Bella bangun lebih pagi dari hari sebelumnya. Misinya harus berhasil kali ini, ia tidak ingin Rama terus yang menyiapkan sarapan. Setelah memasak sebisanya, juga menyediakan makanan yang tersisa dari pemberian Bu Salya, Bella merias dirinya agar enak dipandang. Selesai dengan semua itu, dia tinggal duduk manis menunggu Rama keluar dari kamar.
"Selamat pagi, Mas..." sapa Bella secepat Rama menutup pintu kamarnya. Lelaki itu sempat terkejut melihat gadis yang menyandang status sebagai istrinya itu sudah bangun sepagi ini. Padahal Rama sengaja bersiap ke kantor sepagi mungkin agar tidak berhadapan dengan Bella, sebab dia merasa canggung.
"Pagi..." balas Rama.
"Saya sudah siapkan sarapan, ayo sarapan dulu, Mas."
Rama bukan tipe seseorang yang tidak bisa menghargai usaha orang lain. Jadi, meskipun dalam suasana canggung yang kental, Rama tetap mengangguki ajakan Bella. Dia duduk di seberang kursi Bella, mereka berhadapan di sela makanan.
"Kamu yang memasak semua ini?" tanya Rama.
Bella antusias mengangguk. "Saya mencoba resep di YouTube, tapi tidak tahu gimana rasanya, hehe. Ayo, Mas Rama yang review ya..."
Rama hanya memandangi Bella yang sampai bersedia menyiapkan nasi untuknya. Gadis itu juga menyodorkan beberapa lauk buatannya agar Rama mencobanya. Dengan gerakan kaku Rama pun menyendok lauk bikinan Bella.
"Gimana rasanya, Mas?" serobot Bella tak sabar.
"Mm... Rasanya, mm..." gumam Rama sambil mengunyah.
"Jujur saja, Mas. Saya menerima kritik apapun kok."
"Asin."
"Hah?" kaget Bella. Dia tidak menyangka Rama akan menjawab secepat itu. Aduh, apa yang kamu pikirkan, Bella? Memangnya dirimu siapa? Mana mungkin Rama sampai repot-repot berbohong untuk menjaga hatimu?
"Katanya review jujur?" kata Rama.
Bella segera tertawa. "Haha... Iya Mas, nggak apa-apa. Kalau begitu Mas makan lauk dari Bu Salya aja ya, yang itu jangan dimakan."
Rama menahan lengan Bella yang sudah akan menarik mangkuk berisi lauk buatannya. Bella sampai bergetar saat kulitnya menerima sentuhan dari tangan Rama. Dia tidak bisa berkutik sama sekali, rasanya semua sendi di tubuhnya mendadak mengeras.
"Biarkan saja, ini masih bisa diperbaiki kok rasanya."
Bella ingin berteriak saat Rama melepaskan lengannya. Lelaki itu berjalan menuju rak-rak di dapur untuk mencari sesuatu, lalu kembali lagi ke meja makan. Lelaki itu mengambil sejumput gula dan menaburkannya ke mangkuk lauk buatan Bella.
"Biar rasa asinnya berkurang, kita tinggal tambahin gula aja sampai rasanya pas." Rama mengaduk lauk itu, kemudian mencicipinya. Senyum kecil mengembang di bibir lelaki itu. Senyum yang kecil sekali, sampai-sampai tidak terlihat. "Nah, sudah pas, sekarang jadi enak."
"Wah, beneran, Mas?"
"Cobain," ujar Rama sambil mengangkat sendok untuk menyuapkannya pada Bella.
Dengan cepat, meski jantungnya berdetak tak karuan, Bella menerima suapan Rama. Siapa tahu Rama mengurungkan niatnya jika dia terlalu lama mengangkat sendok itu. "Ih, ini enak. Wah, Mas Rama jago banget," kata Bella senang.
"Qila yang mengajari saya dulu," ujar Rama tak sadar. Hanya sebaris kalimat itu, selanjutnya dia kembali diam. Rama tidak ingin membawa topik Aqila dalam obrolannya bersama Bella.
"Terima kasih sudah menyiapkan sarapan hari ini, Bella."
Bella mengulum senyum, seolah dia tidak mendengarkan kalimat Rama sebelumnya. "Sama-sama, Mas. Saya janji akan terus berusaha biar masakan saya nggak keasinan, hehe..."
"Biar saya saja yang memasak kalau kamu—"
"No, Mas Rama. Itu tugas seorang istri."
"Iya, oke."
Hening kembali karena keduanya kini sibuk menghabiskan sarapan di piring masing-masing. Hanya Bella yang sesekali mencuri pandang untuk menatap wajah Rama. Dia terus menganggumi ciptaan Tuhan di hadapannya itu, bagaimana bisa Rama tetap terlihat tampan saat sedang makan sekalipun.
