Sebelum pergi ke rumah Bu Mala, Rama mengajak Bella berbelanja di supermarket terlebih dahulu. Katanya tidak enak kalau berkunjung dengan tangan kosong. Bella yang sudah pasti senang tak mungkin menolak ajakan itu. Kapan lagi bisa berbelanja bersama dengan Rama.
"Sekalian saja kita belanja buat di apartemen ya, Bell." Rama menyarankan sambil terus berjalan keliling display demi display.
Bella mengambil beberapa bahan makanan yang tentunya sangat dibutuhkan untuk persediaan dapur. Gadis itu masih sungkan membeli hal yang dia inginkan, takut Rama tidak nyaman.
"Kamu juga harus ambil makanan kesukaanmu, Bell."
Bella mendongak ke samping kanannya. Rama berbicara dengan raut datar sambil terus berjalan mendorong troli. "Boleh ambil apa saja?"
"Iya, sesukamu. Asal jangan minta dibeliin supermarketnya ya."
Bella terkekeh mendengar lelucon Rama. Harusnya lelaki itu mengeluarkan lelucon disertai tawa, bukan hanya tampang datar seperti itu.
"Bu Mala sukanya apa, Bell?"
"Bunda suka banget biskuit yang akhir-akhir ini diiklanin sama Lee Min Ho, Mas." Kebetulan saat berjalan mata Bella menangkap objek yang dimaksud. Dia berhenti sejenak, lalu mengambilnya. "Ini dia."
"Itu aja?"
"Menurut Mas?"
"Kita tambahin kue juga ya."
Bella menyeimbangi langkah Rama di sampingnya. Mereka berhenti di area kue untuk mengambil beberapa. Selain itu, Rama juga tak lupa membelikan beberapa buah sebagai pemanis.
Selesai dengan belanjaan, mereka segera mengantre di area kasir. Bella senantiasa menatap Rama. Dia suka bagaimana cara lelaki itu membayar belanjaan, juga saat kedua tangan kekarnya menenteng kantung belanjaan.
Senyum Bella merekah lebar. Hal itu terlihat oleh mata Rama yang tak sengaja melirik gadis itu. "Ada yang lucu?" tanya Rama.
"Oh, nggak, Mas."
"Dari tadi saya perhatikan kamu seperti menahan tawa."
"Saya senang, akhirnya kita mulai akrab sampai bisa belanja bareng."
Rama mengangguk setuju. Mendadak rasa canggungnya tiap bersama Bella jadi terkikis, mungkin karena mereka sudah terbiasa bersama. "Iya. Bagaimanapun hubungan kita, jangan sampai kita jadi tidak akur, Bell."
Bella terharu mendengarnya. Dia jadi tidak bisa berkata-kata lagi, sebab kalimat Rama tadi berhasil mencuri semua kosakata di kepalanya. Tentang apa yang diutarakan lelaki itu bisa sama persis dengan tujuan Bella menggantikan Aqila. Dia bukan mencari kesempatan untuk mendapatkan lelaki sebaik Rama, namun karena dia ingin menjadikan hidupnya lebih berharga seperti perempuan lainnya.
"Ya ampun, saya lupa membeli shampoo." Rama menghadap penuh pada Bella. Dia menepuk bahu gadis itu pelan. "Saya masuk dulu sebentar membeli shampoo, ya. Kamu tunggu di dalam mobil saja."
"Iya, Mas."
Rama berlari memasuki supermarket, sementara Bella setia menunggu di depan mobil. Padahal Rama memintanya menunggu di dalam mobil, tetapi gadis itu lebih suka berdiri. Dia tidak ingin melewatkan momen ketika Rama kembali lagi sambil berlari kecil.
