Sedih itu wajar, sakit hati juga wajar.
Yang tidak wajar itu menyakiti orang lain,
tetapi merasa dirinya yang tersakiti.
Sampai di situ paham?
Sama-sama tidak ingin sakit?
Jangan berulah!
πππ
Ini menjelang akhir pekan, jumlah pengunjung di supermarket tempat Yashinta bekerja akan jauh lebih banyak daripada hari-hari biasanya. Apalagi mendekati sore, akan sangat padat.
Yashinta berdiri di depan meja kasir Nita. Teman perempuan yang sudah jelas menusuknya dari belakang. Membuat laporan palsu tentang kinerjanya. Bodohnya lagi, pihak perusahaan tidak melakukan tindak lanjut terhadap laporan tersebut, tetapi justru melayangkan surat pemutusan hubungan kerja.
"Teman, sudah siap melayani saya sebagai konsumen. Harus siap, dong," ujar Yashinta sambil melipat tangannya.
Pakaian dan penampilannya benar-benar berbeda dari teman-temannya. Tampak anggun dan juga membuat beberapa pengunjung langsung meliriknya ketika melintas di dekatnya.
"Cih. Ngapain masih di sini? Bukan karyawan sini lagi 'kan?" Nita melayangkan tatapan sinis pada Yashinta.
"Eh, eh, nggak boleh melayani konsumen dengan wajah seperti itu, Mbak! Nanti saya laporkan, mau? Saya ini bukan karyawan, saya tegaskan, saya konsumen di sini."
Yuyun langsung memberi kode pada Nita supaya menuruti Yashinta. Tatapan mata gugup dan gelisah dapat Yashinta lihat ketika mereka bertukar pandang. Yashinta langsung mendorong dua troli berisikan barang belanjaannya.
Kedua troli itu sangat penuh dengan barang belanjaan. Yashinta tidak peduli ia akan menguras kantongnya kali ini. Toh gaji yang baru didapatnya lebih dari cukup untuk membayar itu semua.
Nita dan Yuyun saling membantu mengecek barang-barang dan memindai barcode di balik bungkus makanan. Keduanya tampak serasi dan kompak. Termasuk kejahatan yang mereka lakukan kepada Yashinta.
Ketika semua sudah selesai, Yashinta menghentikan kegiatan keduanya yang tengah memasukkan barang ke dalam kardus.
"Eh, Mbak, maaf. Untuk yang itu, itu, dan sebelah situ, minta tolong dipisah, ya? terus yang makanan jangan dicampur dengan barang lainnya. Paham maksud saya 'kan?" Yashinta menghadiahkan senyuman kepada kedua temannya itu.
"Banyak bacot! Cepet pergi lah dari sini." Nita yang matanya sudah tampak memerah mulai menggerutu dengan keras.
"Duh, maaf untuk para pengunjung. Teman saya ini suka bercanda. Jangan didengarkan, ya? Tapi kalau mau protes, bisa kok. Silakan bikin aduan saja ke nomor yang tertera di sini. Biar mereka menjaga omongannya."
Nita merasa tersulut, ia berdiri dan hendak meraih leher Yashinta. Namun, tangan Yuyun jauh lebih sigap untuk menarik dan meminta Nita mundur. Kegiatan mereka menjadi pusat perhatian.
Meja kasir kanan dan kiri yang memang penuh, mendapat tontonan gratis. Sementara itu Yashinta masih saja dengan sikap awalnya, penuh senyum, tetapi sorot matanya mengintimidasi.
Rasanya itu belum setimpal dibanding sakit hati Yashinta. Hanya satu pemikiran Yashinta kali ini, ia tidak ingin merepotkan Tuhan dan menunggu balasan Tuhan untuk keduanya.
Begitu semua barang sudah selesai dihitung, Nita menyebutkan nominal belanjaan milik Yashinta. Gadis dengan rambut berekor kuda itu mengambil sejumlah uang dan meletakkannya di hadapan Yashinta.
"Kembaliannya buat Mbak Nita dan Mbak Yuyun, hitung-hitung traktiran perpisahan dari saya. Makasih banyak untuk pertemanan selama ini."
Belum juga keduanya membalas, Yashinta memajukan tubuhnya dan mendekatkan mulutnya di dekat telinga Nita.
"Sekali busuk, tetap busuk. Ini belum seberapa, tapi saya berterima kasih sama Tuhan karena sudah menunjukkan kebusukanmu. Jangan lupa untuk lebih berhati-hati jika ingin menjatuhkan orang lain," bisik Yashinta.
Sang gadis berambut ekor kuda itu menjauh dari kasir dengan wajah yang tetap terangkat. Tidak ada satu keraguan yang menyergap sebab ia tidak melakukan kesalahan. Malu? Ia sudah membuang itu semua. Justru dua temannya itu yang seharusnya lebih malu.
Yashinta memasuki halaman indekos ketika hujan turun dengan lebatnya. Ia sengaja tidak membawa barang belanjaannya karena terlalu berat jika dibawa dengan motor. Yashinta memanfaatkan jasa pesan antar yang disediakan di tempat kerjanya itu.
