Hari ini Rama berjanji menemani Bella berkunjung ke rumah ibunya. Lelaki itu juga sekalian ingin bertemu orangtuanya. Mereka berdua akhirnya sepakat untuk berangkat setelah sarapan.
"Sudah siap?" tanya Rama seraya memakai jam tangan.
Bella mengangguk cepat penuh semangat. "Siap, Mas!"
"Tapi, sebelum ke tempat tujuan—" Rama mengangkat berkas di tangannya untuk diperlihatkan pada Bella. "Saya mau antarkan ini dulu ke kantor. Nggak apa-apa ya?"
"Iya, Mas."
Mereka bersamaan keluar dari apartemen Rama. Langkah keduanya begitu seirama memasuki lift, keluar dari sana di lantai satu, dan berjalan melewati lobi. Dengan perbincangan kecil mengenai cerita Bella yang waktu itu datang ke kantor Rama.
Bella terus bercerita sepanjang perjalanan. Dia sangat senang bisa masuk ke kantor milik Rama yang besar. Karena itulah Rama mengajak Bella untuk ikut dengannya masuk ke tempat kerjanya menemui Bayu.
"Pak Rama, anda sudah sampai?" Bayu menyambut mereka di lobi. Lelaki itu tak lupa tersenyum ramah pada Bella sebelum menerima berkas dari Rama.
"Kamu bisa mempresentasikannya mewakili saya, kan, Bayu?"
Bayu mengangguk untuk menerima perintah atasannya itu. "Tentu, Pak."
"Terima kasih."
"Sudah tugas saya, Pak. Oh iya Pak," Bayu menghentikan niat Rama yang sudah akan pergi membawa Bella. "Mengenai permintaan anda kemarin, bisa kita bicarakan sebentar?"
Rama yang langsung paham ke mana arah pembicaraan Bayu pun segera melirik ke arah Bella. "Tunggu sebentar ya, Bell. Saya harus bicara dengan Bayu."
"Take your time, Mas Rama. Saya bisa tunggu di sana," jawab Bella seraya pamit untuk menunggu di depan meja resepsionis.
Bayu dan Rama memilih tempat yang agak jauh dari Bella, tentunya juga tidak sering dilewati karyawan lain. Bayu mengulurkan ponselnya yang sudah menampilkan gambar mobil yang tumpangi Aqila.
Kening Rama berkerut mendapati mobil itu terparkir di tempat yang tidak seharusnya. "Mobil ini..."
"Benar, Pak. Mobil itu sadar kalau kemarin dia diikuti. Di jam yang sama setelah Bapak meminta saya mencari tahu soal mobil itu, ternyata mobilnya sudah ada di sana. Pemilik showroom bilang bahwa mobil itu dijual cepat karena pemiliknya butuh uang." Bayu menjelaskan dengan rinci mengenai informasi yang dia dapatkan kemarin. Rama mendengarkannya dengan sangat seksama.
"Kamu tahu pemilik mobil yang menjualnya?" tanya Rama.
Bayu mengangguk. "Saya mendapatkan informasinya, tapi dia bukan Bu Aqila, Pak. Yang menjual mobil itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun."
"Bukan Aqila?" gumam Rama. Bagaimana bisa bukan Aqila kalau kemarin jelas-jelas dia melihat gadis itu masuk ke dalam mobil yang diikutinya.
"Tapi masih ada harapan, Pak."
Dengan mendengarnya saja Rama segera menatap Bayu. Harapannya kembali naik, dia siap mendengarkan penjelasan sekretarisnya itu. "Maksudnya?" tuntut Rama.
"Laki-laki itu pagi ini membeli dua tiket kereta menuju ke Jogja. Saya juga melihatnya membawa dua koper, salah satunya berwarna merah muda. Bukankah kemungkinan dia pergi membawa Bu Aqila?"
Rama menggigit bibir bawahnya seraya berpikir soal itu. Memang benar adanya kalau dia ingat Aqila selalu membawa koper merah muda, jadi besar kemungkinan Aqila selama ini disembunyikan lelaki itu.
"Terima kasih, Bayu. Kamu sangat membantu. Apapun informasi yang kamu dapat tentang orang itu, segera beritahu saya," ucap Rama tulus.
"Baik, Pak."
Setelah selesai berbincang dengan Bayu, Rama bergegas menemui Bella di lobi. Matanya menyipit karena Bella tak ada di sofa depan meja resepsionis yang gadis itu duduki sebelumnya. Rama berjalan keluar sambil menyambut sapaan karyawan-karyawannya. Dia berpikir Bella pasti menunggu di mobil, namun langkahnya terhenti saat pandangannya menemukan Bella di pinggir jalan.
Rama berhenti melangkah. Dia mengamati bagaimana Bella sedang membantu seorang nenek-nenek menyeberangi jalan raya. Lengkungan manis terbit dari bibir Rama, tanpa sadar hatinya menghangat melihat adegan itu.
