Aku tahu jika Ibra nggak akan terima begitu aja setelah kutampar di depan umum. Kami berdua sudah berteman sejak kecil. Aku dan Ibra itu mempunyai kemiripan, yaitu harus menggenggam apa yang kami inginkan. Hanya saja aku tumbuh kembang di keluarga yang serba seadanya, jadi aku banyak tertampar oleh realita. Sedangkan Ibra, apa yang nggak bisa dimilikinya?
Makanya dia marah besar saat aku menolak menjadi pacarnya. Hingga kini kami sudah berpacaran, Ibra tetap memaksakan kehendaknya. Dia menganggap bisa mengabulkan semua permintaanku, asalkan aku tetap di sisinya.
Dengan frustrasi, aku meminta tolong kepada Ray. Namun nahas, Ray nggak datang. Aku berusaha kabur, tapi Ibra menghadangku di lobi. Sebenarnya aku bisa saja memberontak, tapi bagaimana kalau Ibra memakai senjata andalannya? Keluargaku bisa habis di tangannya. Aku bisa sekolah di tempat yang prestisius, berprestasi, dan kuliah di luar negeri adalah impian bagi keluargaku yang dari kalangan biasa saja.
“Kita mau ke mana?”
Ibra nggak menjawab. Pandangannya lurus ke depan.
“Gue mau pulang!”
“Lo tahu kalau semakin hari lo semakin ngelunjak? Gue udah mencoba sabar, Ki. Gue udah menuhi semua keinginan lo. Bahkan gue sempat bilang ke Papi, bisa nggak kalau lo dimasukin langsung aja ke penerima beasiswa? Gue sampe mohon-mohon. Gue juga selalu ngebela lo di saat temen-temen yang lain ngejelekin lo. Terus lo lebih milih belajar dari gue? Dan lo ngebuang hadiah gue? Belum cukup, setelah itu lo nampar gue. Gue itu cuma nyium pipi! Lo kolot banget jadi orang!”
“Lo juga kenapa diam aja sewaktu Cello dan yang lain ngomentarin tubuh gue? Seharusnya kalau pacar yang normal itu lo marah!”
“Mereka itu cuma muji lo! Wajar aja cowok ngomentari cewek kayak gitu. Nggak usah kege-eran. Davina dan lainnya cuek aja.”
“Nggak semua cowok begitu. Ray nggak begitu. Dia sama sekali nggak pernah ngomentari tubuh gue, terlebih sampe menilai dada gue sebesar apa! Gue merasa dilecehin, Baim!”
Ibra meminggirkan mobilnya ke tepi jalan. Dia tertawa besar. “Jadi penyebabnya Ray? Lo cinta sama cowok itu?”
Aku segera memundurkan tubuhku. Tanganku berusaha menggapai pembuka pintu mobil, tapi Ibra menarik tanganku dan mengungkungku.
“Lo itu milik gue, Ki. Seorang atlet wushu mempunyai pacar seorang juara kelas bertahan. Seandainya lo nggak menolak gue, lo pasti udah menyabet medali emas olimpiade tahun ini. Ray nggak bakal bisa ngebuat lo ngedapetin itu semua. Dia itu cuma nyusahin lo. Sadar, Ki.”
Aku bersyukur tadi sempat mengirim live location kepada Ray. Kalau tidak, aku pasti, aku pasti. Aku nggak bisa membayangkan. Meskipun Ray telah membawaku pergi, tapi aku masih merasakan tangan Ibra menggerayangiku. Rasanya aku ingin mati.
***
Aku tahu jika Ray dan bundanya kecewa dengan keputusanku. Namun aku nggak bisa melaporkan Ibra. Selain buktinya nggak ada, Mama dan Papa bisa jadi korban. Biasanya korban pelecehan yang nggak bukti malah berakhir jadi tersangka pencemaran nama baik. Apalagi Om Rashid itu pejabat. Aku tahu Om Rashid itu baik banget, tapi orangtua mana yang terima anaknya dituduh melecehkan?
“Kamu takut melapor karena nggak ada bukti? Apa Ray belum cukup jadi saksi?” tanya bundanya Ray.
Aku hanya bergeming.
“Kamu takut sama orangtuanya Ibra? Seharusnya kalau mereka orang yang baik, mereka nggak bakal membela anaknya. Tante tahu semua orangtua itu sayang sama anaknya. Tapi Tante rela anak Tante dihukum kalau dia membuat kesalahan. Sekarang coba keadaannya di balik, gimana kalau orangtuanya Ibra mempunyai anak perempuan dan mengalami kejadian seperti ini?”
Akhirnya Ray dan bundanya hanya mengantarku sampai rumah. Setelah hari itu, hidupku terasa hancur. Berita yang lebih menyedihkan, aku nggak lolos tes masuk Oxford. Bagaimana aku bisa tetap waras setelah kejadian itu? Ah, aku saja yang terlalu menyalahkan keadaan. Bisa jadi aku yang nggak mampu.
