Dua tahun yang lalu, malam kelam kedua yang selalu membekas dalam ingatan.
Di malam yang gulita, kulangkahkan kaki dengan cepat mengayun ke sebarang arah. Kemana saja yang penting aku bisa lari dari kenyataan pahit ini. Ah, sialnya sudah kucoba beberapa kali untuk lari pun, raga ini tetap terjebak di dunia kelam yang tak pernah ingin aku singgahi.
"kalo Aretha lahir hanya untuk dijadikan bayang-bayang, buat apa sejak awal Mama dan Papa malah mempertahankan?"
"Mama pikir Aretha mau terlahir kayak gini? Papa pikir Aretha mau hidup kalo tau keadaan bakal gini?"
"Terus sekarang, kalo gitu kenyataannya buat apa Aretha bertahan hidup? Buat apa Aretha punya mimpi? Buat jadi bayang-bayang kalian aja padahal sebenernya Mama sama Papa ngga pernah anggap Aretha ada? Gitu, Ma, Pa?
Pukul 10 malam, di saat hanya rembulan yang menyinari dunia, dengan bulir air mata yang tiada henti sejak beberapa menit lalu, kuputuskan untuk duduk sejenak di sebuah ps ronda yang kosong. Lagi-lagi kesal, aku sudah lama dan cukup jauh berlari, namun mengapa belum juga sampai pada tujuan yang kucari? Apa mungkin sebab dari awal, aku tak pernah tahu dimana rumahku berada? Atau memang dari awal aku tidak pernah benar-benar memiliki rumah tempatku untuk pulang?
Lalu di kala kesedihan yang melanda itu, sebuah tangan terjulur di hadapanku dengan permen di telapak tangannya. Aku terkejut, sedikit menjauh karena takut.
Bayangkan saja, siapa pula orang yang sudi menghampiriku malam-malam seperti ini?
Namun dia tersenyum. Anak laki-laki yang kiranya sepantaran denganku itu tersenyum. Bukan senyum mengerikan seperti di film-film horror yang biasa kulihat, tetapi senyum yang menenangkan. Perasaanku seperti menghangat kala menatap lengkungan bulan sabit itu. Sesuatu yang tak pernah lagi kulihat sejak setahun terakhir.
Aku mengambil permem di tangannya, kemudian mengucapkan kata terima kasih. Kukira setelahnya dia akan pergi, tetapi ternyata dia menetap dan duduk di sebelahku.
“Lagi sedih, ya?” katanya. Aku mengernyit heran, paham maksudnya tetapi tetap saja heran.
“Sok tau!” tukasku.
“Justru karena gue tau. Ga mungkin ada orang gabut jam segini nagkring di pos ronda, sendirian lagi,” jawabnya.
Ya, mungkin memang cukup gila kedengarannya tapi itulah yang kulakukan. Kalau rumah di ujung jalan ini berisi kedamaian dan ketenangan, aku tidak mungkin ada di sini sekarang.
“Lo sendiri ngapain di sini?” tanyaku balik.
“Gue cuma mau mastiin aja kalo yang gue liat di sini dari jauh tadi beneran orang apa bukan,” jawabnya. Menyebalkan sekali kupikir. Memangnya aku ini hantu?
“Terus kalo bukan orang gimana?”
“Ya, tinggal lari aja pulang ke rumah.” Dia mengakhiri perkataannya dengan mengangkat kedua bahu acuh.
Sebetulnya jawaban laki-laki itu memang tidak salah, namun tetap saja itu cukup membuatku kesal.
Lalu sejak pertemuan pertama itu, kukira aku tak akan pernah lagi bertemu dengannya. Hingga sebuah memori terlintas lagi saat aku menatap kembali senyum teduhnya itu di salah satu sekolah menengah pertama.
...
Anak laki-laki itu bernama Gio—baru kuketahui namanya setelah bertahun-tahun tidak berjumpa sebab beberapa hari setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk pindah ke rumah nenek.
Aku dan Gio akhirnya menjadi teman. Ya, dia yang memintanya. Walau sudah kutebak kalau aku pasti akan kehabisan seluruh energiku jika berteman dengan laki-laki itu, tetapi kupikir tidak ada salahnya mencoba. Dan apa yang kupikirkan kala itu ternyata benar. Ajaibnya, Gio selalu bisa membuatku kesal lalu senang dalam waktu yang sama. Aneh, Gio itu manusia aneh yang tak pernah kehabisan ide untuk membuatku kesal, hanya saja entah mengapa aku justru nyaman berada di dekatnya.
Ajaibnya ternyata aku dan Gio dapat bertemu kembali setelah perpisahan itu, seperti cerita pada novel kebanyakan dimana dua orang teman kecil bertemu kembali pada saat dewasa. Hanya saja, tak ada yang berubah. Gio masih tetap Gio yang selalu peduli sejak pertama kali bertemu, dan aku masih menjadi Aretha yang selalu mengeluh dan terjebak dalam keterpurukan yang tak ada ujungnya sejak pertama kali aku dan dia saling mengenal.
Mungkin kalau saja keadaannya tidak seperti sekarang, cerita ini pasti sudah berubah menjadi cerita yang menyenangkan. Jatuh cinta pada Gio juga sepertinya hal yang harusnya sudah kulakukan sejak lama, sayang sekali hidupku sejak awal seperti film-film sedih kebanyakan hingga untuk mencari dan mendapatkan happy ending pun rasanya susah sekali.
Seperti burung yang selalu terkurung dalam sangkar, aku tak pernah bisa lari. Kehidupan selalu membawaku kembali, sialnya bukan pada kesenangan melainkan kesengsaraan. Ya, sebut saja Aretha si manusia paling sendirian di dunia, tapi itulah kenyataannya.
Bertemu Gio seperti bertemu cahaya kembali, canda tawa tidak akan pernah ada jika laki-laki itu tak nyata raganya. Senyum sekalipun belum tentu dapat hadir jika yang kutemui setiap hari hanyalah sendu.
Hidup ini tentang bersama siapa kita hidup dan tumbuh, maka segala hal di dalamnya akan bersamaan mengikuti. Jadi, bukankah sekarang kalian paham maksud yang kutuliskan ini?