Selepas sholat isya Bella bergegas menuju ruang tengah untuk menyambut Rama karena dia mendengar pintu apartemen terbuka. Masih dengan balutan mukenah putih, gadis itu tersenyum lebar dengan raut penuh rasa bersalah. Bagaimana tidak jika ia baru saja menghabiskan kue yang diamanatkan untuk diberi pada Rama.
Rama yang senantiasa berwajah datar pun melirik Bella sekilas. Dengan tangan yang sibuk membuka sepatu untuk disimpan ke rak sepatu depan pintu, Rama menyapa istrinya. "Habis sholat, Bell?" tanyanya.
"Mas udah sholat?"
Rama berdiri tegak, lalu menggeleng pelan. "Belum, habis ini mau mandi dulu terus sholat."
"Mas, begini... Tadi..."
"Eh, Mama ke sini?" potong Rama tanpa menunggu Bella menuntaskan kalimatnya. Dia melihat ada bingkisan yang selalu mencirikan milik ibunya Aqila. Bingkisan itu terletak di meja yang langsung berhadapan dengan Rama.
"Iya Mas, ibunya Mbak Aqila datang."
"Kamu bertemu dengannya?" tanya Rama. Mungkin saja ibunya Aqila masuk sendiri lantaran sudah hapal password apartemennya, karena setahunya Bella juga ada kesibukan di luar.
Rama berjalan mendekati meja untuk melihat isi bingkisan. Bella buru-buru mengikuti, tetapi suaminya itu sudah lebih dulu melihat kotak kue yang hanya tersisa sedikit.
"Mas, maaf..." lirih Bella. Tak ada kata-kata pembelaan yang ingin ia utarakan, sebab semua sudah jelas-jelas adalah salahnya.
Rama membuka kotak kue itu, lalu mengambil satu untuk dia makan. Bella yang melihatnya hanya bisa mematung di tempat. Dia siap kalau-kalau Rama akan memarahinya.
"Kuenya enak. Kamu suka?"
"Mas Rama nggak marah sama saya?"
Rama menunjukkan kotak kuenya pada Bella. "Barusan saya sudah makan, kok. Apa salahnya berbagi sama kamu?"
"Tapi, saya sudah memakannya tanpa izin dari Mas. Bu Risma juga memberikan amanat kepada saya agar memberikan kue itu pada Mas Rama," ujar Bella menjelaskan.
"Mama ngasih ini buat saya, itu benar. Jadi, sejak Mama ngasih bingkisan itu ke kamu, kue ini sudah jadi milik saya. Lalu, kalau istri saya memakannya apa itu tidak boleh?"
"Eh?"
Rama tidak menyadari kegugupan Bella saat ini. Dia bahkan menambah kecanggungan yang dirasakan Bella dengan mengulum senyum. Meskipun senyumnya amat irit, namun Bella masih dapat menangkapnya.
Dan, apa tadi katanya? Rama barusan mengatakan bahwa Bella adalah istrinya?
"Saya sudah mencicipinya, kuenya enak. Nanti kalau-kalau beliau datang lagi dan bertemunya denganmu, kamu boleh bilang kalau saya menikmati kuenya."
Bella menggigit bibir bawahnya demi menahan rasa gugup, kemudian mengangguk perlahan. "Terima kasih, Mas Rama."
"Untuk apa, Bell?"
"Untuk tidak marah sama saya, dan untuk kuenya yang enak."
Rama terkekeh. Ya Tuhan, Bella benar-benar tidak salah lihat, bukan? Saat ini lelaki di hadapannya itu, yang tengah memikul beban kesedihan, serta tak lagi menunjukkan senyum, kini dia tersenyum lebar untuk pertama kalinya sejak hari itu.
"Kamu ini ada-ada saja. Tidak perlu berterima kasih, Bella. Bukankah salah satu peran suami dan istri adalah untuk saling berbagi?" kata Rama.
