Tirai dari jendela kamar bergerak kesana kemari mengikuti arah semilir angin. Seorang pemuda bernama Haru itu menutup matanya sambil meresapi udara Pagi subuh. Ia telah bersiap mengenakan seragam sekolah. Saat mendengar suara pintu kamar lain yang terbuka, ia segera merapikan rambutnya dan mengambil tas ransel di atas kasur. Sesaat sebelum ia membuka pintu, Haru memalingkan wajahnya ke arah kasur yang masih berantakan.
“Uch, sial! Lupa lagi!” ia segera mengambil penebah untuk membersihkan kasurnya. Setelah kasurnya rapi, Haru membuka pintu dan menuruni tangga dengan langkah terburu-buru. Nobuko mencegatnya di lantai bawah dengan membawa nampan berisi roti bakar dan segelas susu. Haru pun meminum susu tersebut. Matanya terus mengarah pada Hana yang sudah berjalan di depan rumah. Setelah itu dia menyalami mama dan papanya.
Haru pergi dengan tergesa-gesa. Sesampainya di depan halaman rumah, ia celingukan kesana kemari. Karena tidak menemukan sosok Hana, ia mengeluarkan motor ninjanya dari halaman rumah. Sesaat setelah menyalakan mesin motornya, ia melihat Hana yang berjalan dengan Zeno dan Zuna di pinggir jalan. Ia pun tersenyum. Dikendarainya motornya hingga menghadang keberadaan mereka bertiga. Haru membuka helmnya dan memberikan helm lain kepada Hana. Gadis itu mengernyitkan dahi tidak mengerti.
“Ayo berangkat denganku,” ajaknya. Hana tidak langsung menerima helm tersebut. Sesaat ia melihat ke arah Zeno. Lalu Hana mendorong helm itu kembali pada Haru.
“Maaf kak. Aku sudah janji berangkat sekolah bersama dengan Zeno dan Zuna,” setelah mengatakannya, Hana berjalan melewatinya bersama dengan Zeno. Mendengar perkataan Hana membuat wajah Haru menjadi murung. Zuna mengurungkan niat untuk pergi bersama dengan Hana dan Zeno. Ia mengambil helm dari tangan Haru. Cowok itu pun terkejut.
“Berangkat sama aku ajah ya! Aku sudah capek naik angkutan umum terus nih,” saat Zuna hendak memakai helm, Haru langsung merebutnya kembali. “Eh, apaan sih?!”
“Jangan dekati aku lagi. Kamu bukan teman yang baik, Zun.”
“Maksudmu apa sih?” tanya Zuna dengan heran.
“Aku sudah tahu dari mama kalau cokelat valentine waktu itu buatan Hana. Bukan buatanmu!”
Zuna menelan ludah dengan gugup. Ia tidak menyangka akan ketahuan secepat itu. Dia merentangkan tangannya di depan motor Haru yang hendak pergi. Haru mencoba mengusirnya. Tetapi Zuna tetap kukuh pada pendiriannya.
“Nggak! Aku nggak mau pergi! Aku akan melakukan apapun untuk bisa dekat lagi denganmu, Haru! Kamu mau lihat aku merokok lagi dengan teman-teman berandalanmu, hah?! Kamu nggak merasa bersalah padaku?!!”
“Terserah! Minggir nggak lu?! Sakit lu!” Zuna tetap tidak bergeming. Haru menstater mesin motornya sampai asap motornya membuat Zuna terbatuk-batuk. Haru membelokkan motornya dan berbalik pergi. Zuna berteriak saat melihat kepergian Haru. Ia mencak-mencak di pinggir jalan.
“HARUUU!!! KAMU HARUS MEMBAYAR ATAS SEMUA PENGORBANANKU! BAGAIMANAPUN CARANYA, KAMU HARUS JADI MILIKKU! HARUS!”
***
Aku tahu bahwa hari ini saatnya kak Haru mencoba keluar dari cangkangnya. Saat bel masuk belum berbunyi, ia duduk di sebelahku. Kursi sebelumnya memang sudah kosong semenjak Zuna pindah di bangku kak Haru. Tetapi sekarang kak Haru malah duduk disebelahku. Aku begitu gugup dibuatnya. Zeno yang duduk di bangku paling depan memberikan pesan dari ekspresi wajahnya. Dia melihat Haru yang terus saja memandangku dengan kepala yang ditopang dengan satu tangan.
