"Heh, Anjelo! Lo bawa motor, nggak?" tanya Kinan yang berjalan di belakang gue.
"Nggak. Kan, hari ini nggak les."
"Yah, padahal gue mau sekalian ikut. Lumayan, irit ongkos."
"Dasar nggak modal."
Eh, si kutu kupret malah narik tali tas selempang gue ke belakang. Gila, hampir aja gue kejengkang.
"Day! Lo baru selesai latihan?" panggil Kinan kepada Cutbray saat kita sedang ingin menuruni tangga. Cutbray bersama segerombolan cewek-cewek lainnya datang dari arah lantai lima.
"Iya, nih. Tungguin gue! Mau ambil tas di loker!" seru Cutbray.
"Kita lagi ada urusan. Lo pulang duluan aja," sela gue.
Eh, si Cutbray malah mesam-mesem terus melihat gue sama Kinan bergantian.
"Ah, curang lo, Ki! Katanya mau ngejomlo sampe lulus. Semenjak lo sama Ray, gue jadi sering pulang sendirian!"
Akibat suara seriosanya Cutbray, cewek-cewek yang lain serentak menengok ke arah kita. Terus murid-murid yang sedang mengobrol di depan deretan loker tiba-tiba berubah menjadi intelnya Lambe Turah. By the way, gue tahu Lambe Turah dari cewek yang duduk sama Cutbray persis di depan gue. Berisik banget tuh cewek. Kayaknya pas keluar dari perut emaknya, kerjaannya ngomong terus.
"Eh, jangan percaya sama Dayana! Gue? Pacaran sama dia?" Kinan tertawa sumbang. Lalu dia menangkup wajah gue dengan telapak tangannya dan mendorongnya ke kiri. Seakan dia baru saja melepeh muka gue sambil menjulurkan lidahnya, bergaya ingin muntah.
Gue selepet juga nih cewek!
“Terus itu lo pake jam tangan siapa?” tunjuk Dayana kepada tangan Kinan. “Kok gue baru sadar ya.”
Gue melihat Kinan menyembunyikan tangannya di balik tubuhnya. Eh, si Cutbray main narik tangan Kinan.
“Jam tangan lo bukannya rusak dan ini jam tangan cowok? Punya Ray ya?”
Gue bisa melihat kedua pipi Kinan memerah. Dia segitu malunya ya pakai barang punya gue? Jadi tersinggung. Lalu gue tarik aja tangannya Kinan.
"Buruan ke bawah. Kalau nggak, besok lo nggak usah dateng ke Senja Cafe," ancam gue sambil menuruni tangga dan meninggalkan si kutu kupret. Lalu terdengar suara hentakan kaki mengikuti gue di belakang.
***
Bapak'e dengan senyuman mengembang, menyambut gue sewaktu pintu kaca cafe dibuka. Untung aja cuma ada dia sama Bunga bangkai di sini. Sudah jam lima, anak-anak yang ekskul mulai angkat kaki dari sekolah.
"Kenapa harus nunggu di sini sih?" protes gue kepada Bapak'e. "Hari ini ada jadwal les. Kalian aja yang makan. Ayo, kita pergi."
Baru aja gue menarik tangan Kinan, Bapak'e malah bilang, "Ayah tadi udah nanya ke Brian. Katanya hari ini bukan jadwal kalian belajar. Terus Brian lagi ada urusan di luar."
Kampreto! Awas aja besok, gue bakal protes ke Om Brian.
“Tapi kita mau belajar bareng.” Gue menunjuk Kinan.
“Bisa di hari lain kok—“ Namun Kinan segera bungkam, karena sepatunya baru gue injek.
"Eh, tunggu! Siapa namanya?" tanya Bapak'e.
"Kinan, Om."
"Iya, Kinan. Ikut kita makan aja. Nanti dianter pulang sekalian. Kebetulan saya mau nanya progress belajarnya Ray. Benar kata kamu, belajarnya bisa diundur di hari lain."
Kinan menatap gue seakan meminta jawaban. Mulutnya menggumam sesuatu, tapi gue nggak kedengaran.
"Ayo, kita ke mobil," ajak Bapak'e.
Kinan mau nggak mau menurut dan mengikuti Bapak'e menuju parkiran. Dia kayaknya nggak enak buat menolak. Gue juga lagi malas adu mulut sama Bapak’e.
"Pa, boleh nggak kalau aku ajak temenku ikut?" tanya Bunga.
