Sepulang sekolah, Mama dan Papa tiba-tiba mengajakku berbicara serius.
“Tadi Mama ketemu dengan ibunya Ray.”
Aku nggak bisa menyalahkan bundanya Ray. Tentu saja Mama dan Papa curiga ada yang salah denganku. Mama bukan tipe yang bisa diam saja melihat anak yang nggak beres dengan anak bungsunya. Akhirnya aku menyerah, aku menceritakan semuanya.
“Maafin Kinan, Ma, Pa. Kinan nggak bermaksud membangkang dengan pacaran sama Ibra.” Air mataku turun dengan deras.
“Sebenarnya Mama tahu soal kamu pacaran dari Astri. Tapi soal pelecehan ini, Mama nggak bisa tinggal diam.”
Mama menelepon Tante Astri. Kejadiannya terasa cepat. Tante Astri datang bersama Ibra. Tante Astri menangis dan meminta maaf kepadaku.
“Ibra! Mami menolong sahabat Mami sendiri! Tapi malah kamu pakai buat mengancam Kinan?! Manusia macam apa kamu? Kinan itu sahabat kamu dari kecil! Seharusnya kamu yang menjaga dia! Pantas saja kamu meminta Papi untuk menelepon sekolah supaya Kinan dikeluarkan dari Russelia GTC. Memangnya kamu pikir sekolah itu mainan?!”
Aku sudah menduganya. Awalnya aku mengira bahwa Ibra berkuasa di Russelia. Namun saat aku nggak diusir oleh Russelia GTC setelah kasus pelecehan itu, aku segera paham. Memang aku bisa lolos dari kasus sontekan berkat Om Rashid, tapi masuk ke Russelia GTC secara gratis merupakan sogokan murni dari Pak David. Ibra itu hanya membual saja. Bodohnya aku percaya begitu saja. Saat itu aku hanya berpikir soal Mama. Kalau Ibra membocorkannya, itu bisa menjadi masalah besar. Di kepalaku hanya terlintas bahwa aku harus mengikuti ucapan Ibra kalau aku ingin Mama selamat.
***
Sebelum tidur, Papa mengajakku berbicara. Tentu saja aku kaget. Papa itu sangat dingin. Aku lebih dekat dengan Mama. Apa Papa akan memarahiku soal pacaran?
“Kenapa Adek mutusin untuk memaafkan Ibra?” tanya Papa.
Aku terkejut. “Adek capek, Pa. Adek kepingin semua masalah ini selesai. Kalau dibawa sampai ke jalur hukum, kapan Adek bisa lupain ini? Adek harus fokus sama ujian dan persiapan kuliah.”
“Maafin Papa ya, Dek.”
Aku kembali terkejut. “Kok Papa yang minta maaf? Adek yang seharusnya minta maaf. Papa udah nasehatin Adek supaya nggak pacaran, tapi Adek malah membangkang. Akhirnya apa yang Papa takutkan terjadi. Papa nggak mau Adek pacaran, karena tahu akibatnya bakal begini, kan?”
“Justru itu salah Papa. Papa terlalu sibuk sampai jarang ada waktu sama Adek. Adek sampe pacaran, ada kesalahan Papa juga. Seharusnya kalau Papa meluangkan banyak waktu buat Adek, Adek nggak bakal mencari perhatian ke lawan jenis.”
“Pa, kan Adek udah pernah cerita kalau Adek nggak ada niatan pacaran. Adek nggak merasa diabaikan sama Papa.”
“Tetap aja, Dek. Seorang anak perempuan bisa memahami laki-laki itu lewat ayahnya. Seharusnya Papa bukan cuma sibuk melarang-larang Adek buat bergaul dengan laki-laki, tapi turut meluangkan waktu untuk Adek.” Papa terdiam. “Bagaimana kalau liburan besok kita pergi berdua? Bukan hanya liburan besok. Untuk seterusnya akan ada jadwal untuk kita berdua.”
“Okay. It’s a date.” Aku memeluk Papa.
***
“Kenapa dari tadi ngelirik-lirik gue? Kerjain cepetan soalnya,” sindirku kepada Ray.
“Pret … soal perkataan gue tiga hari yang lalu … itu gue cuma bercanda.”