Demi senyum Rama yang begitu manis, Bella ikut mengembangkan sudut-sudut bibirnya. "Iya, hehe..."
"Kalau begitu saya masuk ke kamar dulu ya, Bell. Oh iya, kamu juga boleh menghabiskan sisa kuenya."
"Iya, Mas. Oh iya, Mas sudah makan malam?"
Rama kembali menatap Bella, lalu mengangguk. "Saya sudah makan malam dengan karyawan saya."
"Oh begitu..." pelan Bella seraya menunduk lesuh.
Rama yang menyadari hal itupun lantas segera berdeham. "Tapi kalau kamu mau menyiapkan makan malam lagi, kita bisa makan malam bersama. Saya juga belum begitu kenyang."
"Eh?"
"Kamu belum makan, kan?"
"Tapi, nggak apa-apa saya bisa—"
"Ayo makan malam bersama, saya mandi dan sholat dulu ya."
Bella tertegun di tempatnya. Dia bisa saja melompat-lompat jika tidak sadar Rama bisa melihat kelakuannya. Jadi, yang bisa gadis itu lakukan hanya tersenyum lebar. Selesai dengan rasa tersipunya, Bella buru-buru menyiapkan makanan.
###
Pagi hari kali ini Bella dibuat bingung lantaran ada Laksmana yang sudah duduk manis di meja makan. Cowok itu melambaikan tangan dan tersenyum manis menyambut kedatangan Bella.
"Lo kok di sini?"
"Aneh banget ya seorang adik berkunjung ke rumah kakaknya? Tell me where is the wrong!" balas Laksmana cuek sambil mencomot potongan apel dan memakannya.
"Maksud gue, kenapa lo nggak ngabarin gue, Mana?"
"Buat apa? Ntar yang ada lo nggak bolehin gue ke sini. Ya, kan? Ngaku!"
Bella menyengir kuda dibuatnya. Menurutnya untuk apa juga Laksmana datang ke apartemen Rama. Mengganggu kedekatan Bella dengan Rama saja.
"Oh, Bella sudah bangun?" Rama datang dengan setelan rapih seperti biasanya. Dia segera menarik kursi di sebelah Laksmana dan mendudukinya.
"Kak, istri lo ini harusnya dikasih tahu buat nggak kasar ke tamu," omel Laksmana sambil menunjuk-nunjuk wajah Bella.
Tangan Bella mencomot gorengan dari piring dan memakannya dengan ekspresi kesal. Bisa-bisanya Laksmana menjelekkan dirinya di depan Rama. "Lho, gorengan depan gang rumah?" tebak Bella antusias.
"Masalah makanan aja lo semangat."
Rama tersenyum tipis. "Mana ke sini buat anterin makanan dari Mama, Bell. Dia juga beliin gorengan enak itu."
"Thank you, Mana!"
"Iye. Oh iya, Bu Mala juga nyuruh gue nanyain ke lo. Katanya obat lo udah habis belum?"
"Kamu sakit, Bell?" spontan Rama bertanya. Laksmana berdeham karena kesal dengan ekspresi khawatir Rama.
"Ah, nggak, Mas. Mu-mungkin maksud Bunda tuh vitamin. Soalnya saya suka minum vitamin biar nggak gampang sakit," ujar Bella.
"Sejak kapan lo minum-minum vitamin segala? Kok gue nggak tahu?" selidik Laksmana dengan wajah mulai serius.
Mendapati raut tak biasa dari Laksmana, Bella mendadak gugup. "Ba-baru kok. Apa sih lo? Emang gue harus lapor ke lo soal vitamin?"
Laksmana tidak membalas lagi. Dia memilih menyendok nasi untuk segera melanjutkan acara makannya. Sementara itu Rama hanya bisa memahami dalam diam bagaimana kekhawatiran sang adik terhadap Bella.
Setelah acara makan selesai, Rama langsung pamit ke kantor. Di apartemen hanya tersisa Laksmana dan Bella. Mereka sepakat pergi ke kampus bersama. Laksmana ada bimbingan, sedangkan Bella ingin mengambil surat izin penelitian.
