Jangan berucap jika berpotensi menyakiti.
Diam jauh lebih baik dibanding berbicara, tapi pedas.
Jangan membandingkan jika tak ingin dibandingkan.
Jangan mengusik jika tak ingin diusik.
Hidup sesederhana itu.
πππ
Pendingin ruangan serasa tidak berfungsi. Yashinta yang mencoba tenang melihat keadaan idolanya yang terkapar justru banjir keringat. Di luar ia terlihat sangat tenang. Membantu Bang Didi mengurus Danendra dengan baik, tetapi tidak dengan jantungnya yang semakin berpacu.
Yashinta mengambil botol parfum dari tasnya dan menyemprotkan di sekitar sofa. Aroma segar langsung menyebar di ruangan itu. Bang Didi menoleh sebentar melihat apa yang dilakukan oleh Yashinta.
"Ndra, fokus dulu, ya? Di sini sudah nggak ada siapa-siapa. Hanya Abang dan Mbak Yas."
Sosok yang terbaring di sofa itu hanya mengerjap dengan sangat pelan seperti reka adegan slow motion. Merasa tidak ada respon yang baik, Yashinta beralih duduk di sisi kiri kepala Danendra.
"Boleh Yas coba, Bang?"
Bang Didi mengangguk dan memberikan kesempatan untuk Yashinta supaya lebih leluasa. Meski ini bukan yang pertama untuk Bang Didi, tetapi getaran ditangannya bisa menjadi bukti bahwa lelaki itu belum terbiasa dengan situasi yang seperti ini.
"Mas Dan, permisi, ya?" bisik Yashinta di telinga kiri Danendra. Ia lalu mulai menyeka keringat yang terus bercucuran. "Mas Dan tenang, nggak akan terjadi apa-apa. Mas Dan sadarin diri dulu, ya? Fokus. Bang Didi sudah panik bukan kepalang. Yas nggak tahu mau ngapain kalau Mas Dan seperti ini."
Yashinta terus saja mengajak bicara sosok di hadapannya. Sampai saat ia beralih mengusap tangan Danendra dengan handuk basah, tangan dalam genggamannya itu mulai bergerak.
Bang Didi yang sedari tadi berdiri sambil menggigit kuku ibu jarinya langsung mendekat. Ia melihat ke arah wajah Danendra. Mata yang tadinya hanya memandang satu titik kini mulai bergerak dan mengerjap lebih cepat.
"Mbak Yas, sudah cukup. Makasih," ujar Danendra sambil berusaha bangkit.
Bang Didi dengan sigap membantu dan menyandarkan Danendra pada punggung sofa. Helaan napas dari Yashinta dan Bang Didi terdengar keras. Yashinta langsung menumpukan kepalanya pada sofa dengan posisi masih bersimpuh.
"Bikin panik aja, Ndra. Masih pusing? Atau kita cancel saja untuk ke radio? Abang kasih kabar pihak radio, ya? Biar kamu bisa istirahat"
Danendra mengibaskan tangannya, "Nggak usah, ini sudah baikan. Sayang kalau dibatalin, Bang. Aku masih sanggup."
"Mas Dan saya keluar dulu, ya? Mas Dan di sini dulu sama Bang Didi."
Belum juga kedua lelaki itu menjawab pernyataan Yashinta, si gadis berambut cokelat itu sudah berdiri dan meninggalkan keduanya di ruangan itu. Sepeninggal Yashinta, Bang Didi tidak memulai percakapan apa-apa.
Ia paham bahwa lelaki yang sudah seperti adik itu sedang tidak baik-baik saja. dapat dilihat dari sikapnya yang masih terdiam dan hanya memandang satu titik. Bang Didi mengusap punggung Danendra.
"Jangan dipaksakan berdamai jika masih belum bisa. Sebab ikhlas itu tidak bisa dipaksakan. Lakukan, lalu lupakan. Kalau masih ingat, biarkan sampai kamu bisa lega ketika mengingatnya."
"Sulitnya ikhlas begitu, ya? Bukan hanya di bibir, tapi harus seluruh badan yang merasakannya," ucap Danendra sambil mengusap wajahnya.
"Begitulah. Dikata mudah, nyatanya sulit. Dikata sulit, tapi banyak yang lulus dalam tahap ini."
"Bang, sampai kapan?"
"Sampai kamu tidak takut dan justru tersenyum ketika mengingatnya."
"Yas kembali lagi."
Suara Yashinta terdengar dan membuat keduanya menoleh bersamaan. Gadis yang masih setia dengan rambut terurai itu membawa dua cup dengan tatakan yang dijinjing. Ia langsung meletakkan barang bawaannya di meja yang tersedia.