‘Ada apa dengan Haru? Kok bisa pindah disana?’ seolah-olah pertanyaan itu terlihat dari wajah Zeno. Aku menggelengkan kepala sembari mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti kenapa kak Haru memilih untuk duduk didekatku. Ternyata berbagai pertanyaan juga terlontar dari benak teman-teman di kelas. Ujang, salah satu teman sekelasku, memberanikan diri untuk bertanya padanya. Semuanya memandang mereka dengan gugup.
“Haru, kok kamu duduk disini?” tanyanya. Haru melihatnya dengan segores senyuman yang tercetak dibibirnya. Sebelumnya ia tidak pernah tersenyum seperti itu padaku maupun semua orang. Tetapi kini dia tampak begitu ramah.
“Kenapa memangnya? Tidak boleh? Eh, Jang, pinjemin kaset pe-es yang itu dong!” dia berdiri dan merangkul Ujang dengan santainya. Bisa dilihat jika Ujang hanya bisa berbicara menanggapinya dengan kikuk. Teman-teman lainnya begitu penasaran dengan kak Haru. Beberapa diantara mereka juga mendekatinya. Aku bisa melihat kak Haru yang berbeda dari apa yang aku lihat sebelumnya. Apakah itu kepribadiannya yang sebenarnya?
Kemudian kak Haru berdiri di depan kelas dan menepuk-nepuk tangannya ke atas. Teman-teman sekelas mulai memperhatikannya. Kak Haru menarik nafas sesaat. Aku pun ikut penasaran apa yang akan dikatakan olehnya.
“Teman-teman, maafkan aku karena selama ini sudah mengacuhkan kalian semua. Aku berharap bisa dekat dengan kalian lagi seperti dulu, baik teman-teman SD dan SMP ku dulu maupun teman-teman yang baru ku kenal di SMA ini. Jadi.. jangan kapok ya berteman denganku!” penjelasan kak Haru diakhiri dengan tepukan dari teman-teman sekelas. Ujang dan teman-teman cowok lainnya langsung merangkul Haru.
“Welcome back, Haru Einstein!!!” seru mereka dengan bersemangat. Aku pun tersenyum melihat pemandangan yang bahagia ini. Reta dan Kusniyah berbalik melihatku dengan mata berbinar-binar.
“Pasti ini berkat Hana! Makasih ya, Han, sudah mengembalikan Haru kami!”
“Iya dong! Berkat adik Haru yang selalu ngintilin kakaknya kemana-mana!”
Wajahku memerah seketika.
“Ah, nggak! Bukan! Itu semua karena kak Haru yang sudah menemukan kebahagiaannya yang sesungguhnya. Kak Haru sudah menyadari betapa berharganya memiliki kalian sebagai temannya.”
Reta dan Kusniyah melihatku dengan tatapan haru.
“Duh, Hana. Kamu membuatku ingin menangis sekarang,” ucap Reta. Aku menepuk-nepuk pundaknya. Lalu mataku beralih pada Zeno yang masih berdiri di depan mejanya. Ia tidak ikut memeluk ataupun berbicara dengan kak Haru. Tetapi dia hanya diam terpaku disana. Aku kira sebagai teman yang paling dekat dengan kak Haru, Zeno akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Aku penasaran apa yang dipikirkan olehnya sekarang.
Kemudian kulihat Zuna masuk ke dalam kelas. Ia tampak bingung dengan kedekatan kak Haru dan teman-temannya. Tak lama kulihat senyuman di bibirnya. Aku tahu kalau Zuna pasti ikut senang melihat kak Haru yang sekarang. Aku ingat betul betapa sedihnya Zuna saat menceritakan kehidupan yang dialami oleh kak Haru setelah kematian ibunya. Zeno dan Zuna menjadi saksi mata atas kelamnya hidup kak Haru. Kulihat Zuna tidak mendatangi kak Haru seperti biasanya, ia langsung duduk di bangkunya. Ia menoleh ke arahku. Spontan aku tersenyum sembari melambaikan tangan padanya. Namun ternyata mimik wajah Zuna berubah ketus lagi. Wajahnya berpaling ke depan tidak mempedulikanku. Sepertinya ia masih memendam amarah kepadaku. Padahal sudah beberapa kali aku meminta maaf padanya. Tetapi ternyata ia membenciku lebih dari yang aku kira. Seperti saran Zeno, mungkin aku akan membiarkannya seperti ini saja sampai hari itu tiba.
