Haru merasa ada yang aneh darinya. Tidak henti-hentinya matanya menatap ke arah Hana yang sedang bersenda gurau dengan Zeno, Reta dan Kusniyah. Sejak kejadian di kamar calon bayi itu, Hana sudah tidak menyapanya sama sekali. mengekor seperti biasanya pun tidak lagi dilakukannya. Kini dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman-temannya. Walaupun ada Zuna yang terus saja berbicara padanya, ia masih merasa hampa.
Rasanya Zuna begitu berbeda dengan Hana. Gadis asal Nagoya itu biasanya menceritakan segala apa yang terjadi padanya, apa yang disukainya, dan menertawakan lelucon bodoh. Daripada itu yang lebih penting adalah saat Hana selalu bertanya balik kepada Haru. Haru tahu kalau Hana berharap agar dirinya mau diajak ngobrol dengannya.
Sementara Zuna hanya ingin ceritanya didengar. Ia seperti tidak ingin tahu apa yang dirasakan oleh Haru saat ini.
“Haru, dengar aku ngomong nggak sih?” tanya Zuna. Mata Haru yang semula melihat ke arah sosok Hana, kini berpaling ke tembok. ‘Iish, dia kenapa sih? Sedari tadi tidak mendengarkanku bercerita,” Zuna melihat Hana yang sedang memukul pelan kakaknya sambil tertawa.
‘Paling nggak, Hana sudah tidak lagi mengekor pada Haru. Sekarang perhatian Haru akan menjadi milikku sepenuhnya.’
Hana merasakan seperti ada yang menatapnya dari arah samping. ‘Apakah kak Haru sedang melihatku?’ tanyanya dalam hati. Ia merasa penasaran dan memalingkan wajahnya ke arah dimana Haru duduk. Rupanya Zuna sedang melihatnya dengan senyuman sinis sambil melambaikan tangan ke arahnya. Hana merasa tidak mengenal lagi siapa sebenarnya Zuna. Sudah lama sekali mereka tidak berbicara satu sama lain. Kini Zuna melihatnya dengan ekspresi seperti itu. Hana tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
“Tapi beneran deh, kalau melihat kalian jalan berdua berasa seperti melihat couple ter so sweet!!!” tepukan Reta di pundaknya membuatnya tersadar. Hana kembali memperhatikan teman-temannya berbicara.
“Apa yang membuat kamu bisa beranggapan begitu?” tanya Zeno sembari membersihkan kacamatanya dengan sapu tangan. Reta dan Kusniyah tertawa kecil secara bersamaan.
“Kami pernah loh melihat kalian latihan band bersama di ruangan studio. Kalian terus saja beradu pandang sambil menyanyikan lirik lagu. Aku berasa kalian punya chemistry yang hebat!” Reta mengacungkan kedua jempolnya. Kusniyah yang baru saja menyedot habis minuman boba-nya segera mengangkat tangannya seakan hendak berbicara juga.
“Apalagi kalau melihat kalian saat kita belajar bersama di dalam kelas. Cara Zeno berbicara dengan Hana tuh lembut banget. Pasti kamu nggak sadar, Zen, saat dengan Hana kamu nyambung banget membicarakan topik dengannya. Matamu terlihat begitu bersinar. Rasanya jadi ter-ZeNa-ZeNa!” serunya memejamkan mata sembari menggenggam kedua tangannya. Hana bingung dengan perkataan terakhir Kusniyah.
“Ter-ZeNa-ZeNa? Itu apa?” Reta dan Kusniyah langsung ngakak melihat Hana yang melongo. Zeno mengenakan kacamatanya kembali dan menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.
“Rasanya semakin jatuh hati dengan pasangan Zeno dan Hana!!!!” seru Reta sambil mencubit kedua pipi Hana dengan gemas.
“Aah, jangan cubit dedek manisku. Sini aku peluk!” Kusniyah langsung memeluk Hana yang membalas memeluknya. Reta yang menunjukkan wajah cemberutnya, segera memeluk keduanya juga dengan erat. “Duh, nggak bisa nafas nih! Bau ketekmu, Reta! Waduh!”