Mengusir sedikit kebosanannya, Bella memutar pandangan ke arah lain. Saat dirinya tak sengaja menoleh ke sisi kiri, Bella mendapati sosok yang nampak tak asing di matanya. Seorang gadis berambut sebahu dengan dress satin selutut tengah berlari memasuki sebuah mobil. Entah kenapa Bella sangat yakin dia seperti pernah melihat orang itu. Apakah dia mengenali wajah orang itu?
Lama berpikir panjang, sampai akhirnya Rama kembali. Bella menatap wajah Rama lekat-lekat hingga dengan begitu saja kilasan sebuah foto melintas di kepalanya. Tepat, tidak salah lagi. Gadis tadi yang dilihatnya memasuki sebuah mobil adalah Aqila.
"Bell?"
"Mas Rama, saya tadi melihat Mbak Aqila."
"Apa? Di mana?" tuntut Rama.
Bella segera menunjuk mobil berwarna putih yang baru saja berjalan hendak keluar dari area parkir. "Itu, dia masuk ke mobil itu, Mas!"
"Ayo, Bell."
Rama dan Bella segera masuk ke dalam mobil untuk mengejar mobil putih tadi. Rama mengambil ponsel dan memotret mobil itu dari belakang. Lima menit berjalan aman, namun setelahnya mobil putih yang diduga berisi Aqila tiba-tiba melesat lebih cepat. Sepertinya mobil itu sadar bahwa dia tengah diikuti. Rama bahkan kesulitan mengejar karena mobil itu meliuk dengan cepat.
"Akh, sial!" geram Rama. Padahal sebentar lagi, hanya butuh sedikit lagi dia bisa mengejar mobil itu dan mendapatkan Aqila.
Rama mencengkeram kemudi demi menetralkan emosinya. Dia tidak ingin sampai membuat Bella takut padanya. Selesai menenangkan diri, Rama menoleh ke kursi di sebelahnya.
Bella tengah meringis sambil memegangi kepalanya yang tertunduk. Rama yang merasa cemas segera menyentuh pundak Bella secara perlahan. "Bella...," panggil Rama.
Bella masih belum menunjukkan wajahnya. Kedua tangannya semakin erat memegangi kepalanya. Rama menjadi sangat takut kalau sampai Bella begitu karenanya.
"Maafkan saya, Bell. Kamu ada yang sakit? Bella?"
Setelah beberapa detik akhirnya Bella mendongak. Dia terlihat mengatur napasnya dengan bibir yang mendadak pucat. "Saya nggak apa-apa, Mas."
"Yakin? Maaf ya, kamu pasti takut karena saya mengebut."
"Nggak kok, Mas. Saya cuma... Saya agak sedikit trauma."
Rama mengusap-usap bahu Bella. Perlakuan manis itu pasti sangat senang bagi Bella andaikan situasinya tidak sedang rumit begitu. "Kamu mau ke dokter?" tawar Rama.
"Jangan, Mas. Eh... Maksud saya nggak usah, saya sudah enakan kok. Ayo, kita kembali ke supermarket tadi saja untuk memeriksa CCTV."
Bahkan dengan keadaannya yang sedang tidak enak badan itu Bella masih sempat-sempatnya mencari tahu soal Aqila. Rama tertegun lama, bagaimana bisa dia tidak menyadari situasi. Maka dengan lapang dada Rama menggelengkan kepalanya. Masih ada hari esok untuk mencari Aqila.
"Mas? Kenapa?" tanya Bella.
"Kita pulang saja. Saya akan lanjutkan pencarian Aqila besok. Sekarang yang terpenting adalah kesehatan kamu, Bell."
"Tapi, Mas—"
"Tenang saja, kita pasti bisa menemukan Aqila. Mungkin bukan hari ini, ya. Juga ke rumah Bu Mala, kita bisa pergi besok. Tidak apa-apa, kan, Bell?"
Bella mengangguk setuju. Badannya juga semakin lemas saja, ide Rama adalah yang terbaik untuknya. Bella tahu bahwa Rama sedang mempedulikannya.
