Yang lewat biarkan saja.
Biarkan itu semua menjadi sejarah.
Tidak untuk diulang, cukup dikenang.
Jalani dan hadapi.
Tidak ada yang buruk selama bisa menerima
Sebab takdir Tuhan adalah sebaik-baiknya perjalanan
πππ
Setelah prahara yang dilewati, Yashinta mulai berdamai dengan diri. Ia sudah tidak ingin mengingat-ingat lagi betapa sakitnya dikhianati oleh rekan kerjanya. Apalagi untuknya yang menjadi pendatang dan fokus untuk bekerja.
Mungkin memang benar, sejahat-jahatnya ibu, yang paling jahat adalah ibu kota. Mereka yang berjuang harus mengerahkan segenap tenaga untuk bertahan bahkan bersaing. Sudah seperti hukum rimba, siapa kuat ialah yang bertahan.
Yashinta bangun pagi dengan keadaan yang sangat tenang. Semalam ia puaskan dirinya untuk menangis, tetapi begitu tangisnya reda hanya kelegaan yang ia rasakan. Dan ketika bertemu dengan Mbak Yayah di malam hari, suasana hatinya sangat baik.
"Mbak Yayah, doakan Yas bisa kerja di SRTV, ya? Semoga yang Yas usahakan nggak sia-sia."
"Amin, semoga dilancarkan dan dimudahkan semuanya, Yas. Maaf, Mbak Yayah nggak bisa nemenin. Jadwal ngajar hari ini padat, Yas."
"It's okay, Mbak. Yas bisa sendiri. Yas berangkat."
"Yas, foto dulu boleh? Kamu cantik banget hari ini."
Kedua gadis itu berswafoto, Yashinta tetap berada di atas motornya, Mbak Yayah menghampiri. Setelah selesai, keduanya berpisah di jalan besar karena tujuannya berbeda.
Cuaca pagi memang tidak pernah gagal untuk membangun mood. Namun, untuk di kota besar, suasana pagi ternyata cukup untuk menguras emosi. Beruntungnya Yashinta karena pagi ini perjalanannya menuju stasiun TV milik bersama itu lancar jaya.
Bangunan megah dengan belasan lantai itu sudah terpampang nyata di hadapan Yashinta. Ia langsung menuju area parkir. Gedung dengan nama SRTV di puncak bangunan, dengan logo merpati putih itu tampah gagah berdiri.
"Bismillah. Kamu sudah ada di sini, di depan mataku. Nggak ada yang sia-sia selama dilakukan dengan benar. Yang salah adalah tidak pernah berusaha untuk mencapai cita-cita."
Ucapan Yashinta menjadi penyemangat untuk dirinya sendiri. Gadis dengan rambut cokelat terurai dan poni di jidat itu akhirnya mantap melangkahkan kaki. Ia mengikuti arahan dari satpam yang bertugas.
Begitu memasuki ruangan, embusan pendingin udara langsung menyapanya. Ia pikir, lowongan yang tersedia hanya untuk kalangan terbatas, tetapi tidak demikian. Berpuluh-puluh orang sudah duduk di kursi yang disediakan di dalam aula besar.
Mungkin ini perekrutan besar-besaran tidak hanya untuk staf, tetapi juga untuk pegawai dari berbagai devisi. Yashinta memandangi seluruh ruangan, ia meneguk ludahnya dan mendadak pesimis dengan kesempatan yang ada.
Satu jam sudah berlalu, ia juga masih belum mendapat panggilan untuk tes wawancara. Ia memandang lurus ke depan, pandangannya tertuju pada sosok laki-laki yang memegang ponsel sambil mengecek satu persatu calon pelamar.
Sampai si lelaki itu berdiri di hadapannya, lelaki dengan celana berbahan kain, dengan kemeja bermotif kotak-kotak dan kaus berwarna putih di dalamnya.
"Alhamdulillah, ketemu! Mbak ikut sama saya."
"La-lah, Mas siapa? Ini sebentar lagi sudah giliran saya, loh." Yashinta gugup ketika ada sosok yang tidak ia kenal tiba-tiba mengajaknya pergi.
"Sudah, ikut saya dulu. Mbak ini Yashinta Sadina 'kan? Ikut saya, keadaan darurat, permisi saya gandeng."
Tangan Yashinta langsung diraih tanpa persetujuan. Ia ingin melawan, tetapi kenyataan bahwa lelaki itu mengenalnya, akhirnya Yashinta pasrah. Ia mengikuti langkah kaki si lelaki yang terasa sangat diburu waktu.
Lelaki itu membawa Yashinta menaiki lift dan menuju ke lorong yang berisikan jejeran pintu dengan nama-nama yang sangat familiar. Sampai tibalah Yashinta di pintu dengan nama yang cukup untuk membuat kakinya lemas seketika.