Zeno merasa senang melihat kerukunan Hana dan teman-temannya. Dia tahu jika Zuna dan Hana masih memiliki konflik. Tetapi dia menghormati keputusan Hana untuk mencoba menyelesaikannya sendiri. Sifat Hana sepeti itulah yang membuat Zeno semakin kagum adanya. Zeno mengingat kembali bagaimana anggapan Reta dan Kusniyah tentangnya dan Hana.
‘Ternyata aku melihat Hana dengan pandangan yang seperti itu. Akhir-akhir ini aku juga merasa kalau seringkali diriku berdebar saat bersentuhan tangan atau berdekatan dengannya begini. Topik obrolan kita juga nyambung banget! Aku juga merasa bahagia kalau Hana pun bahagia. Apa jangan-jangan aku..,’ sesaat wajah Zeno memerah. Dia mulai menyadari perasaannya pada Hana. Dia mulai mengetahui bahwa perasaan kagumnya telah berubah menjadi cinta.
***
Waktu sudah menunjukkan jam setengah empat sore. Aku segera memilih baju apa yang akan kupakai untuk pergi bersama dengan Zeno. Tadi siang Zeno mengajakku pergi bersamanya ke toko buku di mal. Ia berencana ingin mencari buku menulis blog untuk pemula. Rasanya dia bersemangat sekali untuk menjadi penulis blog. Aku turut senang bahwa Zeno telah menemukan hobi yang disukainya selain mengajar dan bermain musik.
Setelah bersiap-siap, diriku mematut diri di cermin kembali. Memakai topi schoolboy hat berwarna merah marun ditambah pakaian cut-out knit berwarna merah dipadu dengan celana jeans membuatku terlihat keren. Sangat disayangkan poni rambutku tidak terlihat. Ah, tidak apa! Hal yang terpenting adalah tampil rapi.
“Hana, Zeno sudah menunggumu di ruang tamu!” terdengar suara teriakan papa dari lantai bawah. Aku pun segera bergegas keluar kamar. Namun langkahku terhentikan saat melihat kak Haru sedang menyandarkan diri di samping sudut pintu. Dia melihatku dengan tatapan yang aneh. Aku memang selalu ingin mengerti kenapa dan ada apa dengan dirinya. Tetapi kali ini tidak lagi. Kak Haru sudah sangat keterlaluan! Kuabaikan kehadirannya dan aku segera menuruni tangga tanpa berbalik melihatnya. Saat melihat kehadiran Zeno, aku mencoba untuk tersenyum.
“Maaf, Zen, kamu pasti menunggu lama,” kataku. Zeno melihatku tanpa berkedip. Aku menjadi agak salah tingkah.
“Kenapa?” tanyaku.
“Ka.. kamu.. hari ini cantik banget! Eh, maksudku Hana yang sekarang modis sekali ya!” aku tidak menyangka jika Zeno yang biasanya tenang juga menjadi salah tingkah begini. Terdengar suara tawa kecil papa dan mama. Aku berbalik melihat papa yang berdeham dan membaca koran kembali. Sementara mama kembali merajut. Aku melihat Zeno kembali. Seperti ada yang beda darinya. Rambutnya yang lurus berponi diubah menjadi model preppy cut. Dia juga tidak mengenakan kacamatanya lagi.
“Makasih. Kamu juga kelihatan keren. Dimana kacamatamu? Apa kamu lupa?”
“Oh, nggak. Aku sengaja meninggalkannya karena ingin mencoba menggunakan softlens.”
“Owh, makanya kamu kelihatan beda hari ini!” kataku terkagum-kagum melihat penampilan barunya. Aku tidak menyangka jika Zeno bisa dandan juga. Aku merasa penasaran apakah dia dandan sendiri ataukah dibantu dengan bibi Her dan Zuna? Membanyangkannya saja lucu sekali. Zeno semakin terlihat imut di mataku.
“Ayo kita berangkat sekarang. Om, tante, kami berangkat dulu,” aku mengikuti Zeno yang menyalami papa dan mama duluan.
