Meski semua terbuka,
ada beberapa sekat yang tidak tertembus.
Entah karena memang ditutup
atau sengaja tidak ingin diperlihatkan?
Tidak apa-apa, selama kau masih ingin di sampingku, aku tidak keberatan untuk menunggu sampai kau siap.
πππ
Halaman luas dengan pagar hitam setinggi dua meter dibuka oleh satpam yang bertugas, Mobil minibus langsung terparkir. Danendra dan Bang Didi turun lebih dulu. Disusul kemudian Yashinta turun dengan membawa tas jinjing.
Gadis berambut cokelat itu langsung menengadah ketika melihat pilar putih berdiri tegak di hadapannya. Seketika nyali Yashinta menciut. Ia merasa status sosial kini menjadi permasalahan serius untuk hubungannya dan sang idola selain perbedaan usia.
"Mbak Yas, ayo masuk. Ini rumah Papa dan Mama saya."
"Rumah Mas Dan juga, dong," jawab Yashinta sambil mengikuti langkah kaki Danendra.
"Bukan, Mbak. Kalau rumah saya nanti bakal jadi rumah kita," balas Danendra.
"Asalamualaikum. Permisi, adakah yang bisa melepaskan saya dari kebucinan akut Danendra Pramudya? Atau mungkin Mbak Dena mau bantuin?" teriak Bang Didi ketika baru saja memasuki rumah.
. Yashinta langsung memukul punggung Bang Didi yang sengaja mencari perhatian orang rumah. Berkat ulahnya itu juga, kini sepasang mata langsung tertuju ke arah pintu. Hal itu membuat nyali Yashinta menciut. Ia menyembunyikan tubuhnya di belakang Danendra.
Tas jinjing yang berisikan oleh-oleh untuk keluarga Danendra pun ia sembunyikan di belakang tubuhnya karena merasa tidak nyaman untuk memberikannya. Oleh-oleh itu sengaja Yashinta pesan melalui Mbak Yayah, maksudnya supaya ia datang tidak dengan tangan kosong.
"Di, mulutnya bisa dikondisikan nggak? Calon iparku jadi takut, loh!" ucap Denada sambil berjalan menghampiri Yashinta dan menggaet lengannya. "Duduk dulu, adik manis. Jangan dengerin itu ucapannya Didi. Dia memang biasa urakan. Capek? Jam berapa tadi dari kosan?"
Yashinta mengikuti arahan Denada untuk duduk. Perihal pertanyaan, gadis dengan rambut cokelat terurai itu bingung ingin menjawab pertanyaan yang mana. Karena ia mendadak gagap, kakinya Yashinta menendang pelan kaki Danendra yang duduk di sebelahnya.
Kode-kode pun langsung meluncur. Dari gerakan mata, mulut komat-kamit, kemudian tangan yang tiba-tiba menarik baju Danendra. Semua itu berasal dari Yashinta yang gugup setengah mati ketika berhadapan dengan keluarga sang idola.
Ini baru kakaknya, gimana pas Papa sama Mama yang ngomong? Bisa mati beridri aku, batin Yashinta.
"Mbak Dena kalau kasih pertanyaan suka borongan. Satu-satu, Mbak," pinta Danendra.
"Eh, mantu Mama sudah datang? Cantik, ya, Pa? Seperti pas mudanya Mama."
Belum selesai keterkejutan Yashinta dengan Denada-kakak Denandra-kini sekali lagi ia dibikin melongo dengan sebutan yang mama Danendra ucapkan. Bayangkan saja, belum genap satu bulan kedekatan mereka, label menantu sudah menempel pada dirinya.
Kedua orang tua Danendra duduk di hadapan Yashinta. Hanya sebuah meja yang menjadi pembatas. Kepala Yashinta tertunduk, ia juga memundurkan tubuhnya dan menyembunyikan separuh badannya di belakang Danendra.
"Ngapain mundur-mundur? Mama sama Papa nggak akan gigit, kok."
Yashinta mendelik ketika sang kekasih mengucapkannya dengan keras. Ia mencubit pinggang Danendra dan kemudian mencuri pandang pada kedua orang tua di hadapannya.
"Tante, Didi minta ini, ya? Buat ganjal perut dulu."
Suara Bang Didi seperti memantul karena saking tingginya langit-langit tempat tinggal keluarga Pramudya itu. Setelah mendapat persetujuan, Bang Didi kembali ke ruang depan dan bergabung bersama keluarga Danendra.
"Namanya siapa, Nak?" suara lelaki yang menyapanya itu membuat Yashinta mengangkat kepalanya.
"Yashinta Sadina, P-pak, eh, Om."
"Papa, saja biar nggak canggung. Apa kabar sama adikmu? Sudah lebih baik?"
Yashinta menoleh pada Danendra dan meminta penjelasan singkat mengapa orang tuanya sudah tahu tentang keluarganya dengan gerakan kepala. Kejadian sikut menyikut kembali terjadi karena Yashinta sudah kehilangan kata-kata.
"Adiknya sudah balik ke kampung halaman, Pa. Tadi sebelum ke sini kita sudah urus kepulangannya dari rumah sakit."
"Yang ditanya Yas, kok malah kamu yang jawab, Ndra?"
Yashinta semakin bergidik. Bahkan nama panggilannya pun mereka sudah tahu. Entah sudah berapa banyak yang sudah Danendra ceritakan kepada keluarganya. Sepertinya proses interogasi perlu dilakukan untuk sang kekasih.