Selesai sarapan, Bella mengantar Rama sampai ke depan pintu. Tentu saja gadis itu mengekori Rama dengan inisiatifnya sendiri. Hal itu ingin sekali Bella lakukan demi memenuhi tugasnya sebagai seorang istri.
"Semangat kerjanya ya, Mas Rama."
"Thanks, Bell." Rama sudah akan pergi, namun dia kembali menghadap Bella hingga membuat gadis itu ternganga heran. "Oh iya, Bell..."
"Kenapa, Mas? Ada yang ketinggalan? Biar saya ambilkan dul—"
"Ini," potong Rama. Di tangannya terulur sebuah credit card untuk diterima oleh Bella. "Ambil ini, buat memenuhi kebutuhan kamu."
"Eh, Mas. Nggak usah, saya ada—" Bella terdiam lantaran Rama memegangi punggung tangannya untuk meletakkan credit card itu di sana.
"Terima ya, Bell. Kalau kamu saja berusaha berperan sebagai seorang istri, maka izinkan saya berusaha juga menjadi seorang suami. Karena itu, sebagai langkah awal menjalani peran suami, saya ingin menafkahi kamu."
Ya Tuhan, boleh tidak saat ini Bella berharap dia bisa hidup ratusan tahun dengan Rama?
###
Sudah lebih dari tiga puluh menit Bella memandangi credit card pemberian Rama sampai-sampai Laksmana yang ada di depannya teracuhkan seperti radio rusak. Lelaki itu mendadak merasa salah karena mengajak Bella diskusi mengenai skripsinya. Bukannya dapat solusi, dia malah dibuat kesal menyaksikan kelakuan absurd Bella.
"Lo mau lihatin tuh kartu sampai bola mata lo keluar juga nggak akan bisa keluarin duit tiba-tiba dari sana," omel Laksmana.
"Tapi kartu ini bisa menafkahi kebutuhan gue, Mana."
"Ya nggak perlu dilihatin segitunya kali, Bell. Itu kartu apaan sih sampai lo ngelihatinnya begitu amat?"
Bella mendongak, tersenyum lebar pada Laksmana. "Dari suami gue, katanya ini buat menuhin kebutuhan gue selama jadi istrinya, hehe."
"Kak Rama?"
"Iya, suami gue, Mas Rama."
Laksmana tidak tahu mengapa tenggorokan dia mendadak terasa kering. Dia pun mencengkeram gelas kopinya untuk diteguk sedikit. Alunan musik di cafe yang mengalunkan lagu romantis jadi mengganggu telinganya, maka lelaki itu secara spontan mengangkat tangan demi mendapat perhatian penjaga cafe.
"Mas, bisa ganti lagunya nggak?" pinta Laksmana.
"Iya Mas, mau lagu apa ya?"
"Mahalini yang judulnya sial ya, Mas."
"Oke, Mas."
Bella memicingkan matanya saat Laksmana kembali fokus ke layar laptop dan mengetik dengan suara keras-keras. Kening Bella juga nampak berkerut, dia jadi takut dengan sikap Laksmana yang berubah-ubah.
"Lo sejak kapan suka sama Mahalini?" tanya Bella.
"Sejak gue tahu kalau gue lebih ganteng dari Rizky Febian."
"Iuh!"
Laksmana mendengus saat mendapati cibiran Bella. Andaikan gadis itu tahu perasaan Laksmana saat mengetahui Rama mulai menerima status sebagai suami Bella, mungkin akan beda ceritanya.
"Tapi Mana, gue ngerasa sedih..." lirih Bella.
Hanya dengan mendengar nada getir pada suara Bella, Laksmana langsung menutup layar laptopnya dan menatap wajah gadis itu. Benar saja, raut wajah ceria Bella tergantikan dengan kecemasan.
"Mas Rama pasti kangen banget sama Mbak Qila. Dia sampai nyebut-nyebut nama Mbak Qila pas sarapan, tapi habis itu langsung ngalihin pembicaraan." Bella tidak bisa membayangkan ada di posisi Rama. Kalau itu terjadi padanya, mungkin Bella akan memilih kabur ke tempat yang jauh.
"Ya pasti, apalagi Mbak Qila ngilang gitu aja tanpa tanda-tanda pasti. Kaburkah? Diculikkah?"
"Menurut lo Mbak Qila diculik?"
Laksmana mengedikkan bahu. "Nggak tahu, bisa jadi sih. Soalnya kata Mas Rama, Mbak Qila nggak mungkin nolak pernikahan sampai harus kabur. Jadi, opsi yang tersisa cuma diculik."
"Bisa jadi, Mana. Duh, gue pengin banget bantu cari."
Laksmana mengembangkan senyum. Syukurlah Bella tidak melupakan bahwa Aqila adalah pilihan hati Mas Rama. Gadis itu juga sampai bersemangat ingin menyatukan pasangan itu, tandanya Bella tidak benar-benar mencintai Rama.
"Cari sama gue, Bell."