‘Zeno sopan sekali,’ pikirku.
Saat keluar rumah, aku terkejut saat melihat motor bebek yang terparkir di depan halaman.
“Zen, bukannya motornya dipakai oleh ayah kamu untuk kerja ya? Om Hermawan sudah pulang ke rumah?” tanyaku bingung. Zeno menaiki motor itu dan mengenakan helm.
“Ayahku belum pulang. Motor ini aku pinjam dari Eldo. Aku ingin kita pergi dengan nyaman. Nih!” Zeno memberikan helm padaku. Aku mengenakan helm darinya.
“Tapi kan tidak apa-apa kalau kita naik angkutan umum seperti biasanya,” kataku sambil menaiki motor. Entah kenapa aku seperti merasakan kehadiran kak Haru. Aku segera melihat ke atas jendela. Kak Haru sedang melihatku dengan tirai terbuka. Saat menyadari jika aku sedang melihatnya, ia segera menutup tirai jendelanya.
“Sudah siap?” aku menganggukkan kepala dengan wajah tertunduk. Zeno mulai menjalankan motornya. Di tengah perjalanan aku tidak terlalu memahami dan membalas obrolan Zeno. Kepalaku dipenuhi dengan kak Haru. Kenapa dia menatapku dengan wajah sedih seperti itu? Ekspresinya agak aneh saat melihatku. Tetapi dia juga tidak mengatakan apa-apa padaku. Apa yang dirasakannya saat ini? “Hana, kamu lagi melamun ya?” tanya Zeno agak lantang.
“Oh, emm.. iya, sedikit. Aku sedang berpikir ini baru pertama kalinya aku bertengkar dengan seseorang. Bertengkar dengan teman sendiri dan kakak juga..,”
“Apa yang kamu rasakan tentang pertengkaran itu?”
Aku berpikir sejenak.
“Sedih dan kesal sendiri kan?” tanpa sadar aku mengiyakannya. Kudengar Zeno tertawa kecil. “Sudah kuduga itu yang kamu rasakan. Semua orang pasti juga mengalami fase itu. Jalan keluarnya dengan meredakan ego diri kita sendiri dan meminta maaf padanya. Mengalah untuk meminta maaf duluan itu berarti memiliki niat baik demi menghubungkan kembali tali persaudaraan yang terputus.”
Aku memikirkan perkataannya dalam-dalam. Memang benar kak Zeno patut disalahkan karena sudah menyumpahi calon adik bayi kita. Tetapi aku juga salah karena sudah meneriakinya. Apakah mungkin aku harus meminta maaf padanya?
“Tetapi kalau masalahnya temannya nggak mau memaafkan, itu beda cerita. Bersikap biasa saja padanya dan tunggu pada masanya dia akan merasa malu sendiri padamu. Mungkin saja suatu hari nanti kalian akan dekat dan berbicara seperti dulu lagi.”
‘Glek! Apa Zeno tahu ya kalau permasalahan aku dan Zuna masih belum selesai?’ tebakku. Aku akui Zeno itu cowok yang baik, ramah dan paling peka. Dia selalu membuat aku merasa nyaman di dekatnya. Dia juga tidak segan membantuku untuk memberikan jalan keluar di setiap permasalahan yang aku hadapi. Dia memang teman yang sangat baik. Zuna beruntung sekali memiliki kakak seperti dirinya.
“Nah, sudah sampai. Ayo, turun, Han,” aku segera turun dari motor. Rupanya kami sudah tiba di parkir motor. Setelah memarkir motornya, Zeno berjalan duluan. Aku segera mengikutinya dari belakang. Lalu dia berbalik sembari menahan tawa. “Kenapa kamu malah jalan dibelakangku? Ayo!” Zeno menengadahkan tangannya padaku. Jantungku agak berdebar. Namun aku segera menepis perasaan sesaat itu. Dengan ragu, aku menerima uluran tangannya. Zeno tersenyum padaku dan menggandengku hingga masuk ke dalam mal.