"Bimbingan lo belum mulai?" Bella bertanya bingung sebab Laksmana masih berdiri di depan ruang akademik begitu dia selesai mengurus surat.
"Dosennya ngundurin waktu, ada tamu katanya di rumah. Lo udah selesai urus suratnya?"
"Udah. Lihat nih, gue udah mau penelitian, lo buruan ya. Lo harus termotivasi nih ngelihat gue, hehe..."
"Dih, bangga banget lo!"
"Iya dong!"
Laksmana terkekeh melihat wajah bahagia Bella. Meskipun sering meledek gadis itu, jauh dalam hatinya Laksmana sangat ingin gadis itu selalu bahagia.
Drrt... Drrt...
Laksmana merasakan ponselnya bergetar. Ia segera mengambil benda pipih itu. Keningnya berkerut sesaat melihat nama Rama tertera di layar ponselnya. Segera saja dia menggeser ikon hijau, lalu menempelkannya di telinga.
"Iya, Kak?" sapa Laksmana. Di seberang sana Rama sedang panik lantaran meninggalkan berkas pentingnya di kamar begitu saja. "Oh, oke. Nanti gue anterin, Kak. Iya, jangan khawatir."
"Kenapa, Mana? Lo mau anterin apa?" tanya Bella ikut cemas.
"Kak Rama ninggalin berkas pentingnya di apartemen. Gue harus anterin ke kantornya."
"Eh, biar gue aja!" cegat Bella.
"Lo mana tahu kantornya, Bell."
"Ya lo tinggal kasih tahu ajalah. Lagian urusan gue udah selesai kok. Lebih efektik kalau gue yang pergi, lo kan masih ada bimbingan."
"Iya sih, tapi—" ucapan Laksmana terhenti lantaran ponselnya mengeluarkan notifikasi.
Bella tersenyum. "Itu pasti dosen pembimbing lo, kan? Udah biar gue aja, lo jangan khawatir."
"Ya udah deh. Lo ambil berkas Kak Rama di kamarnya ya. Map berwarna merah, katanya ada di atas tempat tidur."
Bella mengangkat telapak tangan seperti posisi hormat. "Siap, laksanakan!"
"Hati-hati, Bell."
Mereka berpamitan, lalu berpisah di depan gedung akademik. Bella buru-buru memesan ojek online yang menuju ke apartemen terlebih dahulu untuk mencari berkas milik Rama, baru kemudian menuju ke kantor Rama yang sudah diinformasikan Laksmana lewat pesan.
###
Bella menatap takjub kantor di hadapannya yang begitu besar. Map merah di tangannya harus segera dia berikan pada Rama. Bella segera berjalan memasuki lobi, lalu berhenti di meja resepsionis.
Baru saja dia akan membuka mulut menanyakan ruangan Rama, tiga orang penjaga meja resepsionis lebih dulu menyapanya seperti sudah mengenal lama.
"Wah, beneran istrinya Pak Rama."
"Iya, benar."
"Selamat datang, Ibu. Ibu mau menunggu di sini biar saya panggilkan Pak Rama, atau Ibu mau saya antar ke ruangan beliau?"
Bella tertegun sesaat. Dia hanya mampu menunjukkan senyum manis ketika disambut sehangat itu. "Saya boleh ke ruangan Mas Rama?"
Salah satu pegawai itu tersenyum. Dia langsung keluar dari meja kerjanya dan menghampiri Bella. "Tentu Ibu, mari saya antar."
Bella berjalan mengikuti penjaga resepsionis itu dari belakang. Sepanjang langkah kecilnya itu rupanya mengundang atensi para karyawan. Mereka semua seperti sudah mengenalnya, padahal setahu Bella pernikahannya dan Rama tidak dihadiri oleh mereka.
"Ibu pasti bingung dengan tatapan para karyawan di sini," perempuan yang menjaga resepsionis itu buka suara ketika mereka masuk ke dalam lift. "Mereka senang Bu karena bisa melihat Ibu secara langsung."