"Ini cokelat hangat buat Mas Dan dan Abang. Silakan diminum dulu. Lumayan buat bersantai sebelum ke lokasi berikutnya."
Kedua lelaki itu saling bertukar pandang lalu meraih cup yang ada dihadapannya itu. Mereka langsung meminumnya secara perlahan. Tampak bahu Bang Didi seperti merosot seiring dengan tegukan yang turun menjelajahi kerongkongannya.
Begitu juga dengan Danendra. Rona wajah yang tadinya pucat tampak lebih berwarna. Helaan napas lega juga membuat tingkat tekanan yang ada di pundaknya itu seperti hilang secara bertahan.
"Yas permisi siap-siap. Kalau sudah selesai nanti tinggal berangkat. Mas Dan nggak ingin melewatkan kesempatan menjadi tamu di stasiun radio 'kan?"
"Makasih Mbak Yas untuk minumannya. Nanti tagihannya biar diurus sama Bang Didi."
"Ah, iya. Nanti kirim saja akun dompet digitalnya. Biar saya isi sekaligus dengan kebutuhan mendadak lainnya. Nanti nggak harus nunggu saya lagi, ya?"
Yashinta mengacungkan jempolnya. Meski ia masih menyimpan tanya tentang keadaan sang idola, tetapi pekerjaannya harus selesai. Sikap profesional harus diterapkan, bedakan pekerjaan dan kebutuhan pribadi.
Diam-diam Yashinta yang membereskan isi tas dan beberapa barang bawaan Danendra memasang telinganya dengan baik. Ia mendengarkan potongan-potongan percakapan antara sang idola dan Bang Didi.
Sebagai penggemar setia, Yashinta memang tahu banyak tentang kehidupan Danendra. Tentang apa yang idolanya suka dan tidak suka. Tentang seluk-beluk keluarga dan kisah berhentinya Danendra dari dunia panahan.
Meski hanya sepenggal alasan, yaitu mengenai kesehatan. Yashinta menerima alasan tersebut. Bahkan setelah pernyataan mundur dari dunia panahan dan menghilang selama satu tahun, Yashinta sabar menunggu Danendra muncul kembali dengan pembawaan yang lebih dewasa.
"Ndra, obatnya jangan lupa tetap diminum. Apa semalam tidurmu nyenyak?"
"Nggak bisa, Bang."
"Masih suka mimpi buruk?"
Yashinta yang berada tak jauh dari sofa melihat Danendra mengangguk sambil meneguk cokelat hangat. Ia berfikir kembali. Mimpi apa yang membuat Danendra sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak.
"Kalau kamu capek, kamu bosan, ingin jalan-jalan, lepas dari pantauan kamera yang nguntit kamu, bilang saja. Abang carikan hari untuk kamu istirahat."
"Memang Abang bersedia bayar denda karena melanggar kontrak?"
"Abang sih nggak sanggup, tapi kalau Mbak Dena pasti sanggup," ujar Bang Didi sambil mengacungkan dua jarinya membentuk huruf v.
"Nggak usah bawa-bawa orang rumah, Bang. Ada Abang, Pak Aji, ditambah Mbak Yas, itu sudah cukup buat dukung aku."
"Mbak Yas dengar? Siap jadi pendukunya Endra?"
Yashinta berbalik, ia mengangkat tangan dan meletakkan dekat pelipisnya. "Siap, laksanakan!"
"Tuh, pendukungmu sudah nambah lagi, Ndra."
"Nggak akan nambah, Bang. Saya pemain lama," ucap Yashinta sambil tersenyum lebar.
Kedua lelaki itu tertawa. Meski begitu, Yashinta yang melihat gelagat keduanya tidak serta merta percaya pada tawa keduanya. Ia lebih memilih menikmati senyum lebar dari Danendra.
Sosoknya masih sama, wajah dan senyumnya juga masih sama. Namun, sorot mata itu adalah sorot mata yang berbeda dengan Danendra sebelum dan sesudah ia berhenti dari dunia panahan.
Dia adalah dia, tapi berbeda. Nyatanya memang nggak mudah menjadi dirinya, batin Yashinta sambil sekali mencuri kesempatan untuk memandangi sang idola dan menatap tepat di manik matanya.
"Mbak Yas ada yang mau disampaikan?'
Mampuslah, pake acara ketahuan pula!
"Ng-ngak ada apa-apa, Mas. Ini masih beres-beres."
Jantung Yashinta seperti langsung melorot dan jatuh sampai telapak kakinya. Ingin rasanya ia tenggelam dan menghilang.
πππ