"Tidur saja. Saya janji akan membawa mobil dengan pelan," ujar Rama seraya mengusap kepala Bella.
Entah karena usapan tangan hangat Rama atau kepalanya yang semakin berdenyut, Bella semakin ingin tidur dan akhirnya terpejam. Rama menatap nanar Bella yang terlihat semakin pucat, dia jadi tidak tega pada gadis itu.
###
Sesampainya di apartemen, Rama membantu Bella keluar dari mobil. Dengan telaten lelaki itu menuntun bahu Bella yang begitu lemas, berjalan memasuki lobi apartemen. Rama membaringkan Bella di tempat tidurnya, juga kembali menawarkan gadis itu untuk pergi ke rumah sakit.
Bella tetap keukeuh bilang tidak perlu ke rumah sakit. Dia memberikan senyum lewat bibir pucatnya. "Terima kasih, Mas Rama."
"Kamu yakin tidak perlu ke rumah sakit?" tanya Rama lagi memastikan.
"Nggak, Mas. Saya cuma mau minum vitamin aja terus tidur."
"Di mana, biar saya ambilkan."
Bella menunjuk nakas di sebelah tempat tidur. "Itu, Mas."
Dengan segera Rama mengambilkan vitamin itu dan menyerahkannya pada Bella. Dia juga izin sebentar mengambil air minum di dapur. Setelah kembali ke kamar Bella, Rama duduk di sebelah Bella berbaring sambil melihat bagaimana istrinya itu tertidur.
Rama merasa sangat bersalah kepada Bella. Kalau saja dia tidak membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, Bella tidak akan sakit seperti itu.
Dirasa Bella sudah terlelap, Rama beranjak keluar. Ditutupnya perlahan pintu kamar Bella, Rama berjalan ke ruang tengah. Lelaki itu segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi sekretarisnya.
"Halo, Pak? Ada yang harus dikerjakan?" sapa sekretaris Rama di seberang sana.
"Saya mau minta tolong sama kamu, Bayu. Tolong cari informasi dari nomor plat yang akan saya kirimkan."
"Baik, Pak."
Rama percaya penuh pada Bayu. Selama ini sekretarisnya itu telah setia menyimpan berbagai rahasianya, termasuk soal Aqila. Ya, hanya Bayu seorang yang tahu tentang Aqila dan gagalnya pernikahan mereka. Bayu hadir di acara pernikahan tanpa diketahui siapapun. Diam-diam tanpa sepengetahuan Rama, dia pula yang menyebarkan foto pernikahan bosnya itu ke berbagai grup divisi kantor. Tujuan Bayu tentu saja baik, ia melakukan itu agar seluruh karyawan hanya mengenal Bella sebagai istri bosnya.
Rama mendudukkan diri di sofa dengan menyandarkan punggungnya. Kepalanya mendongak ke langit-langit, membiarkan pikirannya ikut menggantung di atas sana. Sejujurnya dia begitu syok dengan apa yang baru saja terjadi. Rama ingin mencari tahu hal itu dengan segera, namun dia tidak mungkin meninggalkan Bella yang sedang sakit sendirian.
###
Perlahan Bella membuka kedua kelopak matanya. Dia merasa badannya sudah kembali membaik. Ketika dia beranjak duduk, kepalanya juga tidak lagi berdenyut. Gadis itu menghela napas lega, akhirnya sakit itu hilang dengan cepat.
Bella menyibak selimut yang entah sejak kapan menutupi tubuhnya. Dia sampai tertegun memikirkan hal itu. Kemudian bibirnya melengkung ke atas, menyadari bahwa Rama-lah yang melakukannya.
Kaki Bella melangkah keluar dari kamar. Hidungnya mencium wangi masakan enak. Dia segera mencari sumber wangi itu, berjalan ke area meja makan. Ternyata ada Rama di sana yang sedang mengaduk sesuatu di dalam panci.
"Mas Rama lagi masak apa?" tanya Bella mendekati meja pantry.