***
Adiguna sedang menyesap kopinya dengan nikmat. Matanya tidak lepas dari variety show yang ada di televisi. Sedangkan Nobuko sudah berhenti merajut dan melirik ke arah jam dinding. Dia menghitung sudah berapa jam kepergian anaknya. Sebenarnya dia tidak khawatir sama sekali kepada Hana karena ia merasa kalau Zeno pasti akan menjaganya dengan baik. Nobuko mulai memahami bahwa kehidupan yang dijalani oleh anaknya kian membaik. Dia memiliki seorang papa yang menyayanginya dan teman-teman yang baik padanya. Nobuko berharap kalau Zeno bisa menjadi cinta pertama anaknya. Mereka akan terlihat seperti pasangan yang serasi.
“Hana sering sekali pergi bersama dengan Zeno ya, pa?” Nobuko mulai membuka pembicaraan tentang anaknya dan Zeno. Adiguna menganggukkan kepala sambil menyesap kopinya lagi. “Kayaknya mereka tuh lagi pendekatan deh, pa.”
Adiguna langsung terbatuk-batuk begitu mendengar perkataan istrinya. Dia meletakkan gelas koi tersebut di atas meja. Adiguna hampir tidak percaya jika Nobuko berpikir ke arah sana. Pasalnya, Hana dan Zeno sudah seperti saudara. Mereka selalu belajar dan pergi bersama. Keduanya juga rukun, tidak pernah bertengkar. Memang sih saat Hana turun dari tangga tadi, mata Zeno tidak lepas memandang putrinya. Tetapi ia tidak pernah berpikir jika anak tirinya itu akan berpacaran dengan Zeno.
“Mama tahu dari mana? Toh, Hana kelihatan biasa-biasa ajah.”
“Papa gimana sih? Tadi nggak lihat kalau Zeno terpesona dengan kehadiran Hana. Mereka seperti ada apa-apanya. Mama yakin sebentar lagi mereka akan resmi berpacaran.”
“Hahaha.. mama seperti peramal saja,” Adiguna tergelak dengan keyakinan istrinya. Kalaupun itu terjadi, rasanya tidak akan menjadi masalah. Toh, orang tua Zeno juga berteman baik dengan dirinya. Zeno juga dikenal sebagai siswa yang teladan dan sangat sopan. ‘Dia pasti bisa menjaga putriku dengan baik,’ pikir Adiguna sembari tersenyum.
“Eh, Haru. Sudah selesai makan ya?”
Adiguna agak terkejut mendengar Nobuko memanggil nama anak pertamanya. Dia langsung melihat ke arah Haru yang baru saja menuruni tangga sambil membawa nampan berisi piring yang kosong. Diam-diam Nobuko merasa kagum pada anak tirinya itu. Sejak hari pertama dia datang, Haru tidak pernah makan bersama dengan keluarganya. Nobuko pun berinisiatif untuk memberikan makanan dengan nampan dan diletakkan di depan kamar Haru. Ternyata Haru menerima makan pemberiannya dan mencucinya sendiri setelah makan. Haru yang terlihat cuek sekalipun tetap menjaga kebersihan. Nobuko tahu kalau Haru akan mencuci piringnya. Makanya dia menyiapkan pertanyaan dengan harapan Haru akan menanggapinya.
“Ya,” jawabnya. Setelah berkata seperti itu, Haru pergi ke dapur. Ia mencuci piringnya disana. Nobuko masih tidak percaya kalau Haru menjawab pertanyaannya. Walaupun hanya sebatas kata ‘ya’. Namun hal itu sangat berarti baginya. Setelah mencuci piring, Haru hendak menaiki tangga. Nobuko memanggilnya lagi.
“Mau makan melon? Nanti akan mama bawakan ke lantai atas.”
“Tidak, terima kasih.”
Setelah Haru menaiki tangga dan memasuki kamarnya, Nobuko masih terpaku dengan mata berkaca-kaca. Adiguna juga menyadari hal itu. Ia juga tidak menyangka jika anaknya mulai menanggapi keberadaan ibu tirinya. Dia meletakkan remot tivinya di atas meja dan segera memeluk istrinya yang kemudian menangis sesenggukkan.