"Lo kenapa ajak-ajak orang lain, sih?" sergah gue. "Gue males ya, kalau nanti ada gosip aneh-aneh di sekolah."
"Kenapa lo ngelarang-larang gue? Lo aja bawa Kinan, kenapa gue nggak boleh?" protes Bunga.
"Kan—"
"Udah, nggak apa-apa. Lagian bukan masalah kalau teman-teman kalian tahu bahwa kalian adek-kakak."
Baru aja gue sama Bunga mau membuka mulut untuk protes, Bapak'e langsung memberi isyarat huruf T dengan kedua tangannya. Lalu kedua bola matanya menyuruh kita masuk ke dalam mobil.
"Kamu telepon temen kamu yang mau diajak," kata Bapak'e ke Bunga bangkai yang duduk di sampingnya. Mereka duduk di bagian tengah. Gue sama Kinan duduk di belakang.
"Dia udah jalan ke sini, Pa."
"Jangan-jangan ini cowok yang kamu taksir ya?" goda Bapak'e.
"Ih, Papa! Don't bring it up, okay? Aku enggak mau kita jadi awkward."
Dih, sok merajuk.
"So, what's your story with Kinan?" Bapak'e menoleh ke arah belakang.
"Kita cuma sebatas teman belajar, Om. Nggak dekat-dekat amat," sela Kinan sebelum gue membuka mulut.
Gue tahu dia bakal membalikkan kata-kata itu ke gue. Dasar, pendendam!
Bapak'e tergelak. "Payah kamu, Ray."
Sembarangan Bapak'e menuduh gue ditolak si kutu kupret. Kalau gue mau ngegebet cewek juga bukan kayak Kinan.
Nggak lama kemudian, datang tuh gebetannya Bunga bangkai. Meskipun kita sama-sama di ekskul wushu, tapi nggak pernah tuh gue mengobrol sama dia. Males banget sama cowok sok kayak artis Korea. Ah, kayak gue tahu aja artis Korea.
Bunga menyuruh tuh cowok untuk duduk di samping sopir. Sehabis dia menyalami Bapak'e, dia membelalak sewaktu melihat ke belakang.
"Kinan?" panggilnya.
"Kamu dekat sama Kinan?" tanya Bapak'e.
"Iya, kita temenan dari SD. Mami satu tempat kerja sama mamanya Kinan, Om."
Bapak'e hanya manggut-manggut, sedangkan Kinan sedari tadi mencebikan bibirnya sambil menggumam. Kayaknya dia mencibir perkataan tuh cowok. Oh, namanya Ibra. Gue sering sih dengar namanya, tapi ya maklum aja. Gue suka malas menghafal nama orang yang enggak penting. Pokoknya yang gue inget, namanya mirip sama dalaman cewek.
***
Kayaknya Bapak'e mau mengajak kita makan di tempat yang jauh. Lagian kerjaannya ngajak-ngajak makan di hari sekolah. Udah tahu Jakarta macet, terus besok kita harus bangun pagi buat ke sekolah lagi.
Makanya selama perjalanan, mata gue terpejam. Saat gue bangun, gue kayak merasa kepala gue bersandar pada sesuatu, tapi bukan dinding mobil. Soalnya gue duduk di sebelah kanan dan kepala gue bersandar ke sebelah kiri.
Kampreto! Kepala gue ternyata bersandar di lengannya Kinan. Dia yang juga baru bangun dari tidur langsung kaget. Eh, kepala gue malah ditabok sama dia. Terus dia mencubit gue sambil berbisik, "Lo ya, tukang mesum!"
Kenapa sih di pikiran dia kalau gue tuh cowok omes, otak mesum?
Ternyata Bapak'e mengajak kita makan seafood di restauran terkenal di Serpong. Ya, Serpong macetnya juga mirip-mirip kayak Jakarta.
Restauran ini memang favoritnya Bapak'e. Selain kita bisa milih seafood yang masih hidup, yang dijajarkan pada bagian depan restauran, di dalam akuarium atau yang dibekukan dalam es, terdapat tempat makan dengan garden view. Makanya setelah kita memilih seafood, Bapak'e langsung mengajak kita ke salah satu saung di sana. Sebelumnya kita salat dulu di musala restauran.
Bosan banget. Selama menunggu pesanan, Bapak'e banyak nanya-nanya ke Ibra tentang wushu. Cih, sok kegantengan tuh cowok. Pakai acara menyibak-nyibak rambutnya segala lagi. Gue cuma bisa menguap aja sambil bersandar ke tepian saung yang terbuat dari kayu.
