DALAM perjalanan ke rumah bersama Dinda. Ryo teringat kembali kata-kata yang diucapkan Richard beberapa hari lalu. Kalau suka jangan ngelak.
Bukannya mengelak, Ryo sendiri tidak mengerti sekarang ini dia kenapa. Marah? Marah pada siapa? Dinda dan Levi hanya ngobrol karena mereka saling kenal. Apa salahnya? Lagipula ini bukan pertama kalinya Dinda ngobrol dengan pria lain. Olon contohnya, tadi sebelum mereka pulang, Olon sempat menarik Dinda dulu. Mereka menyingkir dan ngobrol sesuatu yang Ryo tidak tahu apa. Tapi, Ryo tidak merasakan apa-apa. Kenapa dengan Levi berbeda? Cemburu pada Levi?
Tangan Dinda menepuk-nepuk bahu Ryo. Dia tidak sadar, sejak tadi Dinda memanggil-manggil namanya dari boncengan sepeda. "RYO?!" teriak Dinda sambil mencubit bahu cowok itu.
Ryo menghentikan kayuhannya tiba-tiba. "Aduh, Dinda! Sakit!"
"Makanya kalau dipanggil itu nyahut! Kamu kenapa, sih?" Dinda sudah turun dari boncengan dan berdiri di hadapan Ryo.
Ryo terdiam. Dia bingung harus berkata apa ke Dinda.
"Kamu kenapa? Sakit?"
Tangan Dinda berusaha meraih pelipis Ryo. Sigap, cowok itu langsung menangkapnya. "Eh, enggak kok."
"Terus?"
Ryo terdiam lagi. Dia menatap Dinda tepat ke mata gadis itu. Sesaat, dia akan mengatakan sesuatu, tapi urung. "Aku lagi ada pikiran aja."
"Mikirin apa? Enggak biasanya kamu kayak gini."
"Itu ... enggak penting. Kita pulang aja, yuk." Ryo mengarahkan Dinda untuk kembali duduk di boncengan sepeda dengan menepuk dua kali bantalan empuk di belakangnya itu.
"Enggak penting, tapi cukup untuk kamu ninggalin latihan basket dan ngelamun saat ngayuh sepeda sampe kita kelewatan dua blok." Dinda tersenyum sinis dan menggerakkan kepalanya ke salah satu penanda jalan yang ada di sana. "Tuh, lihat."
Ryo melirik ke tempat yang ditunjukkan oleh sahabatnya itu. Dia kemudian meringis. Tangannya lalu bergerak menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Well, kurasa manusia juga bisa salah?"
Di depan Ryo, Dinda terdiam. Cewek itu menarik napas dalam kemudian menyenderkan dirinya ke salah satu tembok rumah yang ada di sana. "Ada apa?" katanya kemudian.
Ryo menyerah. Dia pinggirkan sepedanya kemudian berjongkok di sebelah Dinda. "Enggak ada apa-apa. Cuma kepikiran sesuatu yang remeh."
"Kalau sesuatu itu cukup remeh, kenapa kamu ragu untuk cerita?"
Ryo terdiam lagi. Gue kenapa, sih?
"Ya udah kalau belum mau cerita." Dinda bergerak ke arah sepeda mereka yang terparkir di samping Ryo.
Tangan Ryo menahan Dinda. "Bentar." Ryo menarik napas dan kemudian berkata, "Aku ngerasa aneh." There, I said it.
"Aneh karena?"
"Semua hal tentang pacaran yang belakangan ini kita dengar, kayaknya ngeganggu pikiranku." Ryo tidak punya pilihan lain selain menceritakan ini semua.
"Terus, masalahnya apa?" tanya Dinda dengan bingung. "Ini bukan pertama kalinya kita dibilang pacaran."
Levi. Masalahnya Levi, Dinda. "Ugh, aku enggak tahu."
"Sebenarnya, apa yang ngeganggu kamu?"
Kalau suka jangan ngelak, Yo. "Aku ... bingung."
"Karena?"
Ryo menatap Dinda dengan seksama. "Aku suka sama kamu, Dinda."
Dinda terhenyak. Tangannya yang tadi sempat akan menyentuh bahu Ryo tertahan di udara. "Maksud kamu gimana?"
"Aku enggak tau. Aku suka sama kamu, tapi aku enggak tahu perasaan suka aku ke kamu itu gimana."
Dinda terdiam. Dari matanya, Ryo bisa melihat Dinda yang kaget, bingung, dan mencoba menghindar dari pandangan mata Ryo.
Ryo terpekur. Dia tahu akhirnya akan jadi begini. Lebih baik tadi dia tidak mengatakan apapun pada Dinda. "Lupain aja apa yang ...."