"Pak Rama, istri Bapak itu seperti malaikat." Rama menoleh ke sisi kanannya. Dia membalas sapaan karyawannya yang bertugas menjaga meja resepsionis. "Tadi di lobi, Bu Bella juga membantu petugas cleaning service yang sudah tua membawa alat kebersihan."
Rama terharu mendengarnya. Dia setuju dengan pendapat karyawannya itu. Bella memang gadis yang sangat baik. Terlepas dari siapa dia sebenarnya, yang tiba-tiba saja dalam sehari diikat untuk menjadi istrinya, Rama sungguh bersyukur dipertemukan dengan Bella.
"Mas Rama!" Bella berteriak dari seberang jalan. Gadis itu tahu Rama pasti mencarinya, jadi dia melambaikan tangan tinggi-tinggi agar Rama menemukannya.
Senyum Rama semakin melebar. Dia melangkah mendekati sisi jalan raya untuk menunggu Bella menyeberang ke arahnya. Gadis itu berjalan bersama beberapa orang yang juga sedang menyeberang ke sisi kantor Rama saat lampu tanda orang menyeberang menyala.
Tinggal selangkah lagi Bella melewati jalan Raya, tiba-tiba heels yang dipakainya patah. "Mas Ram—"
"Bella!" Rama berhasil menangkap tubuh Bella yang akan limbung.
"Pantas saja terasa nggak nyaman dipakai sejak pagi, ternyata heels-nya patah," ujar Bella.
"Ayo, kamu harus ganti sepatunya."
"Nggak usah, Mas. Saya bisa ganti nanti di rumah Ibu, ada beberapa sepatu di sana."
Rama menggeleng tidak setuju. "Kamu akan membiarkan saya mendapat nilai buruk di mata ibumu?"
"Eh?"
"Saya tidak mau ibu mertua saya menganggap kalau saya tidak bisa melindungi anaknya. Saya juga tidak bisa membiarkan istri saya berjalan tanpa alas kaki," ucap Rama yang terdengar begitu merdu memasuki telinga Bella. Ya Tuhan, berapa ribu kalipun dia mendengar kata 'istriku' dari mulut Rama, maka sensasinya selalu mendebarkan seperti saat pertama kali dia dengar.
Tak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata, Bella hanya membiarkan kakinya mengikuti Rama berjalan ke arah mobil. Mereka pergi ke sebuah mal, dan memasuki salah satu store sepatu besar dan mewah.
"Pilih yang kamu suka, Bell."
Bella mengangguk. Dia berjalan bersama seorang penjaga store itu untuk mencari ukuran kaki Bella. Sementara itu, Rama berdiri mematung di depan sebuah sepatu heels berwarna silver. Sepatu itu persis seperti milik Aqila yang selalu dipakainya ke acara penting.
"Eh,... Mas Rama," panggil Bella.
Rama membalikkan badannya. "Iya, Bell?"
"Saya bingung, mau minta pendapat Mas Rama. Menurut Mas, cocok yang putih atau hitam?" kata Bella seraya mengangkat kedua sepatu beda warna itu.
Rama berpikir sejenak. Dia melirik sepatu di tangan Bella bergantian. "Putih. Kalau kamu tanya pendapat saya, putih kayaknya cocok untukmu."
Bella akan memilih apapun yang dipilih Rama. Dia menyerahkan kedua sepatunya ke arah penjaga store. "Mbak, saya ambil yang putih."
"Baik, tunggu sebentar ya, Mbak..."
Rama dan Bella bersamaan menuju kasir. Saat Bella akan menerima bingkisan sepatu itu, Rama lebih dulu mengambilnya. Dia mengajak Bella ke arah sofa di dalam store itu, menyuruh Bella duduk.
"Kenapa kita masuk lagi, Mas?" tanya Bella bingung. Padahal mereka sudah selesai memilih sepatu untuknya.
"Duduk dulu," titah Rama.
Bella menurut saja. Dia duduk di sofa dengan masih memandangi Rama. Matanya membelalak ketika melihat suaminya itu berjongkok di depannya sambil membuka bingkisan sepatu yang baru dibeli itu.
"Mas Rama, saya jadi nggak enak," tutur Bella sungkan. Dia sudah akan berdiri kalau saja Rama tidak menahan lengannya untuk duduk.
"Saya yang mau kok. Izinkan saya memakaikan sepatu ke kaki istri saya."
Selanjutnya Bella hanya diam membeku. Dia membiarkan Rama telaten melepaskan sepatunya yang rusak dari kakinya, lalu menggantinya dengan sepatu yang baru. Tak sedetikpun Bella berkedip untuk melewati momen indah itu.
"Selesai. Kamu cocok banget pakai ini, Bella." Rama mendongak, kemudian tersenyum hangat pada Bella.
Senyuman hangat itu membungkus perasaan Bella. Rasanya sangat nyaman dan menghangatkan, hingga Bella tak ingin momen ini berakhir begitu saja. Gadis itu bahkan tak bisa membalas senyum Rama, dia malah ingin menangis. Dia ingin mengemis di bawah kaki Tuhan agar bisa memiliki Rama sepenuhnya walau hanya sesaat.
