Apalah aku jika tidak ada dukungan.
Ini pilihanku untuk bisa bertahan lebih lama.
Aku menjalaninya karena ini yang aku pilih.
Jadi jangan pernah bertanya untuk apa aku berada di sini.
πππ
Apa arti sebuah pilihan? Mungkin dari sekian banyak orang hanya beberapa yang selalu disibukkan dengan memilih. Entah di antara dua atau tiga pilihan. Hampir semuanya memiliki keuntungan dan kelebihan.
Tidak sedikit mereka menjalani tidak diberi kesempatan untuk memilih karena sudah "dipilihkan" oleh orang terdekat. Namun, dengan begitu, hidupnya seperti tidak mandiri. Seperti anak kecil yang makan saja harus disuap setiap saat. Tidak diberi kesempatan untuk menolah, atau memilih menu. Semua sudah tersedia di depan mata.
Beruntungnya Danendra terlahir di keluarga yang tidak menuntut. Pengalaman kedua orang tuanya yang selalu diatur, membuat mereka mendidik putra-putrinya berbeda. Denada si sulung, diberi kesempatan untuk memilih masa depan sesuai keinginannta.
Begitu juga dengan Danendra, orang tua tidak ikut campur bahkan ketika ia memilih untuk menjadi atlet panahan. Sampai pada akhirnya karier sebagai atlet ia sudahi dan setahun kemudian memilih dunia hiburan demi menyalurkan hobi.
"Kamu yakin dengan pilihanmu, Dek? Mbak Dena akan dukung apapun yang menjadi pilihanmu. Selama kamu yakin dan nyaman. Ayah dan Ibu juga sepertinya tidak akan keberatan jika salah satu anaknya sering wara-wiri di televisi."
"Makasih, Mbak. Dari keyakinan sudah yakin banget, satu saja yang jadi ganjalan. Bisa nggak bertahan di dunia hiburan? Kelihatannya saja itu seru, tapi pengorbanannya juga besar."
"Nggak masalah. Kamu saja sanggup bertahan di dunia panahan selama enam tahun. Dengan penggemar yang begitu banyak, Mbak yakin kamu pasti bisa."
"Itu masa lalu, Mbak. Jangan dibahas lagi. Nggak suka."
"Sampai kapan kamu begini? Kamu sudah memilih, Dek. Tinggal bagaimana berdamai sama masa lalu yang nggak enak itu."
Sekelebat ingatan tentang percakapannya bersama sang kakak kembali muncul di benak Danendra. Ia menoleh pada Yashinta yang duduk di sampingnya selama perjalanan sepulang dari stasiun radio.
Betapa bersyukurnya lelaki dua puluh empat tahun itu ketika acaranya lancar tanpa kendala. Begitu juga dengan Bang Didi dan Yashinta yang terus saja memberikan semangat padanya. Setidaknya, kedua orang terdekatnya ini menjadi pembangkit semangat.
"Ndra, langsung ke SRTV apa ke asrama dulu?"
"Asrama saja, Bang. Biar bisa istirahat sekalian pemanasan buat ntar malam. Ini peserta lain juga sudah merapat ke sana."
Asrama mereka sebutkan itu adalah sebuah rumah dengan beberapa kamar besar, sebuah kolam renang dan taman yang cocok untuk bersantai. Lokasinya pun berada di pinggiran kota yang tenang. Jauh dari polusi udara juga polusi suara bising kendaraan.
Setelah menempuh kurang dari satu jam perjalanan, mobil minibus yang mereka bawa akhirnya sampai di sebuah kawasan yang terlihat elit. Meski begitu, suasana di tempat itu cenderung sepi. Jika lokasinya lebih tinggi, mungkin bisa dikatakan ini wilayah villa elit.
"Mbak Yas ambil barang yang dibutuhkan, sisanya biarkan di mobil biar nggak terlalu berat dibawa. Biar saya bawa barang punya Endra."
Yashinta mengangguk dan mulai memilah barangnya. Kemudian mengikuti Bang Didi masuk ke rumah dengan dua lantai itu. Rumah yang cukup besar untuk dihuni oleh lima peserta My Way Show lengkap bersama keluarga, manajer, atau asisten. Danendra yang lebih dulu masuk langsung disapa oleh penghuni di sana.
"Wuidih, yang jadwalnya hari ini super padat. Gimana persiapan nanti malam?" sapa seorang yang mengenakan celana cokelat tua dan kaos berwarna abu agak kecokelatan dengan logo Bhayangkara di dadanya.
"Aman, Bang. Bang Andri sama si kecil? Di mana, Bang?"
Lelaki yang bernama Andri itu mengangguk sambil menunjuk lantai atas. "Lagi tidur sama mamanya. Hari ini rewel banget."
"Oi, bontot! Sudah kelar acaranya? Mukanya agak pucat, nih. Nggak dikasih makan sama Didi?"
Seorang wanita yang sesusia Denada—kakak perempuannya—menyapa dan langsung mengacak rambut Danendra. Ia juga memegang leher dan kening Danendra. "Kok hangat, sih? Makan dulu, terus istirahat, ya?"
