“Mau ke mana, Bray?” tanya gue saat melihat wajah paniknya.
“Kinan katanya pingsan di toilet waktu ganti baju pas pelajaran renang. Gue mau ke klinik,” jawab Cutbray.
“Gue ikut!”
Kinan terkena serangan panik. Dia terkulai lemas di atas ranjang.
“Lo stres kayaknya, Ki. Gara-gara kabar dari Oxford ini pasti,” ujar Dayana.
Di saat Dayana pergi untuk membeli makanan, gue mendekatkan kursi ke samping ranjang.
“Bener apa kata Dayana? Jangan terlalu dipikirin, Pret. Gue beneran janji bakal nerusin kontrak privat kita. Udah lupain Oxford.”
“Sewaktu gue di toilet, di depan ada Ibra dan Cello. Gue tiba-tiba keringetan, perut kram, sakit kepala, dan mual.”
Gue mengepalkan tangan dengan keras. Seharusnya si cowok bajingan itu yang merasakan ini! Tapi kenapa malah Kinan yang merasa dihantui?!
Kalau si cowok Korea nggak bisa mendapatkan karma, gue yang akan kasih pelajaran. Iya, nanti sore gue akan melayangkan broadcast foto itu. Foto dia bersama Bunga bangkai. Miss. Deli, tunggu surat cinta dari gue.
***
Udahlah cemen suka mainin perempuan, beraninya keroyokan. Setelah gue mengirim broadcast foto itu dengan nomor ponsel yang sengaja baru gue beli, gue diseret si cowok Korea ke tempat latihan wushu.
Satu tinju melayang tepat di pipi gue.
“Lo kan yang ngirim pesan broadcast itu?!” teriaknya.
“Lo punya bukti?”
Salah satu temannya mengunci tangan gue. Udah deh, gue jadi samsak. Gue nggak masalah babak belur. Cuma gue khawatir sama Emak. Nanti dia nangis melihat gue begini kan gue nggak tega.
“Woy!”
Ah, si bokerman kenapa sok mau jadi pahlawan sih? Udah tahu kita sama-sama lemah.
“Miss. Deli mau ke sini! Sama Coach Liam!”
Gue tertawa dalam hati. Cerdas juga si bokerman. Ternyata dia nggak sebodoh yang gue pikir. Mana berani mereka sama Coach Liam yang sadisnya minta ampun. Apalagi dia bakal melihat anak emasnya mengeroyok bukan anak emasnya. Apalah gue.
Akhirnya kami semua berakhir di ruangan konselor. Kami diberikan surat untuk orangtua kami masing-masing. Lalu Coach Liam membawaku ke klinik untuk diobati. Tapi yang membuat gue terenyuh, Kinan datang dengan napas tersengal menghampiri gue. Eh, nggak jadi terenyuh. Dia malah memukul gue.
“Lo mau bikin gue tambah babak belur?”
Et dah, dia malah nangis lagi.
“Lo nggak perlu bales dendam buat gue, Ray.”
“Mana bisa gue diem aja ngelihat cewek yang gue suka ditindas begitu aja.”
“Hah?”
Mampus! Gue keceplosan! Saatnya kabuurrr!
***
Gue bisa menghindari Kinan, tapi malah masuk ke kandang singa. Bapak’e membuka sidang besar-besaran untuk gue dan Bunga di rumah gedong mereka. Saat Bunga dimarahi habis-habisan, gue tertawa dengan puas.
“Kamu beraninya tertawa, Ray?! Kalian beruntung nggak diskors, karena udah kelas dua belas dan bentar lagi ujian.”
Gue langsung bungkam.
“Ayah juga dapat laporan dari Miss. Deli. Kamu yang mengirim foto itu, kan? Mau sampai kapan kalian nggak akur begini? Kalian itu saudara!”
“Ray nggak sudi.”
“Ray!” Bapak’e melotot.