###
Mobil Rama berhenti di halaman rumah Bella. Mereka keluar bersamaan menuju rumah itu. Selain disambut Bu Mala, rupanya keluarga Rama juga sudah tahu perihal kedatangan pasangan itu. Bahkan saat ini Laksmana saja sudah berdiri dengan menjulang di samping ayahnya.
Rama dan Bella bergantian menyalami para orangtua di sana. Laksmana yang menyaksikan hal itu pun hanya bisa membeku di tempat. Dia menggumam seorang diri kalau kakaknya dan Bella sangat serasi menjalani kehidupan mereka sebagai suami dan istri.
"Apa ini? Sepertinya Bunda sudah tahu aku akan datang, ya?" tebak Bella setelah memeluk Mala.
"Mana yang bilang, Bella. Dia mengatakan itu pada kami dan mengusulkan agar menyambut kalian sama-sama," jawab Bu Salya.
Di sebelah Bu Salya, Pak Danu ikut menganggukkan kepala. "Benar Bella, kami semua sangat senang kalian datang sama-sama."
"Ibu Salya dan Bunda sudah memasak makanan kesukaan kalian, ayo masuk. Ayo Nak Rama," ajak Bu Mala.
Rama berjalan di sebelah Bu Mala. Dia diapit kedua ibu itu memasuki rumah Bella. Sementara gadis itu masih di luar dan memilih menghampiri Laksmana yang masih diam di tempatnya. Sepasang sahabat baik itu saling berhadapan dengan ekspresi berbeda.
"Gue dengar dari Kak Rama katanya lo sakit?" tanya Laksmana lengkap dengan wajah khawatir.
"Oh, lo tahu soal kedatangan kita dari Mas Rama?"
"Bisa nggak sih kalau gue nanya tuh dijawab?"
Benar juga, Bella jadi ingat kalau dia memang selalu jarang langsung menjawab saat ditanya Laksmana. Menyadari hal itu membuat Bella cengengesan. "Maaf, hehe. Iya, gue kemarin sakit."
Laksmana memajukan dirinya, lalu menyentuhkan telapak tangan di kening Bella. "Sakit apa? Suhu badan lo normal."
"Apa orang yang sakit harus melulu demam?"
"Tuh kan, setiap gue nanya lo balesnya pakai pertanyaan lagi." Laksmana menurunkan tangannya, mendengus kesal.
"Hehe, iya sorry." Bella menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah. Takut juga dia kalau Laksmana sudah diam begitu. "Kemarin gue sakit biasa aja, pusing sama mual. Tapi sekarang udah sehat lagi kok, serius!"
Laksmana memelotot kaget. "Lo hamil?!"
"Heh!" Bella refleks menoyor wajah Laksmana menggunakan telapak tangannya. "Sembarangan lo, mana ada gue tiba-tiba hamil!"
"Lo sama Kak Rama... Kalian udah... Kalian..."
Bella memukuli bahu Laksmana bertubi-tubi. "Kagak, woy!" sentaknya.
"Oh ya?" ragu Laksmana. Wajahnya menyiratkan ekspresi orang sedih.
Bella berdecak. Ada-ada saja pemikiran sahabatnya ini. "Mana ada gue hamil, Mana. Lo kan tahu kalau gue sama Mas Rama tidur beda kamar."
"Siapa tahu lo malem-malem nerkam kakak gue."
"Sinting!" bentak Bella.
Cengiran usil muncul di wajah Laksmana. Dia berlari mengejar langkah Bella memasuki rumah gadis itu. "Iya, kan? Udah deh ngaku aja."
"Berisik, tolol!"
"Tapi lo suka, kan?"
"Nggak!"
Semua orang yang ada di meja makan saling tertawa mendengar keriburan Bella dan Laksmana. Rama menoleh, ikut tersenyum memandangi wajah kesal Bella yang terus dijahili adiknya.
"Mana, jangan meledek Bella terus. Lihat, ada suaminya di sini, kamu tidak takut?" ujar Bu Salya.
"Jangan begitu, Mana. Kamu ini harus hormat sama Bella, dia itu kakak iparmu," tambah Pak Danu.
Bella yang senang dapat pembelaan dari orangtua Laksmana langsung melebarkan senyum, kemudian menjulurkan lidah pada Laksmana.
"Sudah, sudah... Ayo makan. Sini Mana, makan di sebelah Ibu," ajak Bu Mala sambil menunjuk kursi di sebelahnya.
"Asik." Laksmana mengambil duduk di sebelah Bu Mala. Baru saja ia akan mengajak Bella untuk makan di sampingnya, Rama sudah lebih dulu menarik lengan Bella dan mereka pun duduk bersebelahan.
Laksmana mengetatkan rahangnya. Rasa takut itu muncul lagi, sungguh tidak nyaman. Siapapun akan mudah jatuh cinta pada Bella, itu menurut Laksmana. Dan, dia takut Rama juga akan merasakan hal itu sebelum mereka berpisah.
###
Cemburu mah bilang aja, Mana? 🤭
tanda-tanda bel takdir berbunyi ini mah
Comment on chapter Prolog