Aku sempat mengira jika aku akan ditendang dari Russelia GTC pasca menampar Ibra di depan umum. Namun ternyata aku tetap dipersilakan masuk. Bahkan para mentor membesarkan hatiku saat mereka tahu bahwa aku nggak diterima di Oxford.
“Santai aja. Semua punya rejeki masing-masing. Si Gabriel dulu juga nggak lolos di Oxford, tapi diterima di Harvard,” tunjuk Celia kepada pria necis di sebelahnya. “Seleksi beasiswa di sini nggak berpengaruh dengan kampus tujuan kamu. Asalkan saat kamu lolos seleksi beasiswa, kamu sudah menerima letter of acceptance,” ucap Celia.
Para mentor Russelia kebanyakan alumni sekolah ini. Mereka lulusan universitas prestisius. Mereka juga mempunyai pekerjaan yang mapan. Makanya sesi mentoring hanya seminggu dua kali di sekolah. Namun para mentor mempunyai jadwal per-hari untuk stand by di sekolah jika sewaktu-waktu ada peserta Russelia GTC yang ingin konsultasi di sela-sela jam sekolah seperti ini.
“Kamu mau masukin juga ke Freie University? Udah persiapan belajar Bahasa Jerman?” tanya Celia ke daftar list kampus tujuanku.
“Udah, Kak. Sama saudaranya temanku.”
“Tapi Negara Jerman hanya mengakui kursus resmi dari Goethe, Kinan. Dan kamu tahu kalau Russelia GTC nggak memfasilitasi itu. Makanya kebanyakan di sini mengambil yang bahasa pengantarnya Bahasa Inggris. Apalagi sekolah kita punya A level. Meskipun kamu nggak perlu ambil studienkolleg kalau kamu punya A level.”
Apa aku menyerah saja dengan Jerman? Aku agak pesimis untuk masuk MIT atau Ivy College setelah mendapat penolakan dari Oxford. Jadinya aku banyak melamun memikirkan ini sampai Dayana membuyarkan lamunanku saat istirahat makan siang.
“Oh iya, udah ada kabar dari Oxford?” tanyanya.
“Gue nggak lolos.”
Seketika Ray dan Gamal menghentikan aktivitas makan mereka. Lalu aku menceritakan sesi konsultasi tadi.
“Kayaknya gue mau ambil kampus yang kemungkinan besar gue keterima. Tapi yang bahasa pengantarnya Bahasa Inggris aja. Kalau ke Jerman, gue masih belum cukup untuk biaya lesnya.”
“Kenapa privat sama Ray nggak dilanjutin?” cetus Dayana.
“Ayo, kita privat lagi. Nanti kita les di Goethe barengan. Biar gue bilang sama Bapak’e untuk daftarin lo,” sahut Ray.
“Tapi—“
“Nggak nerima protes. Pokoknya lo harus ke Jerman juga. Lo yang udah maksa biar gue jatuh bangun belajar. Mana tanggung jawab lo?”
Lalu Dayana dan Gamal menyoraki kami berdua. Saat aku dan Dayana pergi ke toilet, tiba-tiba dia menginterogasiku.
“Lo putus sama Ibra ya?”
Oh, aku lupa. Dayana nggak tahu soal kejadian itu. Dia tahu sih peristiwa aku menampar Ibra di depan umum. Mungkin dia menyangka aku putus pasca kejadian itu. Soalnya Ibra nggak mengajakku maupun mencariku.
Apakah Ibra merasa bersalah? Hah, bersalah apanya. Dia malah asyik tertawa-tawa bersama teman-temannya. Bahkan tadi aku melihat dia merangkul Bunga dengan mesra.
“Nggak tahu, Day. Pokoknya gue nggak mau berurusan sama dia lagi.”
Dayana memelukku. “Dasar Ibra kurang ajar. Berani-beraninya nyakitin temen gue. Dia keterlaluan, main sembarang nyium lo, padahal lo nggak mau.”
Dia bahkan melakukan lebih dari itu, Day.
***
Hari ini jadwal renang. Ini yang paling kutakuti. Terlebih lagi kelasku bergabung dengan kelasnya Ibra dan Cello. Berkali-kali aku menghirup napas dan mengembuskannya selama berjalan ke toilet. Namun saat aku ingin keluar dari toilet, aku mendengar suara Ibra dan Cello di depan toilet. Tubuhku menggigil. Bayangan kejadian di mobil menerjangku. Lalu suara Cello yang kerap kali mengomentari tubuhku berputar-putar seperti suara tawon di telingaku.
Tubuhku lemas dan ambruk. Lalu ada seseorang yang menghampiriku. Emma. Dia berteriak dan memanggil teman yang lain untuk memapahku.
“Em, ambilin handuk. Please.”
Emma menyodorkan baju handuk milikku. Dengan bingung, dia membantuku untuk memakaikannya. Ada Ibra dan Cello di depan. Bagaimana jika dia melihat lekukan tubuhku? Aku nggak rela.