Terkadang berharap banyak, tidak tercapai.
Justru ketika tidak banyak berharap,
Tuhan kabulkan semua.
Jangan mencoba bercanda dengan Tuhan.
Sebab level bercanda kita dengan Tuhan itu jauh berbeda.
πππ
Yashinta terpaku di sudut ruangan. Tatapan matanya hanya mengarah pada sosok yang tengah duduk di sofa. Sang idola yang selama ini hanya bisa dilihat di layar kaca, kini ada di hadapannya.
Gadis berambut cokelat itu memandangi Danendra dengan tempo kedipan secepat kilat. Seolah jika berkedip dengan lambat sosok itu akan menghilang begitu saja. Bahkan telinganya sampai tidak bisa mendengar panggilan dari Bang Didi yang sudah memanggil sebanyak tiga kali.
"Mbak Yas, halo? Ditanya sama Endra, nih." Bang Didi menepuk kedua tangannya di depan wajah Yashinta dari saking gemasnya karena Yashinta seperti kehilangan nyawanya setelah melihat wajah Danendra dari dekat.
"H-ha? Iya, Mas, kenapa?"
Yashinta langsung mengembalikan fokus tatapan matanya dan beralih menatap wajah Bang Didi yang berada dekat dengannya.
"Kalau sewaktu-waktu diminta untuk bermalam, bisa? Atau ikut kegiatan sehari semalam, apa nggak keberatan?"
"Aman, Mas. Saya tinggal di indekos, jauh dari orang tua, dan yah, saya mandiri."
"Kalau itu Yayah sudah bilang sama saya, Mbak, tapi apa Mbak Yas nggak keberatan untuk tinggal di asrama bersama peserta lainnya?"
"Ada yang cewek selain saya? Selama ada temannya saya bersedia."
"Dra, kamu dengar sendiri apa yang sudah disampaikan sama Mbak Yas. Sekarang bagaimana dengan kamu? Bisa percaya sama dia selama aku sibuk dengan persiapan menikah? Nggak langsung aku tinggal, sesekali aku nemenin kamu."
"Aku percaya kalau Abang percaya. Aku mau istirahat sebentar, kabari kalau gladi bersih nanti."
"Okay, nanti aku yang urus Mbak Yas dan apa yang harus dilakukan dia hari ini."
Bang Didi langsung memberi kode pada Yashinta untuk keluar ruangan dan membiarkan idolanya beristirahat. Sebenarnya Yashinta enggan karena ia merasa kurang lama memandangi Danendra, tetapi mau bagaimana lagi, tugas sudah menantinya.
Keduanya berjalan menuju kantin yang berada di kawasan gedung SRTV. Yashinta diminta untuk memilih menu makanan dan minuman. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam makan siang.
Mereka membawa nampan berisi pesanan dan mulai mencari meja kosong. Keduanya memilih tempat yang dekat dengan jendela. Selama berjalan, Bang Didi menyapa beberapa orang dengan ramah dan membalas sapaan dengan senyuman.
"Mbak Yas kaget nggak pas tau saya jadikan asisten manajernya seorang Danendra Pramudya?"
Yashinta menghela napasnya. Bukan tidak senang, tetapi ini seperti terlalu tiba-tiba.
"Saya nggak mimpi 'kan?" ujar Yashinta sambil mengipasi matanya supaya air mata yang nyaris jatuh itu kembali masuk dan gagal terjun.
Bang Didi tersenyum. Ia mengambil tisu di meja dan menyodorkannya pada Yashinta. Si gadis menghapus tetesan di pelupuk matanya, tetapi bukannya berhenti, air matanya justru semakin deras.
Yashinta panik, ia mencoba tenang. Menarik napas, lalu mengembuskan secara perlahan. Ia ulangi beberapa kali sampai akhirnya hanya tampak hidungnya saja yang memerah.
"Sudah tenang? Mau lanjut nangis apa mau makan?"
"Makan. Nangisnya udahan. Nguras tenaga banget."
Keduanya lalu menyantap hidangan dengan tanpa bersuara. Sampai akhirnya semua yang di meja ludes tidak bersisa. Yashinta mengambil tisu dan membersihkan bibirnya dari bekas minyak sisa makanan dan minuman.
"Endra nggak suka kalau makan sambil diam, kalau makan sama dia harus sambil ngobrol biar habisnya banyak."
Yashinta mengangguk, dengan segera ia mengambil ponsel dan membuka laman catatan untuk mencatat semua yang akan ia dengar dari Bang Didi.
Mulai dari detail kebiasaan, sampai makanan apa yang tidak boleh dimakan oleh Danendra. Sepertinya, ia lebih pantas disebut sebagai asisten rumah tangga dibanding asisten manajer. Sebab semua yang disampaikan Bang Didi begitu adanya.
"Tenang saja, gajinya lebih besar dari sekadar jadi asisten rumah tangga. Memang berat, tapi setimpal dengan bayarannya nanti."
"Mas bisa baca isi kepala saya?"
Bang Didi menggeleng, "Tapi sepertinya apa yang saya pikirkan sama dengan yang Mbak Yas pikir."
"Jangan panggil, Mbak, Mas. Panggil Yas saja."
"Kalau gitu, jangan panggil saya Mas, Didi saja."
"Nggak sopan, ish."
"Ya, sama. Saya panggil Mbak karena menghargai Mbak Yas."