"Aku juga bingung," potong Dinda membuat Ryo menatapnya. Dengan tenang Dinda melanjutkan, "Emangnya perasaan kamu gimana?"
Ryo menghela napasnya lalu menggeleng. "Menurutmu? Kalau tahu aku bakal kayak gini?"
"Apa yang berubah? Sampai kamu jadi mikir kayak gini?"
"Entah." Ryo menatap Dinda dalam kemudian melanjutkan lagi, "Mungkin Levi."
"Levi? Kak Levi?"
Ryo mengangguk.
"Ada apa dengan kak Levi?"
"Aku juga enggak ngerti!" Ryo meremas rambutnya sendiri. Bagaimana caranya menjelaskan ke Dinda sedangkan dia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. "Tadi, waktu ngelihat kamu jalan sama Kak Levi aku ...." Ryo tidak melanjutkan kalimatnya.
Dinda mendengarkan dengan serius. "Kamu?"
"Agh ... udah, lupakan aja. Anggap aja aku lagi aneh hari ini."
Dinda menghela napasnya. "Ya udah, kalau kamu ngerasa lebih baik pulang sekarang."
Ryo berdiri lalu menahan tangan Dinda. "Nanti, setelah aku tahu apa yang terjadi, kamu ... mau dengerin, kan?"
Dinda terdiam. Ia menatap mata Ryo. Untuk sesaat, tidak ada di antara mereka yang bersuara. Mungkin hanya suara angin yang berhembus. Mata mereka saling berbicara, entah apa. Sedetik, Ryo melihat Dinda mengangguk. Itu sudah cukup untuk menenangkannya sementara waktu.
"Kita pulang?" Dinda akhirnya memecah keheningan dengan terlebih dahulu mengalihkan pandangannya.
Ryo tidak menjawab. Dia bergerak ke arah sepedanya dan menunggu Dinda naik ke boncengan.
* * *
Sesampainya di rumah, Dinda menghempaskan tubuhnya ke kasur. Matanya melayang ke langit-langit kamar. Ryo benar. Ada yang berubah dan Ryo tidak sendirian merasakannya. Semua obrolan tentang pacaran yang diucapkan teman-temannya mengganggunya. Sangat mengganggunya.
"Aku suka sama kamu, Dinda."
Dinda teringat betapa tersentaknya dia tadi saat mendengar kalimat itu. Sedetik pikirannya melayang entah ke mana. Dia menatap Ryo untuk mencari entah apa. Dinda sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan? Suka? Pada Ryo? Rasanya dengan kebersamaan mereka selama ini, tidak mungkin Dinda tidak menyukai Ryo. Tapi, suka seperti apa?
"Ini bukan pertama kalinya kami dibilang pacaran. Kenapa kali ini jadi masalah, sih?" Dinda menghela napasnya. Dia kemudian duduk di pinggir kasur, menatap ke meja belajarnya. Di sana, ada foto Dinda dan Ryo sedang menanam pohon mangga. Dinda tersenyum. Orang tua Dinda yang mengambil foto itu ketika mereka sedang sibuk menggali tanah.
"Bersahabat selamanya, huh? Can we?"
Terbersit keraguan yang muncul dalam suara Dinda. Ia tersenyum miring lalu mengambil baju ganti dari lemari.
"Mungkin," ucapnya sebelum masuk ke kamar mandi.
* * *
Di tempat lain, di kamar seberang, Ryo kini tengah mondar-mandir. Perasaannya campur aduk saat ini. Dinda sudah tahu perasaannya. Paling tidak, gadis itu tahu kalau Ryo menyukai Dinda. Dan tadi, begitu mendengar kalimat itu, Dinda tidak bereaksi apa-apa.
Sungguh, bagi Ryo saat ini, mengetahui isi kepala gadis itu adalah yang terpenting. Kalau bisa membedah kepala gadis itu sekarang untuk tahu apa yang dia pikirkan, Ryo akan melakukannya.
"Agh ...." Setengah berteriak Ryo bergerak ke balkon kamarnya. Di depannya, jendela kamar Dinda sudah tertutup rapat. Gorden yang biasanya masih terbuka dan lampu yang masih menyala kini berbeda.
Ryo mengempaskan dirinya ke sofa kecil di balkon kamarnya, tempat dia biasanya membaca buku bersama Dinda. "Apa yang sedang aku pikirkan, sih?"
Kepalanya menatap langit. Udara malam membuat otaknya kembali tenang. Pikirannya jauh melayang ke masa saat mereka masih kecil. Pacaran, huh? Sejak kapan itu jadi prioritas di antara kami?
* **