Begitu sampai, tidak berapa lama ada yang memanggilnya. Yashinta yang masih menggunakan mantel akhirnya keluar dan menemui si pengantar barang. Mereka membantu Yashinta memasukkan ke dalam rumah.
"Makasih, ya. Salam sama teman-teman lainnya. Dan ini sekadar ucapan terima kasih dari Yas karena sudah menjadi teman yang baik."
"Kenapa harus Mbak Yas yang diberhentikan? Kami jadi merasa kehilangan," ucap kurir yang menggunakan topi berwarna hitam.
"Mungkin jalan saya sudah buntu di sini, tapi terbuka di tempat lain. Tetap saling bertukar kabar, ya. sampaikan salam saya sama yang lainnya, termasuk bapak-bapak penghuni pos satpam."
Sang kurir berpamitan. Bersamaan dengan itu, seorang penghuni kamar indekos keluar.
"Siapa, Yas?"
"Mbak Yayah!"
Yashinta langsung berbalik ketika mendengar suara yang sangat ia kenal. Gadis dua puluh delapan tahun itu langsung memeluk erat perempuan di hadapannya. Butiran-butiran air mata langsung meluncur susul menyusul.
Isakan tangis itu bukannya mereda justru semakin keras. Mbak Yayah yang kaget berusaha menahan gerakan tiba-tiba dari Yashinta. Belum lagi dengan jas hujan yang masih melekat di tubuh Yashinta menyebabkan dasternya ikut basah.
"Yas mau cerita sama Mbak?"
Yashinta menggeleng. "Nanti saja, masih pengin nangis dulu."
"Boleh, tapi bersih-bersih dulu, ya? Sambil Mbak Yayah ganti baju. Ini baju Mbak basah juga, loh."
"Maaf, Mbak. Yas pengin marah, Yas pengin nangis, Yas pengin ngamuk."
"Iya, habis ini, ya? Sekarang mandi dulu, ganti baju, salat, sambil Mbak bikin teh hangat."
Seperti anak kecil yang sangat penurut, Yashinta mulai melucuti jas hujan dan memasukkan tas beserta heels yang ia kenakan. Ia melakukan semua yang Mbak Yayah minta. Begitu selesai, Yashinta langsung duduk di ruang tengah. Pintu ruang tengah sengaja ia buka untuk melihat rintik hujan yang tidak surut.
Yashinta menoleh ketika Mbak Yayah menyodorkan teh hangat dan memilih duduk di sebelahnya. Perempuan yang lebih tua dua tahun darinya itu langsung menarik kepala Yashinta untuk bersandar di bahunya.
"Mbak Yayah, Yas dipecat dari tempat kerja. Ada yang fitnah Yas, Mbak."
Lagi-lagi bulir air mata jauh di pipinya. Mbak Yayah mengusap kepala yang bersandari di bahunya.
"Innalillahi, kenapa ada yang jahat seperti itu? Nggak apa-apa. Alhamdulillah sekarang Yas sudah bebas dari mereka yang tukang fitnah. Yas tahu dari mana kalau difitnah? Jangan dari katanya-katanya, ya?'
"Sumpah bukan katanya, Mbak. Yas dengar sendiri dari mulut orang yang bikin fitnah."
"Alhamdulillah, ya? Malah langsung diberitahu kebusukannya sama Allah."
"He'em, Mbak. Makanya Yas nyiksa mereka dulu sebelum angkat kaki. Daripada ngerepotin Tuhan buat balas perbuatan mereka, mending Yas balas duluan."
Mbak Yayah terkikik mendengar ucapan Yashinta. Ia menepuk bahu Yashinta dengan pelan. "Belajar dari mana teori model begitu?"
"Mikir aja, Mbak." Yashinta menghela napas dan menegakkan kepalanya.
"Nggak jadi marah sama ngamuk?" tanya Mbak Yayah.
"Sudah lega, Mbak. Jalannya Yas di sana sudah buntu, tapi masih ada jalan-jalan lain yang bakalan terbuka, tapi setelah ini Yas mau kerja apa?"
Mbak Yayah berdiri dan berjalan ke kamarnya. Ia mengambil ponsel kemudian menyodorkannya pada Yashinta.
"SRTV nyari office girl? Yakin, Mbak?"
Pertanyaan Yashinta hanya dijawab anggukan. Yashinta langsung berhambur ke dalam pelukan Mbak Yayah.
"Itu Mbak dapat dari Mas Sepupu yang kerja di sana. Infonya valid, kok. Dicoba, ya?"
Dengan penuh rasa syukur, Yashinta mengangguk berkali-kali. Sorot mata yang penuh kebingungan, kini mulai ceria. Ia meminta Mbak Yayah untuk mengirim info tersebut kepadanya.
Mungkin kesempatan untuknya tidak banyak, tetapi mencoba juga tidak buruk. Sebab yang namanya rezeki bisa datang kapan saja dan di mana saja.
"Sepupu Mbak Yayah kerja di bagian apa?"
"Yang ngurusuin keperluan peserta My Way Show."
Pikiran Yashinta langsung berkelana. Ia memiringkan kepalanya. Setelah beberapa detik berlalu, Yashinta langsung berdiri dan menarik Mbak Yayah. "Mas Dan, dong? Kenapa baru bilang?"
πππ