Gue berdiri. “Ayah kira Ray bakal sudi berdamai dengan keluarga yang merampas kebahagiaan Bunda?”
“Jaga omonganmu! Apa yang Ayah dan bunda kamu putuskan, nggak ada hubungannya dengan Bunga dan ibunya.”
“Ayah nggak tahu kan kalau Ray melihat Bunda menangis diam-diam sambil melihat foto keluarga kita dulu? Ray juga nyaksiin Bunda membuat kue tart untuk anniversary pernikahan kalian dan duduk sambil menangis. Ayah mengharapkan Ray bisa berdamai begitu aja?”
Bapak’e tertegun.
“Sebenarnya Ray bisa aja berkelakuan bebas kayak anak cewek kesayangan Ayah itu. Tapi Ray nggak pernah keluar malam, karena harus jagain Bunda. Ray tahu kalau Bunda kesepian, dia bakal males makan. Ray memutuskan untuk menerima tawaran ke Jerman supaya Ray bisa sukses. Bunda nggak usah kerja lagi. Ayah nggak tahu itu, kan? Atau emang nggak mau tahu?”
Saat Bapak’e mencekal tangan gue, gue menghempaskannya kuat-kuat. Lalu yang membuat gue tambah muak, malamnya Bapak’e datang ke rumah. Gue sempat mendengar dia meminta maaf sama Emak. Buat apa, hah?
Dan suara ketukan pintu yang udah gue prediksi. Pasti Emak mau menceramahi gue.
“Ray, kamu nggak seharusnya seperti itu. Biarkan ayahmu bahagia sama keluarga barunya. Kamu nggak berhak untuk menghakiminya. Nggak sepenuhnya salah ayahmu. Bunda juga turut andil dalam perpisahan ini. Terus Bunda baru tahu kalau kamu melihat Bunda nangis.”
Gue nggak berani menatap Emak.
“Kamu seharusnya bisa menjadi saudara yang baik buat Bunga. Bunda tahu kalau Bunga itu nggak terlalu diperhatiin sama orangtuanya. Ayahmu pasti sibuk. Ibunya juga. Makanya dia menjadi seperti itu.”
“Nggak bisa, Bun. Jangan paksa Ray buat akur sama dia.”
“Oke, oke. Tapi setidaknya kamu harus berbaikan sama Ayah ya? Besok dia ke sini lagi. Bagaimanapun, Ayah itu peduli sama kamu. Asal kamu tahu, Bunda yang memaksa untuk berpisah, padahal ayah kamu masih tetap ingin bertahan demi kamu. Seharusnya kamu marah sama Bunda. Bukan ke Ayah.”
Gue terkejut. “Oke, besok Ray akan minta maaf sama Ayah. Demi Bunda. Ray juga akan berusaha nggak terlalu ketus sama Bunga. Tapi jangan harap Ray bersikap manis ya.”
Emak memeluk gue. Biasanya gue akan melepasnya, tapi nggak apa-apa-lah sekali-kali.
“Lagian foto itu sebenarnya bukan buat nyerang Bunga, tapi buat balas dendam ke Ibra. Ray nggak bisa diam aja. Kinan sampai pingsan karena trauma, Bun.”
“Bunda tahu. Makanya tadi Bunda bilang ke ayahmu. Malah ayahmu berniat untuk menolong Kinan dan bersedia menyewakan pengacara. Kami berdua sangat berterimakasih sama Kinan. Kamu bisa berubah menjadi lebih baik berkat usaha Kinan.”
“Percuma, Bun. Kinan aja nggak mau cerita sama orangtuanya.”
“Soal itu, mamanya Kinan tadi datang ke sini dan … Bunda terpaksa menceritakannya. Mamanya curiga sewaktu kita mengantarkan Kinan pulang. Katanya Kinan sering mengurung diri di dalam kamar dan di malam hari mamanya terbangun karena mendengar Kinan berteriak di tengah tidurnya.”