Aku mudah percaya, tetapi tidak untuk dilanggar.
Aku mudah percaya, tetapi tidak untuk dibohongi.
Sekalinya mendapat kepercayaanku, jagalah.
Sekalinya kau melanggar, jangan harap hal yang sama seperti dulu.
Itu aku!
πππ
Semua sesuai dengan perkiraan. Acara puncak lima besar sukses digelar dengan tidak ada seorangpun yang harus pulang. My Way Show menjadi acara spesial karena disajikan dengan sangat indah seperti konser besar.
Bedanya, dewan juri tetap memberikan penilaian. Kelima peserta mendapat standing applause dari semua dewan juri. Bagaimana dengan Danendra? Tenang saja, idola baru di kalangan remaja itu melewatinya dengan mulus. Bahkan ia juga lupa bahwa lewat tengah hari ia sedikit demam.
"Mbak Gita, makasih atas arahannya tadi. Kalau nggak bakalan tumbang sebelum perang ini," ucap Danendra sambil bersalaman dan mencium tangan wanita di hadapannya.
Danendra menunduk, bersamaan dengan itu usapan hangat mendarat di kepalanya. "Jaga kesehatan, ya? Kalau sudah capek bilang. Jangan dipaksakan. Kalau kamu dipekerjakan dengan ketat dan nggak dikasih jatah libur sama Didi, bilang sama Mbak Gita. Biar dia saja yang tak kasih obat tidur."
Danendra mengangguk sambil menunjukkan senyum manisnya. "Bang Didi nggak sejahat itu, Mbak. Bisa-bisa dia yang K.O duluan. Kerjaan dia lebih banyak."
"Kan ada Yashinta sekarang, nggak akan kerja dia. Makan gaji buta, dong?"
"Nggak akan. Dia butuh modal buat nikah, Mbak Gita."
"Oh ya? kapan? Awas nggak undang-undang, Di. Aku rusak acaramu, ya?"
"Bu Dokter gitu, mainnya ancaman saja."
Semua yang ada di ruangan tertawa mendengar ucapan kesal dari Bang Didi. Tidak terkecuali dengan Yashinta yang sibuk menikmati di balik layar acara. Selama ini ia merasa kegiatan di balik layar akan membosankan, ternyata orang-orang yang terlibat sangat ramah.
Hanya saja, riuhnya persiapan yang sedikit membuat kalang kabut. Selepas acara pembuka, para pendukung acara berlari untuk berganti kostum. Begitu juga dengan peserta yang akan tampil di urutan pertama.
Setelah acara selesai, Bang Didi berjalan paling depan dengan membawa tas dan beberapa pakaian yang tidak terpakai. Sementara itu, Yashinta dan Danendra mengekori sampai ke area parkir.
"Mbak Yas naik," perintah Danendra. "Jangan di belakang, di sebelah situ saja." Danendra langsung melarang Yashinta ketika ia memasuki mobil dan hendak duduk di kursi belakang.
"Capek, ya, Mas? Istirahat dulu," tanya Yashinta sambil menyodorkan tisu untuk mengelap keringat yang masih menetes di kening Danendra.
"Mbak Yas juga lebih capek. Dari tadi saya lihat mondar-mandir bantuin yang lain."
"Seru, tapi saya nggak nyangka kalau di balik layar seperti itu. Riweuh banget."
"Saya suka dengan cara kerja Mbak Yas. Nggak tergiur dengan memanfaatkan situasi."
"Maksudnya?"
"Nggak yang pansos dan foto sana-sini, terus unggah di sosmed."
"Kan saya kerja, Mas. Masa iya mau nyambi?"
"Kan bisa saja sambil nyelam minum air, Mbak."
"Tenggelam, dong?"
Akhirnya Danendra bercerita bahwa sebelum Yashinta, ia sempat mempekerjakan seorang gadis yang katanya fans berat Danendra. Memang asal-usulnya tidak begitu jelas, hanya seorang kenalan yang dikenalkan oleh orang televisi. Dengan sedikit track record bahwa ia orang yang ramah dan tekun bekerja.
Nyatanya yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa foto Danendra yang tengah berada di ruang istirahat tersebar. Bahkan beberapa video di ruang rias yang disediakan televisi bersama beberapa peserta diunggah dengan caption ekslusif, tetapi tanpa persetujuan orang-orang yang ada di dalamnya.
Yashinta manggut-manggut mendengarkan detail cerita yang pernah viral beberapa waktu lalu. Mungkin itu juga alasannya Danendra dan Bang Didi selektif dalam memilih asisten manajer pengganti.
"Kalian berdua ngobrolnya enak bener, sampai yang di depan merasa terabaikan."
"Bosen ngomong sama Bang Didi terus," jawab Danendra saat mendengar interupsi dari Bang Didi.
"Mbak Yas, Endra itu pemilih banget. Dia mudah percaya, tapi kalau kepercayaan itu dilanggar, jangan harap bakal dikasih kesempatan kedua."
Yashinta yang menyimak langsung menoleh pada Danendra. Di saat yang bersamaan pula Danendra juga menoleh padanya. Dengan cepat keduanya langsung berpaling.
Danendra menoleh ke arah jendela sambil berdeham. Sedangkan Yashinta mengalihkan pandangannya ke arah depan sambil memainkan rambutnya yang terurai. Tingkah laku keduanya ternyata tidak lepas dari pantauan dua manusia yang berada di kursi depan.
"Mas Didi, ada yang salah tingkah, nih," ujar Pak Aji sambil terkiki.
"Duh, Pak Aji ini dari tadi diam, tapi sekalinya ngomong, kok, suka bener, ya?"