***
Sepanjang jam istirahat, kak Haru mengekoriku kemana-mana. Ternyata begini toh rasanya dibuntuti oleh saudara sendiri. Rasanya tidak nyaman sendiri. Apa kak Haru sengaja ya mengekoriku untuk menyadarkanku betapa tidak enaknya diikuti seperti itu. Sementara Reta dan Kusniyah merasa nyaman-nyaman saja diikuti seperti itu. Bahkan mereka membicarakan berbagai hal dengan Haru sampai tergelak seperti itu. Sesampainya di kantin, Reta dan Kusniyah meninggalkan kami berdua duduk di kursi panjang. Kak Haru yang semula duduk di depanku, kini berpindah di sebelahku.
“Kak Haru duduk disana ajah,” ku dorong tubuhnya untuk menjauh. Kak Haru tetap tidak bergeming. Dia menatapku seperti di kelas tadi. Jantungku dag-dig-dug tidak karuan.
“Kenapa? Kalau dibuntuti terus merasa risih kan?”
“Ap.. kakak!!! Aku tahu sekarang! Kak Haru sengaja kan?!” seruku dengan wajah kesal. Kak Haru malah tertawa melihatku yang kesal padanya. Tiba-tiba saja seseorang duduk di depan kami. Rupanya Zeno yang duduk disana. “Eh, Zeno!” kagetku. Zeno membawa semangkok bakso dan segelas es teh.
“Boleh makan disini kan?” tanyanya.
“Sudah duduk, baru nanya, cih,” dumel kak Haru. Aku mencubit lengannya dengan gemas. Kak Haru mengaduh kesakitan.
“Boleh, Zen!” aku menoleh ke arah kak Haru yang sedang menatap Zeno dengan mata elangnya. Aku tidak suka melihatnya begitu. Dengan segera ku usap wajahnya yang menyeramkan itu. Haru menepis tanganku dengan kesal.
“Kenapa sih?!”
“Kak Haru sih lihat Zeno seperti itu!”
“Kamu itu yaa..,”
“Oh ya Han,” potong Zeno tiba-tiba. Zeno mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
“Kemarin aku mampir di pasar terus nemu gantungan kunci yang ada patung mini Sakura-nya. Lucu deh!”
Aku terkejut melihat patung Sakura versi mini di tangannya. Zeno menyerahkannya padaku. Aku pun menyentuhnya dengan gemas. Kami berdua memang sama-sama penggemar serial Naruto. Zeno pun tahu jika aku sangat menyukai karakter Sakura.
“Itu buat kamu, Han,” lanjutnya.
“Hah, beneran?!! Makasih banget, Zeno! Kamu memang yang terbaik!” ucapku dengan senang. Zeno menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Halah, gantungan kunci murahan ajah!” celetukan kak Haru membuatku ingin marah saja. Aku benar-benar kesal dengannya. Saat aku ingin membalas perkataannya, Zeno memanggilku lagi.
“Gelang yang kamu pakai itu kan gelang yang kita beli bareng di mal ya, Han?” tanyanya sembari menunjuk gelang rajut berwarna pink-putih yang aku pakai. Saat aku hendak menjawab, kak Haru menunjukkan gelang yang dipakainya.
“Oh iya, gelang ini juga dibelikan Hana loh! Serasi kan?!” cara kak Haru menanggapi Zeno begitu menyebalkan. Padahal Zeno tanya baik-baik, kenapa kak Haru berbicara dengan ketus padanya. Aku berusaha mendorong kak Haru untuk pergi dari sini.
“Sudah deh, kak. Pergi deh! Aku kapok mengekor pada kakak lagi!” kak Haru malah tergelak. Tetapi dia tidak kunjung pergi. Tanpa disangka Zeno menampik tangan kak Haru yang hendak menyentuhku. Kak Haru dan Zeno menatap satu sama lain. Namun tatapan itu tampak tersimpan kemarahan.
“Haru, sepertinya kamu harus pergi dari sini. Hana ingin kamu pergi,” ucap Zeno dengan mata nyalang.
“Siapa kamu menyuruh aku buat pergi? Pacarnya? Bodikatnya?” desis kak Haru. Aku takut jika akan terjadi perkelahian lagi diantara mereka. Aku pun menyentuh lengan kakak tiriku itu. Kak Haru menoleh kepadaku. Aku pun menggelengkan kepala, berharap agar tidak terjadi pertengkaran di antara mereka. Namun kak Haru langsung bangkit sembari tersenyum. “Oke, oke! Aku nggak bakal ganggu orang pacaran!”
What?! Kenapa kak Haru malah berpikir seperti itu?! Dia langsung berjalan keluar kantin. Aku tidak menyangka jika emosi kak Haru tidak selabil seperti biasanya. Aku merasa tenang sih karena tidak terjadi pertengkaran diantara mereka. Tetapi aku juga tidak senang jika kak Haru menganggap kami berpacaran.
***