Kedua pipiku memanas. Aku nggak sempat memikirkan soal pernyataan cinta Ray yang sepolos anak SD itu. Soalnya sehabis itu banyak kejadian yang menguras pikiran sih.
“Soal nomer tujuh itu caranya begini.” Sengaja aku mengalihkan pembicaraan. Namun jantungku malah berpacu semakin cepat.
“Sebenarnya gue juga nggak bercanda, Pret.”
“Terus mau lo apa, Ray?!” Refleks aku berteriak. Sampai seisi dining room melihat ke arah kami.
“Nggak apa-apa sih. Eh, tapi jangan salah sangka ya. Gue beneran keceplosan waktu itu. Tapi gue nggak ada niatan ngajakin lo pacaran. Sumpah! Gue bisa dilaknat sama Emak. Cuma lo jangan heran ya kalau tiba-tiba gue caper abis sama lo saat ada cowok lain yang coba deketin lo.”
Aku nggak bisa, nggak tertawa. Kalau boleh jujur, aku sepertinya juga mempunyai perasaan yang sama. Tapi untuk apa diucapkan? Aku berniat untuk nggak pacaran. Aku udah janji sama Papa. Dan aku sudah ada niat untuk berubah. Bertransformasi sih lebih tepatnya.
“Oh iya, Bapak’e udah daftarin lo les di Goethe ya. Harinya bareng sama gue. Kata dia, bayaran privatnya dialihin aja buat bayar les di Goethe.”
Aku nggak bisa membendung air mata yang menetes.
“Lah, malah pake acara nangis.”
***
Nggak terasa hari berjalan cepat. Tiba-tiba sudah acara wisuda. Dan … aku menjadi lulusan terbaik di angkatan kami. Pantas saja Mrs. Shelly menyuruhku untuk mempersiapkan pidato perwakilan angkatan.
Rasanya aku mati-matian menahan tangis supaya suaraku tetap stabil. Ternyata cara ampuh balas dendam paling elegan adalah dengan cara bangkit dan sukses. Aku bisa membuktikan kepada Ibra bahwa aku bisa sukses berkat usahaku sendiri. Bukan dia yang berkuasa atas diriku, tapi diriku sendiri.
“Pengumuman yang lolos beasiswa kapan, Mrs?” tanya Papa saat bertemu dengan Mrs. Shelly.
“Nanti pihak Russelia GTC yang akan mengirim email kepada yang lolos, Pak. Tapi saya kasih bocoran. Kinan lolos seleksi beasiswa. Nilai tes seleksi dia termasuk tinggi ditambah prestasi menjadi lulusan terbaik di angkatan tahun ini dan surat rekomendasi dari wali muridnya Ray,” terang Mrs. Shelly.
Papa dan Mama memelukku dengan erat. Lalu ayah dan bundanya Ray menghampiri kami untuk menyelamatiku.
“Oh iya, nanti saat di Jerman nggak usah khawatir dengan Kinan. Adik kami, Brian mempunyai kenalan yang sudah berkeluarga di sana. Nanti saya titipkan Kinan dan Ray kepada mereka. Ya, namanya anak di perantauan. Pasti orangtua khawatir dan kepingin ada yang memantau anak-anak kita,” jelas ayahnya Ray.
“Kami sangat berterimakasih untuk bantuannya. Untuk surat rekomendasinya. Bahkan Kinan sampai diberikan les Bahasa Jerman gratis,” ujar Papa. Yang dimaksud Papa itu les bersama Om Brian ya. Papa nggak tahu-menahu soal privat berbayar itu. Papa juga mengira bahwa les di Goethe itu fasilitas dari Russelia GTC. Hihihi.
“Justru kami yang berterimakasih. Nilai-nilai Ray bisa membaik. Kinan sangat berjasa dalam memperbaiki semangat belajar Ray.”
Lalu bundanya Ray menyodorkan sekotak hadiah. Aku bisa menebak isinya. Beberapa waktu yang lalu aku sempat bertanya sesuatu kepada bundanya Ray. Kepada Ustazah Nuri juga. Dan dua hari yang lalu aku juga mendapatkan paket hadiah dari Ustazah Nuri. Mau tahu apa hadiahnya? Jilbab.