Kedua lelaki itu tertawa melihat tingkah Yashinta dan Danendra. Namun, kejadian itu tidak berlangsung lama sebab Danendra memasang tatapan mata tajamnya. Pak Aji seketika terdiam ketika melihat tatapan Danendra dari kaca spion yang terpajang di bagian tengah.
"Fokus, Pak Aji. Ntar nabrak." Danendra berkata dengan pelan, tetapi cukup keras untuk di dengar.
"Ya, gitu, Mbak Yas. Endra kalau mode serius. Serem 'kan? Beda kalau di kamera, senyumnya manis banget."
Danendra menghela napas. Ia berusaha untuk tidak menggeplak kepala Bang Didi yang sudah me-roasting dirinya di depan Yashinta. Lelaki dua puluh empat tahun itu merasakan wajahnya memerah.
Untung saja mobil membawa mereka memasuki sebuah gang dan berhenti di depan gerbang berwarna hitam. Barulah Danendra bernapas lega karena itu tandanya Yashinta akan turun terlebih dahulu seperti yang disampaikan Bang Didi.
"Saya permisi dulu, Mas Dan, Pak Aji, Bang Didi. Terima kasih semuanya."
Yashinta turun dari pintu sebelah kanan. Begitu ia sudah berada di sisi kiri mobil Bang Didi dan Danendra kompak membuka kaca jendela. Bang Didi melambaikan tangannya, sementara Danendra hanya tersenyum dan mengangguk.
"Besok dijemput sama Pak Aji jam 8, Mbak. Temani saya latihan di asrama."
Bang Didi yang mendengar ucapan Danendra sontak menoleh sambil mengangkat dagunya bermaksud bertanya tentang kesungguhan rencana itu. Danendra yang paham langsung mengangguk.
"Besok saya ada kegiatan lain, jadi Mbak Yas yang temani, bisa?" Bang Didi menguatkan keterangan supaya Yashinta bersedia.
Ini bukan kongkalikong, tetapi entah mengapa, Danendra ingin waktu lebih bersama dengan Yashinta. Di samping itu, pihak SRTV memang meminta untuk hadir dalam penentuan lagu besok di asrama.
Setelah mendapat kepastian, barulah Yashinta masuk ke indekos, dan mobil yang ia tumpangi barusan sudah melesat untuk melanjutkan perjalanan. Langkah kaki Yashinta terasa ringan, penat dan lelahnya kali ini terbayar dengan sangat indah.
Kalau dulu ia hanya menjadi penggemar di depan layar kaca, kini ia seperti bisa menggapai sosok Danendra. Belum satu minggu, ia sudah merasa nyaman. Bagaimana jika perasaan itu keterusan dan enggan menjauh dari sang idola?
Berbeda dengan Yashinta, suasana mobil minibus milih Danendra itu terkesan lebih hidup. Ketiga lelaki yang berada di mobil terlibat percakapan yang lain dari biasanya. Apalagi penghuni kursi belakang.
"Mbak Yas itu pandai, ya, Bang? Nggak usah disuruh juga pekanya tingkat dewa. Ada aja yang dilakuin," ucap Danendra sambil menyandarkan kepalanya.
"Sama seperti yang sebelumnya, Abang sudah kasih banyak catatan untuk dia pelajari, Ndra. Kamu aja yang nggak tahu."
"Ish, Mbak Yas ini beda sama yang sebelumnya, dia lebih cekatan, terus kalau natap matanya itu seperti ngisi daya. Jadi lebih semangat."
Pak Aji yang mencuri pandang ke kursi belakang, tertawa kecil sambil menutup mulutnya. Danendra menyadari dan memasang wajah bertanya.
"Berapa kali nama Mbak Yas disebut, Pak?" tanya Bang Didi pada Pak Aji yang tertawa.
"Kalau ndak salah, hm, enam kali dari pas keluar gang indekosnya Mbak Yashinta."
Danendra langsung memajukan tubuhnya, tidak lupa dengan bantal leher di tangan kanan yang ia hantamkan ke kepala Bang Didi. Ia kembali duduk setelah menghadiahkan dua kali hantaman bantal leher.
"Diem, Bang!"
Setelah meminta Bang Didi diam, Danendra mendadak terdiam. Ia merenungi sikapnya barusan. Sudah lama rasanya ia tidak merasakan adanya gemuruh di dadanya. Hanya dengan menyebut nama Yashinta, mengapa semua terasa berbeda.
Ini baru awal, tetapi hatinya seperti tidak bisa berbohong. Ada rasa yang berbeda. Helaan napas kembali terdengar dari Danendra dan membuat dua lelaki di depannya menoleh.
"Berat, ya? Hati-hati jaga hati, Ndra. Dia bukan orang yang mudah ditaklukkan."
"Kata siapa, Bang?"
"Kata sepupu Abang lah, kata siapa lagi? Kan hanya dia yang bisa jadi sumber informasi," ucap Bang Didi dengan penuh penekanan pada kata dia dan sumber informasi.
"Salah nggak kalau aku bilang suka sama Mbak Yas?"
Bang Didi dan Pak Aji saling bertukar pandang. Keduanya ingin menjawab tetapi masih bingung jawaban apa yang akan diberikan. Akhirnya Bang Didi menoleh, badannya menghadap ke belakang dan menatap wajah Danendra dengan sungguh-sungguh.
Bang Didi awalnya menggeleng, lalu mengangguk.
"Kenapa habis geleng jadi ngangguk? Salah apa benar?" tanya Danendra.
"Nggak salah. Awalnya suka, lama-lama cinta, terus jadi sayang," balas Bang Didi dengan penuh keyakinan.
πππ