Danendra Pramudya. Yashinta gelagapan dan menghempas tangan lelaki yang menggandengnya ketika matanya menatap tulisa dengan nama sang idola.
"Mas siapa? Ini kenapa saya dibawa ke sini?"
"Saya Fitri Hariadi. Ini tanda pengenal saya. Saya mendapat nama Mbak dari sepupu saya, Fitri Soraya."
Yashinta sudah memasang telinganya dengan benar, tetapi nama yang diucapkan oleh lelaki itu terdengar sangat asing. "Maaf, Fitri Soraya? Saya nggak kenal sama beliau. Mas pasti salah orang."
"Nggak, saya nggak salah orang. Ini Fitri Soraya, dia yang kirim foto ini ke saya," ujar lelaki itu sambil menunjukkan sebuah foto di ponselnya.
Yashinta mengarahkan pandangan pada ponsel si lelaki. Ia langsung mengenali siapa yang dimaksud oleh lelaki itu. Sebuah foto yang ia dan Mbak Yayah ambil pagi tadi kini tampak di layar ponsel.
"Owalah, Mbak Yayah? Kalau ini saya kenal. Jadi Mas Fitri ini yang sepupunya Mbak Yayah."
"A, iya. Yayah. Saya lupa sama panggilan sepupu sendiri. Jangan panggil saya Fitri, panggil Didi saja. Mbak masuk dulu nanti saya jelaskan di dalam. Sekalian sama Danendra."
"Ng-nggak, saya mau tes wawancara dulu, Mas. Saya mau kerja di sini. Kenapa malah dibawa ke sini?"
"Mbak, saya minta tolong. Saya sangat percaya sama sepupu saya, jadi tolong kali ini Mbak Yashinta percaya sama Yayah dan saya, ya?"
"Eh, lah? Mas, bentar saya mau tes wawancara."
Lelaki itu telanjur menyeret Yas dan memasukkannya ke dalam ruangan dengan pintu bertulis nama Danendra Pramudya. Yashinta tidak bisa menolak. Ia terdorong dan oleng begitu masuk ke ruangan karena pijakan kakinya yang goyah.
Nyaris saja gadis berambut cokelat dan bermata sedikit sipit itu terjatuh, tetapi keseimbangannya langsung kembali dan berdiri tegak ketika melihat sosok lelaki yang tengah duduh di sofa.
"Bang, sudah dapat? Apa ini orangnya?"
Suara berat yang biasanya menghipnotis di layar kaca akhirnya bisa Yashinta dengar secara langsung. Ia begitu terpesona pada suara yang baru saja didengar. Detak jantungnya mendadak tidak karuan.
Yashinta meremat ujung bajunya. Matanya berkedip berkali-kali sampai ia sendiri bingung harus bagaimana.
"Iya, Dra. Dia yang direkomendasikan sama sepupu Abang. Katanya dia punya skill dalam perawatan keluarga, dia juga pernah sekolah di sekolah kesehatan, setidaknya tahu sama perhitungan gizi atau apalah itu. Kata sepupu juga dia pandai masak. Jadi kemungkinan satu orang ini bisa semuanya. Selera berbusananya juga nggak yang parah banget."
Yashinta hanya terpaku. Ia sudah seperti sapi yang disembelih lalu dikuliti. Sepupu Mbak Yayah ini seperti sangat paham terhadap dirinya. Sampai seluruh detail pengalaman yang ia punya sudah dijelaskan.
"Ma-maaf, ini kapan selesai? Saya sudah melewatkan tes wawancara."
"Kamu diterima. Saya tidak biasa menerima orang yang tidak jelas latar belakangnya. Ini karena sepupu saya, jadi saya mau dan ingin menjadikan kamu sebagai asisten manajer, asisten saya," ujar laki-laki berkemeja kotak-kotak.
"Mbak siapa namanya?" tanya Danendra dengan menatap mata Yashinta secara langsung.
Yang ditatap langsung gelagapan. Yashinta mendadak salah tingkah. "Sa-saya, Yashinta Sadina, biasa dipanggil Yas."
"Mbak Yas nanti jadi Asisten Manajernya Bang Didi. Nanti Bang Didi bakal jelaskan semuanya. Saya nggak bisa terima penolakan karena ini pilihan si Abang. Mau?"
Seperti sudah terhipnotis, Yashinta langsung mengangguk. Tidak peduli bagaimana penampilannya yang seperti orang bodoh, mengangguk tanpa pertimbangan lebih lanjut. Hanya mengikuti isi hatinya dan menyetujui kesepakatan yang masih abu-abu.
Ah, biarkanlah angin berlalu. Tutup yang lama, buka yang baru. Tuhan, terima kasih memberikan takdir yang indah buat Yas, batin Yashinta.
πππ