"Selesaikan dulu bab dua lo!" sentak Bella.
"Iya, iya, yang udah kelar bab tiga mah beda aja."
Dengan bangga Bella melemparkan rambutnya ke belakang, lalu berkedip. "Jelas dong."
"Makanya bantuin ini punya gue, Bell."
"Asal traktir gue es krim."
"Ya elah, es krim doang. Deal!"
###
Bella berjalan melenggang menuju apartemen Rama begitu keluar dari lift. Tangannya membawa kantung kresek berisi es krim dari hasil traktiran Laksmana, lumayan bisa dia bagi dengan suaminya nanti. Bella tersipu malu menyebut Rama dengan kata suami.
Begitu sampai di depan pintu apartemen, Bella yang akan menekan pin password mendadak tertahan. Pintu itu mendadak sudah terbuka dari dalam. Awalnya Bella mengira itu adalah Rama, namun ternyata dugaannya salah. Justru seorang wanita paruh baya yang menyembul keluar dari balik pintu.
"Maaf, Ibu ini siapa ya?" Bella memberanikan diri bertanya.
"Oh, kamu pasti gadis yang menjadi pengganti putri saya."
Mata Bella melebar saat mendengarnya. "Ibunya Mbak Qila?"
"Saya Risma, ibunya Aqila, sekaligus... ibu mertua Rama."
Bella langsung melebarkan senyum. Dia mengulurkan tangan untuk menyalami wanita paruh baya itu sebagai sopan santu. Namun, Bu Risma tidak menanggapinya sama sekali.
"Saya ke sini untuk memberikan kue-kue kesukaan menantu saya. Tolong bilang pada Rama bahwa ibu mertuanya datang berkunjung," ucap Bu Risma.
Bella menurunkan tangannya dengan tetap memasang senyum manisnya. "Tentu, Bu. Saya pasti akan sampaikan pesan itu."
"Ibu mau masuk dulu? Biar saya nanti siapkan minum," tawar Bella.
Bu Risma menggeleng. Wajah tak bersahabatnya masih terpampang begitu angkuh untuk ditunjukan pada Bella. "Tidak perlu, saya ada urusan lain."
"Baik Bu, sebelumnya terima kasih sudah berkunjung."
"Tidak perlu kamu yang berterima kasih, lagipula saya melakukan ini untuk menantu saya saja—Rama."
"Iya."
"Dan ingat ya, jaga batasan kamu. Kamu itu cuma istri sementara Rama yang terpaksa dia nikahi demi menutup aib."
Setelah mengatakan kalimat ketus itu, Bu Risma melenggang pergi meninggalkan apartemen Rama. Bella masih ternganga di depan pintu sambil menunggu Bu Risma hilang dari pandangannya.
"Ish, serem banget sih. Jaga batasan, kamu itu istri sementara, istri penutub aib. Ish..." geram Bella. Tangan kirinya yang bebas mengepal, kemudian diluruskan kembali demi mengurut dadanya. "Memangnya perlu diperjelas begitu? Tanpa diingatkan juga saya sudah tahu, wahai nyonya."
Bella segera memasuki apartemen Rama karena tidak ingin terbakar emosinya. Bisa-bisa apartemen ini roboh akibat kemarahan Bella. Lebih dari itu, dia tidak akan membiarkan es krimnya mencair.
Masih pukul tiga sore ketika Bella mengecek jam dinding. Dia duduk di sofa ruang tengah dan penasaran melihat bingkisan kue di atas meja. "Pasti ini kue pemberian Bu Risma," kata Bella.
Tangan Bella bergerak mengeluarkan kue dari paper bag, lalu menatanya. Saat membuka isi kue itu, mendadak air liur Bella seperti ingin menetes. Dengan iseng dia menggamit satu kue itu untuk dicicipi. "Tidak ada salahnya kan mencicipi satu, hehe."
Pupil mata Bella melebar saat kue itu melebur dilidahnya. Kue itu sangat enak, Bella belum pernah makan kue seenak itu. Dia juga tidak tahu apa nama kue kecil-kecil yang mirip kue lebaran itu. Dia tidak pernah lihat, mungkin kue itu didatangkan langsung dari luar negeri?
"Wah, enak banget ini. Kue ini pasti dibeli dari luar negeri, nggak ada nama brand-nya lagi. Ah, bodo, ini enak."
Berawal dari icip-icip sedikit, berakhir sampai kue itu hanya tinggal sedikit. Bella mengakhiri acara makannya setelah perutnya kenyang, lalu dia bergerak memasuki kamarnya untuk beristirahat. Gadis itu masih belum sadar bahwa dia telah menghabiskan kue yang diamanatkan untuk Rama.
###
Wah wah wah, Bella lupa apa sengaja ya itu...
Tapi kayaknya dia kelaparan deh sampai kuenya dihabisin.. Wkwkw
tanda-tanda bel takdir berbunyi ini mah
Comment on chapter Prolog