aretha, masuk, Nak! Gio masih di kamarnya, mungkin masih tidur. Kamu bangunin aja." ucap Indah, mama Gio. Aku tersenyum mengiyakan, melangkahkan kakiku menuju kamar Gio dengan merutuki Gio dalam hati.
Begitu sampai di depan kamarnya, sudah kusiapkan semua energi untuk memarahi laki-laki itu sebab terlambat pagi ini. Bahkan sekarang matahari sudah mulai menampakkan diri, tetapi Gio masih saja bersembunyi dalam selimutnya.
Benar saja, saat kubuka pintu kamar tersebut gelap adalah hal yang pertama kulihat, bersamaan dengan semerbak wangi Stella jeruk yang masuk ke dalam indra penciumanku, bisa kupastikan bahwa Gio benar-benar masih tertidur.
Ya, laki-laki itu masih tenang dalam mimpinya, aku tersenyum melihat wajah damainya. Jika dilihat dari dekat, Gio rupanya memiliki paras yang sangat tampan, wajar saja jika banyak perempuan di luar sana yang mengaku kagum padanya. Alih-alih memperhatikan wajah Gio yang masih tidur, fokusku justru teralihkan oleh pose tidurnya yang menyatu dengan selimut bergambar badan Cinderella.
Aku ingat selimut itu, selimut pemberianku saat ulang tahunnya yang ke-17. Kado yang membuat Gio protes padaku selama sejam karena memberinya satu set barang-barang bertema Disney dengan warna biru.
"Cil, gue tuh cowo, 17 tahun, ya kali lo ngasih gue bed cover Cinderella gini? Terus ini juga masker frozen, lu kata gue anak TK?" protesnya saat membuka kado dariku.
"Ya gapapa, sekali-kali lo punya barang yang berwarna. Gue liat-liat barang lo item mulu, berasa suram tau ga idup lo?!" balasku, tak mau kalah.
"Misuh-misuh tapi ujungnya lo pake juga tuh selimut, cih," kataku sambil tertawa.
Asik menertawakan Gio, hingga tak sadar ternyata laki-laki itu sudah bangun dari tidurnya.
"Heh! Ngapain lo di sini? Astagfirullah, lu apain gue, Cil?" Gio terbangun sembari memeluk tubuhnya dan menjauhkan diri dariku.
Melihat itu, aku yang sedari tadi memang sudah kesal mengambil bantal kemudian melemparkannya yang kini sudah tepat pada sasaran, Gio malah terkekeh.
"Harusnya gue yang tanya, lo jam segini baru bangun abis ngapain aja, hah? Katanya mau jogging, jogging apaan lu, ngejigong di kasur?" bukannya merasa bersalah, Gio justru semakin tertawa melihat ekspresi wajahku kini tengah berkacak pinggang.
Merasa kesal, kulayangkan tangan ke arah wajahnya. Ingin sekali aku memukul kepala laki-laki menyebalkan ini sekarang.
Namun sial sepertinya tengah berkawan padaku hari ini, Gio yang dengan cepat menepis tanganku berhasil membuatku kehilangan keseimbangan sehingga terjatuh dengan memeluk badan Gio. Kami terdiam di posisi itu selama beberapa detik, mendengarkan detak jantung yang saling berdegup.
"MESUM! BAU LO!" Ya, kali ini pukulanku tepat sasaran, lagi.
Gio mengaduh, sedangkan aku kini berlari keluar, menetralkan jantungku yang entah mengapa sedari tadi terus berdegup kencang. Sial, hal yang sama terjadi lagi untuk kesekian kalinya.
...
Kolam renang menjadi salah satu tempat yang Gio pilih demi membujukku agar tidak kesal lagi. Dengan tiba-tiba laki-laki itu sudah berdiri di depan rumahku dengan tas gendongnya yang lumayan berisi.
Setengah jam perjalanan kami akhirnya sampai di kolam renang tirta kencana, tidak ramai tidak jua begitu sepi. Kami mencari tempat duduk yang akhirnya berhasil kudapatkan di bawah pohon, Gio lalu meletakkan barang-barang.
Seharian kuhabiskan seluruh waktuku di sana, melupakan semua masalah yang ada di hidupku. Biarlah untuk sejenak saja kurasakan tenang meski ujungnya tetap saja runyam. Biarlah untuk sekali saja kurasakan damai, meski ujungnya tetap saja berantakan.
Berlarian ke sana kemari, berfoto, bermain perosotan, makan mie bersama Gio sudah menjadi momen paling menyenangkan di hidupku. Laki-laki itu mampu membuat semuanya terasa indah meski hanya sesaat. Jika saja ada yang abadi di dunia ini, aku hanya ingin Gio. Menjadi sahabatnya sepanjang masa, menghabiskan semua waktu bersamanya, sampai-sampai duka yang tadinya setia menemani bisa berubah menjadi suka yang setiap saat ada di sisi.