Rama mematikan kompor, lalu membalikkan tubuhnya. Ya Tuhan, mata Bella terasa segar melihat pemandangan di depannya. Bagaimana tidak jika dia disuguhkan pemandangan lelaki tampan yang sedang memakai celemek dengan kedua lengan kemeja digulung sampai siku. Otot-otot di lengan Rama seperti bersinar di mata Bella, persis emas yang memantulkan cahaya.
"Pas sekali, buburnya matang saat kamu sudah bangun. Ayo duduk, saya siapkan dulu ya."
Bella menurut. Dia menarik kursi, lalu duduk di depan meja pantry. "Maaf saya ngerepotin, Mas. Dan... Terima kasih."
Rama menggeleng pelan seraya menaruh mangkuk bubur di depan Bella. Tak lupa dia juga memberikan segelas air putih. "Tidak repot kok, cuma buat bubur doang. Ayo dimakan, dan kasih review."
Bella terkekeh pelan. Dia jadi ingat saat dirinya memasak untuk pertama kalinya dan meminta Rama menilai masakan itu. Kini giliran dirinya yang diminta menilai masakan Rama. Sangat tidak seimbang, masakan Rama sangat enak sekali.
"Enak banget, Mas. Seumur hidup saya baru makan bubur seenak ini," ujar Bella.
"Oh ya?" ragu Rama.
"Iya, benar, Mas."
Rama menarik kursi dan duduk di sebelah Bella. "Maaf ya, Bell. Maaf soal tadi siang, saya begitu kalap sampai bawa mobilnya di atas rata-rata."
"Nggak Mas, itu bukan salah Mas Rama. Saya juga pasti bakal lakuin hal yang sama kalau ada di posisi Mas Rama. Justru saya yang minta maaf, karena sakit saya jadi menggagalkan Mas Rama untuk mencari tahu soal Mbak Qila," ucap Bella menyesal.
Rama tidak pernah berpikir sampai ke sana. Baginya dia sudah sangat bersyukur Bella dapat menemukan Aqila. "Soal itu jangan khawatir, Bell. Kita pasti bisa menemukan Aqila. Saya sangat berterima kasih lho sama kamu, karena kamu sudah menemukan Aqila tadi."
"Itu... Saya tidak sengaja lihat. Saya juga telat mengenalinya, Mas."
"Saya tidak tahu kalau kamu kenal wajah Aqila."
Bella menelan dahulu satu suapan bubur. "Saya pernah lihat foto pre-wedding Mas Rama dan Mbak Qila."
"Oh, foto itu." Ingatan Rama menjelajah ke acara pernikahannya yang berubah haluan. Di mana dia akhirnya harus menikahi orang lain yang saat ini ada di hadapannya.
"Mas Rama, suatu saat Mbak Qila pasti kembali pada Mas Rama. Saya yakin itu."
"Iya, terima kasih ya, Bell."
"Sama-sama, Mas." Bella mengangguki terima kasih dari Rama dengan pipi menggembung. Dia terlalu kesenangan memakan bubur buatan Rama sampai bibirnya belepotan.
Rama terkekeh. Dia meraih selembar tissue, lalu mengelap bibir Bella. "Kok kayak bayi makannya sampai belepotan, Bell."
"Habis enak banget, Mas, hehe..."
Jantung Bella mendadak berdentum sangat cepat. Jangan sampai Rama yang masih mengelap bibirnya mendengar suara jantung Bella. Gadis itu ingin mengakhiri adegan itu, tetapi badannya tidak bisa menolak.
"Mas Rama, rasanya saya ingin meminta pada Tuhan untuk bertukar peran dengan Mbak Qila dan hidup lebih lama denganmu," batin Bella.
###
Duh, Bella...
Yang diusap bibir, tapi yang tremor malah hati nggak tuh wkwk
tanda-tanda bel takdir berbunyi ini mah
Comment on chapter Prolog