Lepas dari sesi tanya-jawab, kini Yashinta terjebak di sesi makan malam bersama keluarga inti Danendra-sang idola-yang bahkan dulu hanya bermimpi untuk bertemu, kini justru menjadi bagian dari keluarganya.
Belum lagi permintaan Denada yang mengajaknya untuk tidur di kamarnya alih-alih tidur di kamar tamu yang sudah disediakan. Meski merasa canggung, Yashinta mengiyakan. Begitu juga Danendra yang tidak keberatan sama sekali dengan permintaan kakaknya itu.
Setelah selesai bersih-bersih, Yashinta dengan piyama tidurnya itu duduk di atas kasur. Denada yang juga sudah selesai dengan ritual malamnya kini duduk berhadapan dengan Yashinta.
"Mbak nggak keberatan misalnya Endra nikah duluan, Yas. Makasih, ya, sudah mau hadir di antara keluarga kami."
"Jangan bilang begini, Mbak. Justru Yas yang berutang budi dengan keluarga Mas Dan."
Denada menggeleng. Ia mengusap rambut Yashinta dengan pelan. "Anak baik, anak cantik. Mbak titip si bontot. Kalau semisal suatu hari Yas sudah bosan, dia nakal, dan main tangan, jangan bilang sama Papa Mama, bilang saja sama Mbak Dena. Biar Mbak yang hajar dia."
Yashinta tersenyum mendengar ucapan wanita yang hanya selisih dua tahun lebih tua darinya itu. Ia memegang tangan Denada kemudian meremasnya. Mungkin pembicaraan dari hati ke hati sesama anak pertama ini menjadi klop karena status yang sama.
Bahkan pembicaraan mereka terkesan seperti seseorang yang sudah lama dalam jalinan pertemanan. Akrab, menyenangkan, dan penuh kesan yang mendalam.
"Yas di sini seperti mimpi, Mbak. Dulu sekadar suka, kagum, tapi kok nyaman?"
"Lah, kok sama seperti yang Endra sampaikan? Dia ngerasa nyaman sama kamu padahal itu baru pertemuan pertama. Apalagi pas kejadian dia lagi blank, kamu berhasil nenangin dia dan lanjut kegiatan hari itu sampai selesai."
"Kebetulan, Mbak. Kebetulan Yas tahu gimana cara ngatasinya."
"Mbak Dena lihat Endra itu seneng banget. Dia seperti Endra yang dulu, sebelum kejadian yang mengharuskannya berhenti dari dunia panahan. Karena kesalahan rekan kerjanya, seorang anak kecil tiba-tiba lolos dari pengawasan dan masuk lintasan waktu sesi latihan. Kejadiannya cepat, Endra lari menyelamatkan anak itu, tetapi panah runcing menancap di bahu kanannya."
Yashinta membekap mulutnya. Ia yang beberapa kali tidak sengaja melihat Danendra dengan pakaian tanpa lengan memang pernah melihat bekas luka, tetapi ia tidak menyangka bahwa ceritanya akan sesedih itu.
"Jadi setelah berhenti dan nggak muncul selama setahun karena itu alasannya?"
Denada mengangguk. "Dia nggak rela berhenti dari panahan, tapi kondisi bahunya nggak bisa pulih seutuhnya. Dipaksakan justru semakin rusak nanti. Dia nggak bisa berdamai dengan kondisinya sampai sering sakit, Yas."
"Situasinya memang sulit, Mbak. Nggak semua bisa menjalani seperti Mas Dan. Dukungan keluarga yang utama."
"Mbak lihat hanya kamu dan Didi yang sanggup bertahan dengan Endra. Dia yang memilih kalian, jadi Mbak mohon, kalau nanti mau pergi beri tahu Mbak Dena, ya? Biarkan Mbak yang kasih tahu ke Endra. Dia itu rapuh, Yas."
Sudut mata Yashinta yang sedari tadi digenangi air mata kini sudah basah. Ia tidak tahan mendengarkan kisah yang ternyata tidak pernah ia sangkakan sebelumnya.
"Yas ngerasa delapan tahun sudah jadi yang paling tahu soal Mas Dan. Ternyata Yas nggak ada apa-apanya," ucap Yashinta sambil meremat tangan Denada.
"Sudah jangan nangis. Endra paling nggak suka lihat orang yang dia sayang itu menangis."
"Apa yang Mas Dan sembunyikan selain ini?"
"Nggak ada yang dia sembunyikan, mungkin waktunya saja belum pas untuk dia bercerita. Jangan bosan untuk mendengarkannya bercerita, ya? Kami suka ketika Endra bercerita, makanya waktu Endra sakit dan memilih diam, rasanya seperti dunia kami menghilang."
"Mas Dan trauma? Boleh Yas tahu tentang Mas Dan lebih jauh, Mbak?"
Denada menggeleng. "Biarkan Endra sendiri yang cerita. Sekarang waktunya tidur karena jam satu kalian sudah harus berangkat ke bandara."
"Nanggung, Mbak. Bisa dilanjutkan?"
Lagi-lagi sebuah gelengan yang Yashinta dapatkan. Padahal, di kepalanya masih banyak tanya yang belum terjawab. Namun, sumber utama informasi sudah menolak untuk bercerita lagi.
πππ