Hidup dalam kenangan pilu bukanlah sebuah keinginan melainkan pilihan dalam paksaan yang terjadi padaku.
Aku, seorang gadis 19 tahun yang setiap harinya selalu disuguhkan dengan kejadian memuakkan seolah kelam telah melekat kuat pada hidup seorang Aretha Pricilla.
Tumbuh tanpa adanya dukungan bahkan sapaan dari kedua orang tua terkadang membuatku berpikir mengapa semesta begitu jahat hingga menumpahkan segala duka ini padaku. Bahkan untuk sekedar kabur dari rumah atau berpikir mengakhiri hidup bukan lagi hal baru yang seringkali muncul dalam logika. Sayang sekali hati diri ini sangat kuat hingga rasanya meski se-muak apapun kehidupan ini masih ada sebuah titik kecil yang meminta untuk bertahan walau entah sampai kapan.
Heran, apa yang dipikirkan oleh orang-orang dewasa? Perihal urusan mereka yang katanya tidak akan pernah dimengerti oleh semua anak-anak di dunia padahal nyatanya mereka sendiri yang mempersulit itu semua. Lantas, bagaimana bisa dimengerti jika mereka saja enggan mengakhiri dan malah mempersulit diri?
Prang!
"Here we go again." Aku menghela napas. Panjang umur mereka. Baru saja kuceritakan sekarang sudah terdengar suaranya.
Suara teriakan yang saling bersahutan itu kini tak asing lagi di telingaku. Entah apa tetapi masalah sepertinya selalu datang setiap hari di hidupnya. Hingga terkadang, seminggu sekali tukang perabotan mampir ke rumah sebab barang-barang di dapur sudah lenyap setiap kali mereka beradu mulut.
Alih-alih mencampuri urusan mereka, aku lebih baik diam di kamar, menyibukkan diri dengan menonton film favorit, membaca buku, bermain ponsel, atau bahkan menangis. Terkadang. Lagipula, sudah habis semua air mataku karena menangisi mereka yang lama-lama kupikir sia-sia juga. Toh, meraung pun mereka tak akan peduli. Bagaimana tidak? Susah jika egois sudah merasuki diri.
Gio : Lagi, Cill?
Satu notifikasi tertera di layar handphone. Ah, ya. Selain kesepian, Gio juga salah satu teman dekatku. Dia tahu semua yang terjadi sebab rumahnya terletak persis di depan rumahku, dan tentunya tahu apa yang sedang dan selalu terjadi di sini.
Aretha : Kadang gue heran, kalo berantem mulu tiap hari, kenapa ga pisah aja coba?
Gio : Gue telpon ya?
Gio ini berlebihan, padahal aku sedang baik-baik saja. Omong-omong balasan pesanku pada Gio tadi benar bukan? Apa susahnya berpisah jika memang tak lagi bisa searah? Daripada terus bertengkar seperti ini, memalukan.
Sejatinya raga dan jiwaku lelah, tetapi melihat diriku yang sudah berjalan hingga di titik ini rasanya sayang sekali untuk menyerah. Biar saja nanti waktu yang menentukan sampai mana seorang Aretha Priscilla kuat untuk bertahan.
...
"Jangan nangis mulu, Cil, kasian mata lo," kata Gio setelah melihat penampilan kusutku hari ini. Tepat sasaran.
"Gue tuh abis nonton film drakor, sedih banget makanya nangis," jawabku, terkekeh.
"Film drakor kisah nyata di hidup lo maksudnya?" Aku terkekeh, lagi. Gio ini sangat pandai menebak atau aku yang tak bisa menutupi kebohongan?
"Kalo lo butuh sandaran tuh bilang, gue ada," ujarnya lagi sembari mengusap kepalaku.
Aku mendengus, ini masih pagi dan kini rambutku berantakan karenanya. "Apaan sih, lebay lo! Gue gapapa kali, tuh gue sehat gue kuat."
"Yeu, lo kan bocil." Laki-laki itu langsung berlari setelah mengejekku, menyebalkan.
Aku dan Gio sebetulnya belum berteman lama, aku mengenalnya karena kami berada di satu sekolah yang sama, dan komplek yang sama pula. Suatu kebetulan yang benar-benar tak terduga.