"Pulang sekarang, Cil?" tanya Gio, aku mengangguk, mengingat stok kebahagiaanku sudah penuh sekarang.
...
"Tidur, lo pasti capek, 'kan? Gue pulang dulu, bye Cil!" ujarnya sembari mengacak puncak kepalaku kemudian pulang ke rumahnya.
Aku tersenyum singkat, lalu melangkahkan kaki ke dalam rumah.
"Darimana kamu Aretha, jam segini baru pulang?" Itu suara Papa, kini menggema di seisi ruangan.
Malas meladeni, kuteruskan langkah kakiku menuju kamar tanpa menjawab sepatah katapun.
"Aretha! Kamu tidak mendengar Papa bicara?" katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.
"Dari kolam renang, sama Gio," jawabku memelas.
"Bagus, Aretha, semakin hari kamu semakin tidak bisa di atur! Pulang pergi seenaknya, bahkan pamitan saja tidak?!" Papa merubah posisinya dari duduk menjadi berdiri tepat di hadapanku. Tatapan matanya sangat intens menuju ke arahku yang kini hanya bisa diam.
"Bukannya Papa sama Mama ga peduli, ya, sama Aretha? Jadi Aretha pikir, mau pergi kemanapun kalian ga akan pernah peduli." Entah keberanian darimana hingga aku bisa mengeluarkan kata-kata itu, yang kutahu kini mungkin emosi Papa semakin menjadi.
"Sudah berani kamu melawan saya?!" Persis seperti dugaanku sebelumnya, hampir saja layangan tangan itu tepat mengenai pipiku.
"Apa? Tampar, Pa! Kenapa diem aja? Bener 'kan yang aku bilang? Kalian tuh ga pernah peduli sama aku. Apa Papa pernah nanya gimana keadaan aku selama ini? Gimana beratnya jadi aku yang setiap hari harus berada di tengah-tengah keluarga yang bahkan ga pantas untuk disebut lagi sebagai keluarga."
Plak!
Aku terkekeh saat akhirnya tangan besar itu berhasil mengenai pipiku. "Bahkan, sekarang Papa bukan cuma nyakitin hati aku." kataku lalu melenggang pergi.
Aku membanting pintu kamar dengan keras, sebagai bentuk kekesalanku atas apa yang telah terjadi. Bahkan sekarang, aku hanya diam, bingung ingin merespon seperti apa. diriku sudah lelah menangis, menangisi hal yang sama berulang kali dan tak pernah ada ujungnya. Kalo saja boleh meminta, aku ingin diriku yang sekarang hanya tengah bermimpi buruk dan segera bangun di tengah pelukan orang tuaku yang sedang cemas. Sayangnya itu hanya angan, perandaian yang sampai kapan pun takkan pernah jadi kenyataan.
Gio : Maaf, ya, cil
Aretha : Maaf buat apa?
Gio : Lo dimarahin, ya? Gue tadi belum pulang terus ga sengaja denger. U oke?
Aretha : I'm oke kok, Gi. Ya, cuma ditampar aja tadi soalnya gue ngelawan HAHAHA
Aretha : Tapi gue juga sebenernya gatau kenapa tiba-tiba bisa ngomong gitu. Hebat 'kan gue?
Gio : Gue bangga deh sama lo, tapi jangan dibiasain, ya.
Gio : Soalnya serem kalo lo tiba-tiba jadi galak
Retha : HAHAHAHA udah ah gue mau tidur dulu
Gio : Yehh tidur, padahal mah meratapi nasib
Retha : Agak jingan tapi ya bener juga
Gio : Tidur, Cil, gue gamau ya liat mata lo bengkak besok pagi
Retha : Iya elah bawel lo!
Gio : Yaudah, sleep tight, Cil!
Gio : Satu hal yang harus lo tau, gue selalu bangga sama lo. Kalo lo sedih, lo bisa bilang sama gue and I'll be there in 5 minutes. Bahkan lebih cepet dari itu.
Gio : Selamat tidur, Cilla. Semoga besok dan seterusnya dunia akan terus baik sama lo.
Aku tersenyum setelah membaca pesan-pesan dari Gio, tersenyum miris lebih tepatnya. Berpikir mengapa aku harus mendapatkan kebahagiaan dari orang lain sedangkan yang kudapat dari keluargaku hanya kepedihan tiap harinya? Permainan semesta yang menyenangkan, namun tidak untukku.