"Nguap terus. Gue hampir aja ikut kesedot," bisik Kinan di samping gue.
"Berisik," sahut gue.
"Berarti kamu satu ekskul sama Ray. Gimana Ray pas latihan?" Tiba-tiba suara Bapak'e membangunkan gue yang hampir terpejam karena embusan angin malam.
"Tadi saya nggak lihat Ray kayaknya. Eh, tapi mungkin saya yang kurang perhatian, Om. Soalnya lagi fokus latihan buat lomba dua minggu lagi," papar Ibra.
Cih, pamer!
"Tadi Ray emang bolos, Om. Dia ngaku izin beli minuman, tapi nggak balik lagi," timpal Kinan.
Sontak gue memelotot ke arah Kinan.
"Ray! Kebiasaan kamu! Ibra, besok-besok kalau Ray nggak ada di ekskul, kasih tahu saya. Atau bisa bilang ke Bunga, biar Bunga yang kasih tahu." Kedua mata Bapak'e menatap gue bak sniper yang siap menembak jarak jauh.
"Kalau kamu Kinan, ikut ekskul apa?" tanya Bapak'e.
"Tadinya ikut klub Matematika, Om. Tapi pindah ke badminton, karena lagi kepingin banyak gerak aja," jawab Kinan diplomatis.
"Dia males disuruh ngebimbing anak-anak latihan soal olimpiade tuh," cibir gue. Eh, lengan gue malah dicubit. Sumpah ya, cubitan dia tuh kayak gigitan semut rangrang.
"Kamu pernah ikut olimpiade?" Bapak'e menanggapinya terlalu antusias. Dari dulu kayaknya dia cuma antusias sama anak orang.
"Dia pernah dapet medali perak waktu OSN bidang Matematika pas SMP, Om," sahut Ibra.
"Wah, keren-keren!" Bapak'e tepuk tangan. Lebay!
"Tapi tahun lalu ikut lagi, terus kalah," sindir gue.
"Ray!" Bapak'e lagi-lagi memelotot ke gue. "Oh iya, katanya kamu sama Ray sering belajar bareng?” Dia menengok ke arah Kinan.
Kinan mengangguk. “Saya mendapatkan amanah dari Mrs. Zalina dan Mrs. Shelly untuk memperbaiki nilai Ray. Jadi udah beberapa kali saya mengajarkan Ray saat istirahat siang.”
“Wah! Beneran? Saya sangat senang. Kalau perlu, saya bayar untuk privat. Mohon jangan tersinggung. Saya hanya ingin mengapresiasi. Kalau kamu belum dengar, saya sudah angkat tangan mencari guru privat untuk Ray. Nggak ada yang betah. Makanya saya sangat senang sekali. Lain kali kalau saya mampir ke sekolah, saya akan berterimakasih kepada Mrs. Zalina dan Mrs. Shelly.”
“Tapi bukannya lo mau fokus untuk tes ke Oxford?” Ah, ngapain sih si cowok Korea ikutan?!
“Kamu mau daftar ke Oxford?” tanya Bapak’e.
“Rencananya, Om. Saya juga ikut les Bahasa Jerman dengan Om Brian buat jaga-jaga kalau nggak diterima di Oxford.” Akhirnya Kinan menceritakan kisah pilunya tentang kegagalan olimpiade dan tantangan dari Mrs. Shelly. Dasar tuh cewek suka menjual nasib!
“Saya setuju dengan Mrs. Shelly. Menjadi pintar itu bukan hanya menang kompetisi, tapi gimana kita bermanfaat dengan orang lain. Saya salut sekali. Kalau kamu memang bisa memperbaiki nilai Ray, saya akan membuatkan surat rekomendasi kepada Pak David.”
Kedua mata Kinan berbinar-binar. Ditambah ketika Bapak’e menyerahkan nomor ponselnya kepada Kinan untuk melaporkan tindak-tanduk gue. Eh, tapi cahaya di kedua matanya meredup kala Bapak’e menceritakan semua perbuatan gue kepada guru-guru privat yang nggak bertahan. Hahaha. Gue nggak masalah dengan uang yang keluar sia-sia. Itu bukan duit gue kok. Nih ya, gue kasih tahu. Gue emang kasihan sama Kinan, hidupnya merana banget. Gue masih punya hati nurani lah. Makanya gue setuju buat membayar dia. Tapi masalah nilai gue bisa membaik, gue nggak janji. Ini kan soal balas dendam paling elegan kepada Bapak’e yang udah meninggalkan Emak begitu aja.