"Secara langsung?" bingung Bella.
"Ah, begini Bu... meskipun kami tidak ada yang hadir ke pernikahan Pak Rama, tapi entah bagaimana foto pernikahannya tersebar begitu saja," kata perempuan itu begitu saja.
"Oh..." pertanyaan Bella akhirnya terjawab sudah. Kecepatan informasi di sosial media memang tidak perlu diragukan lagi. Apapun bisa tersebar dengan cepat.
Pintu lift terbuka, Bella dan perempuan itu keluar bersamaan. Mereka berjalan ke arah barat sebentar, lalu tibalah di depan ruang yang bertuliskan CEO's room.
Perempuan dari meja resepsionis itu menunjuk ruangan itu. "Kita sudah sampai, Bu."
"Terima kasih banyak, ya."
"Sama-sama. Itu sudah tugas saya, Bu." Perempuan itu berjalan ke arah meja sekretaris di depan ruangan Rama, lalu berbincang sesaat. "Kalau begitu saya permisi ya, Bu. Sekretaris Pak Rama yang akan menemani Ibu."
"Iya."
Sekretaris Rama tak kalah hangat dalam menyambut Bella. Laki-laki berusia dua tahun lebih muda dari suaminya itu mengetuk pintu ruangannya atasannya dan masuk ketika sudah dipersilakan.
"Silakan Bu, anda sudah ditunggu di dalam," ucap sang sekretaris ketika keluar lagi.
"Terima kasih."
"Sama-sama, Bu..."
Bella perlahan membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Tanpa disangka Rama sudah menunggunya sambil berdiri tak jauh dari pintu. Bella tersenyum dan segera mengulurkan berkas yang tertinggal.
"Makasih banyak ya, Bell. Saya kira Mana yang ke sini," kata Rama.
"Dia ada bimbingan, Mas. Kasihan kalau harus bolos terus. Lagipula urusan saya sudah selesai kok, jadi bisa ke sini buat anterin berkas Mas."
"Ayo duduk dulu, kamu mau minum apa?" tunjuk Rama ke sofa.
Bella segera duduk dan mengatakan dia bisa minum apa saja. Rama memanggil sekretarisnya untuk menyiapkan minuman. Mereka kini duduk berhadapan dengan ditemani dua es kopi.
"Kamu mau nunggu di sini sebentar, kan? Biar nanti saya antar pulangnya setelah meeting."
Bella buru-buru mengibaskan tangannya sambil menggeleng. "Eh, Mas nggak usah. Saya bisa pulang sendiri kok, Mas Rama pasti banyak pekerjaan. Lagipula saya mau ke tempat Bunda, sudah lama tidak pulang."
"Saya juga mau ketemu Bu Mala. Boleh saya ikut?"
"Boleh," jawab Bella.
"Kalau begitu kamu tunggu saya selesai meeting dulu, ya. Tidak apa-apa, kan?"
"Iya, Mas."
Rama berdiri dari duduknya sambil membawa berkas yang diantarkan Bella. "Saya pergi dulu ya, kalau kamu bosan kamu bisa berkeliling."
"Saya di sini aja, Mas. Ada wifi kan di sini? Saya mau nonton drakor aja."
Rama tersenyum tipis, dia pun mengangguk. "Password-nya; FC2013."
"Terima kasih, Mas. Mas Rama yang semangat meeting-nya ya, fighting!"
Rama keluar dari ruangan dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya. Hal itu membuat para karyawannya yang sejak tadi mengintip dari balik koridor merasa gemas dengan tingkah pasutri itu. Jarang sekali Rama tersenyum, baru kali ini mereka melihatnya secara langsung.
###
Di part ini Rama banyak senyumnya ya, hihi...
Semangat terus Bell, ini permulaan yang bagus 😄
tanda-tanda bel takdir berbunyi ini mah
Comment on chapter Prolog