Danendra mengangguk, "Siap, Bu Dokter. Laksanakan!" jawab Danendra sambil beranjak untuk menemui dua orang lainnya.
Di asrama hanya ada satu orang perseta perempuan bernama Gita yang berprofesi sebagai dokter. Sisanya seorang anggota kepolisian yang sering membawa anak dan istrinya. Satu laki-laki bernama Rivan pemilik usaha waralaba yang tengah viral, dan satu yang bernama Yuda seorang pedagang di pasar tradisional yang usianya hanya selisih dua tahun dengan Danendra.
Ketika semua berkumpul di ruang tengah, Yashinta dan Bang Didi turun ke lantai satu setelah membereskan barang bawaannya. Peserta yang sudah bersama selama kurang lebih empat bulan itu memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat erat.
Persaingan hanya ada ketika pemilihan siapa yang pulang dan siapa yang bertahan, selebihnya mereka saling dukung satu sama lain. Saling mengingatkan dan juga saling menjaga. Apalagi kepada Danendra yang statusnya sebagai yang termuda.
"Mbak ini calon penggantinya Didi, atau ..."
"Asistennya Bang Didi, Mbak. Bukan penggantinya," ucap Danendra memotong pertanyaan Dokter Gita.
"Nggak niat dikenalin ke kita-kita?" goda Bang Andri sambil menggendong si kecil yang sudah terbangun karena keramaian di rumah itu.
"Saya Yashinta Sadina. Salam kenal buat semuanya."
Yashinta menatap ke arah mereka yang tengah bersantai di ruang tengah sambil sedikit membungkukkan tubuhnya. Dengan sikap yang sedikit gugup, gadis berambut cokelat itu langsung menghampiri satu persatu penghuni rumah. Sambil menyebut nama panggilannya.
"Di, si bontot dah makan belum? Badannya agak hangat, di meja makan aku bawa sop ayam. Ajak makan dulu sekalian sama Yashinta. Kasih obat pereda demam terus suruh tidur." Dokter Gita memberi arahan pada Bang Didi dan langsung mendapat tanggapan darinya.
Sejak awal masa perkenalan, memang Dokter Gita paling giat menjaga kesehatan peserta. Wanita dengan julukan dokter seleb itu memang terbilang paling cerewet jika ada yang lalai dalam menjaga kesehatan. Jiwa dokternya meronta di waktu yang tepat.
Ketika Bang Didi tengah sibuk mencari Danendra setelah menyiapkan tiga mangkuk sop ayam beserta nasi, yang dicari justru tengah sibuk merendam kaki di kolam. Rupanya ia tidak sendiri. Di sebelahnya ada Yashinta yang juga duduk bersila di tepian kolam.
Melihat hal itu, Bang Didi berjalan dengan nampan di tangan. "Makan dulu kalau nggak pengin kena semprot lagi sama Mbak Dokter, Ndra. Ini obatnya diminum. Kenapa nggak bilang kalau nggak enak badannya?"
"Cuma sedikit hangat, Bang. Nggak apa-apa."
"Mbak Yas, dimakan dulu mumpung masih hangat. Duh, ini airnya lupa."
"Biar saya yang ambil, Bang."
"Nggak usah, Mbak Yas di sini saja temenin Endra. Saya yang ambil airnya. Ndra, makan!"
Danendra mengangguk sambil melihat Bang Didi yang meninggalkan mereka berdua. Sang idola menghela napas, kemudia mulai mengaduk sop ayam dihadapannya. Hanya diaduk tanpa ada minat untuk memakannya.
"Mau pakai nasi?" tawar Yashinta yang dijawab dengan gelengan dari Danendra.
"Maaf tadi bikin takut Mbak Yas. Kalau Mbak Yas tahu saya sempat menghilang setelah mundur dari dunia panahan. Masa itu adalah masa tersulit bagi saya. Mbak nggak pengin tahu gitu, saya ke mana, saya kenapa, terus tadi juga kenapa. Nggak ada yang pengin ditanyakan?"
Yashinta menggeleng. "Kalau saya tanya, apa itu meringankan beban Mas Dan? Atau mungkin bisa menyelesaikan masalahnya? Kalau sekiranya saya penting dan dipercaya, Mas Dan nanti pasti cerita tanpa saya minta."
"Mbak Yas ini melihat saya sebagai apa?"
Ditanya seperti itu, leher Yashinta seperti tercekat dan tidak bisa berkata-kata. Bahkan ia merasa wajahnya memanas. Entah bagaimana penampakan wajahnya saat ini. Mungkin sudah lebih merah dari kepiting rebus.
"Se-sebagai majikan? Eh, bukan. Sebagai Big Boss? Bang Didi bosnya, Mas Dan Big Boss-nya," ucap Yashinta sambil terkekeh.
"Saya jarang bisa ngobrol begini sama orang yang baru saya kenal. Ini kok nyaman, ya? Apa kita sudah saling kenal?" tanya Danendra sambil memiringkan kepalanya ketika menatap manik mata Yashinta. "Kayaknya kenal, tapi siapa?"
πππ