“Apa aku boleh merasa sebahagia ini, pa?” ucap Nobuko sembari sesenggukkan. Adiguna mencoba menenangkannya. Ia juga merasa bahagia setelah melihat Haru yang muai terbuka dengan keluarga barunya.
***
Sesampainya di rumah, aku menyalami papa dan mama yang sedang menonton televisi bersama. Aku merasa senang karena tadi menemukan gelang rajut yang sangat lucu. Aku membelinya untukku dan kak Haru. Gelang milikku berwarna merah muda dan putih. Sementara gelang milik kak Haru berwana ungu tua dan merah bata. Pasti cocok sekali kalau dikenakan oleh kak Haru.
Aku menaiki tangga sembari bersenandung. Aku berniat meminta maaf padanya dan memberikan hadiah ini untuknya. Tak disangka aku malah menemukan kak Haru berdiri sambil bersandar di pintunya seperti tadi. Aku bertanya-tanya apakah sedari tadi dia menungguku?
“Kak Haru. Aku minta maaf karena kemarin sudah membentak kakak. Tapi kakak harus janji tidak boleh berkata seperti itu lagi ya,” ucapku tulus. Ekspresinya yang begitu rumit, kini berubah seperti merasa lega. Aku pun tersenyum karena ternyata saran dari Zeno begitu membantu hubunganku dengan kak Haru. Aku hanya tinggal menyerahkan gelang pemberianku ini. Dia pasti akan merasa senang. Saat aku hendak merogoh saku celana, tiba-tiba kak Haru menarikku ke dalam pelukannya. Dengam masih terkejut, aku berusaha melepaskan pelukan darinya. Namun ia tidak melepaskan pelukannya. Dadaku kian berdebar-debar. Aku tidak tahu kenapa kak Haru memelukku seperti ini?
“Aku janji tidak akan mengatakannya lagi. tapi kamu juga harus janji untuk menjauhi Zeno,” perkataan kak Haru membuatku begitu sulit untuk memahaminya. Kenapa kak Haru menyuruhku untuk menjauhi Zeno? Atas dasar apa dia menyuruhku untuk menjauhi temanku yang pada dasarnya juga pernah menjadi teman terdekatnya?
Aku segera melepas paksa pelukan darinya. Aku benar-benar tidak mengerti akan dirinya. Aku tidak menyangka setelah memelukku dia malah berkata seperti itu. Aku benar-benar benci pada kak Haru!
“Tidak! Aku tidak akan menelan janji itu begitu saja! Lagipula Zeno itu temanku! Teman kak Haru juga! Kenapa kakak malah menyuruhku untuk menjauhinya?!” aku begitu ingin tahu kenapa kak Haru memintaku berjanji padanya untuk menjauhi Zeno. Aku ingin mendengar kak Haru menjelaskannya padaku. Apa maksud dari perkataannya dan apa arti dari pelukannya tadi.
Namun tidak kusangka, kak Haru malah melempar sapu tangan di wajahku. Sapu tangan berwarna merah muda itu terjatuh di lantai. Aku pun menyadari bahwa sapu tangan itu milikku dan segera mengambilnya.
“Sudah ku cuci. Thanks!” aku benar-benar merasa kesal dengan kak Haru. Dia malah berbalik begitu saja seakan-akan masalah diantara kami telah selesai. Ku ambil gelang yang tadi ku beli untuknya dan ku lempar hingga mengenai punggungnya.
“Itu untuk kakak. Pakai kalau suka. Kalau nggak suka, buang saja!” kataku acuh. Dia pun berbalik dan melihat gelang yang sudah berada di lantai. Aku sudah tidak mempedulikannya lagi. dengan segera ku tutup pintu kamar dengan kasar. Aku benar-benar kesal dengan kak Haru! Aku benci karena harus selalu merasa panas-dingin didekatnya. Dengans seenaknya merasuki hatiku dan membuatnya berdebar. Dasar kak Haru bodoh!
***