Meskipun satu sekolah, kami berbeda kelas. Akan tetapi tetap saja, ketika bel istirahat berbunyi pemuda itu sudah stand bye di depan kelas menungguku keluar untuk pergi ke kantin bersama.
Ya, aku tahu apa yang ada dipikiran semua orang. Menyangka Gio pacarku? Bukan, dia sahabatku, hanya itu. Sudah banyak beban yang kutanggung selama ini, maka dari itu sudah cukup, aku tak mau lagi menambah pikiranku dengan masalah percintaan yang biasa terjadi di kalangan anak muda.
Bukan berarti tak ingin merasakan bagaimana indahnya cinta, aku hanya tak mau menanggung konsekuensi jatuhnya, dan kurasa Gio juga tak pernah mempermasalahkan itu. Tak peduli juga dengan mereka yang berpikiran bahwa aku ini sangat munafik, karena nyatanya memang begitu.
Sudah tebal bahkan topeng yang kutunjukkan pada semesta dan isinya, maka untuk sekedar menyembunyikan hal kecil bukanlah sesuatu yang sangat sulit untuk kulakukan.
Seperti kataku, Gio sudah menunggu di depan pintu sejak bel berbunyi dua menit yang lalu. Begitu Bu Iin—guru Bahasa Indonesia—sudah keluar dari kelas, aku merapikan buku kemudian menemui lelaki yang sedari tadi terus-menerus memanggil namaku.
"Gue berasa kayak anak TK yang ditungguin sama maknya tau ga!" Aku mendengus sebal, sedangkan di depan sana laki-laki itu justru tersenyum sembari merangkulku berjalan menuju kantin.
Setelah memesan dua mangkok bakso beserta es jeruk, aku dan Gio duduk di bangku paling pojok, langganan tempatku makan saat jam istirahat.
"Lo jadi ikut tes beasiswa pertukaran pelajar yang kemaren Bu Susi bilang? Ke mana tuh...?" Gio menjeda kalimatnya, seperti tengah berpikir.
"Jerman?" Laki-laki itu menjentikkan jarinya, mengangguk.
"Gatau, males," kataku, Gio menatap heran.
"Kenapa? Bukannya Jerman impian lo dari kecil, ya?" tanyanya lagi.
"Ya, 'kan waktu kecil, sekarang gue bukan anak kecil lagi."
Laki-laki itu menoyor kepalaku menggunakan sebungkus kerupuk yang belum dibuka. "Maksud gue bukan gitu, dodol!"
Aku tertawa, sengaja mengerjainya padahal aku tahu kemana arah pembicaraan Gio.
"Gimana, ya, Gi, itu 'kan impian gue dari kecil buat banggain bokap nyokap, cuma ya kalo tau kaya gini keadaannya buat apa masih gue pikirin? Bahkan kayaknya gue mati pun mereka ga akan peduli." Aku terkekeh, menertawakan betapa mirisnya kehidupan seorang Aretha.
Gio hanya diam, tak melanjutkan setelah sebelumnya menatapku dalam. Aku benci tatapan itu, tatapan kasihan yang selalu ditujukan orang-orang padaku seolah aku ini adalah makhluk yang memiliki nasib menyedihkan hingga orang-orang merasa harus mengasihani diriku.
***
Jam terakhir sekolah kuhabiskan hanya dengan berdiam diri di dalam kelas, Gio yang biasanya selalu mengajakku kemana saja kali ini tidak tampak batang hidungnya.
15 menit sebelum bel masuk berbunyi, kuputuskan untuk pergi ke wc bersama Nindi, teman sebangku ku sembari melihat sekitar, namun akhirnya menyerah sebab tak kunjung menemukan apa yang kucari.
Begitu kembali ke kelas, dari pintu mataku menyipit melihat apa yang ada di atas meja lalu segera menghampiri ke sana. Sebuah roti, coklat, dan air mineral tergeletak di sana, bersama sebuah surat yang di dalamnya berisi tulisan, 'Jangan lupa dimakan, ya, minum juga yang banyak. Semangat belajarnya, biar lo bisa dapet beasiswa terus kejar mimpi lo, dan gue akan jadi orang yang selalu bangga atas semua pencapaian lo.'
Gio... Gio, kamu aneh, tapi aku senang, seperti sedang berada di rumah dalam wujud manusia.