Setelah selesai makan siang, keduanya kembali ke ruangan Danendra. Di sana keduanya terkejut karena melihat si penghuni kamar terduduk sambil memijat leher dan bahunya.
Bang Didi langsung merogoh tas pinggangnya dan menyodorkan tube berisi krim pereda nyeri. Yashinta yang masih bingung harus berbuat apa akhirnya menuju pada lemari pendingin yang berasa di sudut kamar.
Ia mengambil botol air mineral dan meletakkannya di meja, di hadapan Danendra yang masih tertunduk.
"Mas Dan, minum dulu, ya? Biar agak tenang. Kalau leher sama bahunya masih terasa nyeri, mungkin peregangan ringan bisa bantu kurangi nyerinya, Mas."
Bang Didi yang tengah mengoles krim pereda nyeri di bahu Danendra menoleh pada Yashinta dan langsung mengangguk. Sorot mata Bang Didi seperti berkata bahwa Yashinta cukup peka pada situasi.
"Bang, minta obat pereda nyeri aja boleh, nggak?"
Yashinta menggoyang-goyangkan tangannya pertanda melarang permintaan Danendra. Ia ingin maju mendekati Danendra, tetapi mundur, maju selangkah, lalu mundur lagi. Ia terlalu gugup untuk memulai kedekatan mereka.
Awalnya sulit digapai, tetapi kini terasa sangat mudah bahkan untuk masuk ke dalam lingkungan idolanya. Sungguh jika Tuhan sudah mulai campur tangan, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi.
"Mbak Yas mau nyampein apa?"
"Ja-jangan pakai obat, dicoba dulu saran saya. Boleh saya bantu?"
Langkah Yashinta mendadak kikuk, ia melepaskan tas selempang yang melingkari tubuhnya, meminta krim pereda nyeri pada Bang Didi dan meletakkannya di tangan telapak tangan kirinya.
"Mbak Yas, itu panas banget, loh. Nggak apa-apa?"
Nyali Yashinta mendadak ciut, tetapi kedua telapak tangannya telanjur bertemu dan menggosoknya sampai merata di seluruh permukaan tangan. Dari kepala menggeleng, kemudian mengangguk.
"Bisa beneran?" tanya Danendra sambil menoleh pada Yashinta yang sudah berada di balik punggungnya.
"Bi-bisa, kok. Mas Dan percaya sama saya," ujar Yashinta mantap, tetapi berbanding terbalik dengan kedua tangannya yang gemetar.
Gadis berambut cokelat itu mengusap tangan yang berlumur krim pereda nyeri dari tengkuk sampai ke bahu. Dengan gerakan perlahan, tetapi penuh tekanan.
"Maaf, Mas Dan. Permisi, ya? Ikutin saja yang saya minta."
Kata maaf dan permisi terus saja memenuhi ruangan itu. Yashinta melakukannya dengan telaten. Menggerakkan lengan Danendra dengan gerakan perlahan. Kegiatan yang terlihat ringan, tetapi bisa membuat Danendra berkeringat dan meringis ketika sakit di bahunya datang.
Peregangan dan pijatan yang Yashinta lakukan seperti seorang fisioterapis yang berpengalaman. Setelah beberapa saat, Yashinta berhenti dan meminta Danendra untuk merasakan hasil kerjanya.
"Gimana, Mas? Mendingan?"
Danendra mengangguk dan menggerakkan bahunya secara perlahan. Ia merasakan perubahan dari sebelum dan sesudah mendapatkan pijatan dari Yashinta.
"Wah, pengalaman banget ngurus beginian. Sudah lama di panti pijat?" ucap Bang Didi yang sedari hanya berdiri dan melihat kinerja Yashinta.
"Enak saja. Gini-gini saya pernah ikut pelatihan fisioterapi, Mas. Jangan meremehkan."
Yashinta berjalan menuju meja rias, ia mengambil beberapa lembar tisu dan meminta Danendra untuk duduk. Ia dengan telaten mengelap sisa-sisa krim di bahu dan lehernya.
"Sudah selesai. Besok-besok kalau nyeri bikin skala, kira-kira satu sampai empat, dari ringan ke berat. Kalau dirasa lebih ringan, jangan pakai obat. Kalau dirasa nggak sanggup sama sakitnya, baru minum obat."
"Itu saran dari siapa?" tanya Danendra.
"Saran dari pribadi saya setelah mengamati orang-orang yang dikit-dikit minum painkiller, tapi lama kelamaan nggak mempan lagi."
Kedua lelaki di ruangan itu hanya mengangguk. Setidaknya Yashinta dapat diandalkan soal kesehatan. Sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan Mbak Yayah.
"Itu tangan Mbak Yas nggak panas?" Danendra menatap Yashinta dan menunjuk ke arah tangannya.
"Amaan, Mas." Yashinta berucap sambil menghapus titik keringat dekat mata dengan punggung tangannya.
"M-mbak, panas matanya ntar," ujar Bang Didi sambil mencoba menghentikan gerakan tangan Yashinta.
"Nggak apa-apa, ta-tapi, duh kok panas?"
"Hm, dibilangin juga."
Yashinta mengambil tisu dan kembali mengelap matanya untuk menghilangkan sensasi panas, ia bahkan lupa bahwa kedua tangannya masih terdampak krim pereda nyeri. Bukannya mereda, panasnya justru merembet ke mana-mana.
πππ