Menunggu Dira bangun dari tidurnya, tidak membuat Marvin bosan. Dia senantiasa memperhatikan wajah Dira yang sudah lama tak dapat dia lihat seakan mengganti waktunya yang terbuang selama ini. "Gue bingung, kenapa bisa sekhawatir ini sama lo," cicit Marvin pelan sembari menyadarkan tubuhnya.
Agaknya dia letih sekarang. Tapi, enggan untuk beristirahat. Dia mau melihat reaksi Dira ketika baru bangun tidur.
Ketika menunggu, tiba-tiba pintu kamar Dira terbuka dan Fani terlihat masuk ke dalam kamar tersebut. Marvin segera bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Fani yang langsung duduk di sofa yang jaraknya tak jauh dari kasur Dira, biasanya tempat itu digunakan untuk orang-orang yang akan menjenguk.
"Saya boleh nanya sesuatu, Bu?" tanya Marvin setelah duduk di sisi Fani yang tengah sibuk membuka isi kresek yang sebelumnya dia bawa.
"Iya, boleh. Mau nanya apa?" tanya balik Fani tanpa menatap ke arah Marvin.
Sebelum kembali berbicara, Marvin terlihat sedikit ragu mengungkapkan apa yang tengah dia pikirkan. Dia sebenarnya agak takut mendengar jawaban Fani. Namun, dia harus bertanya sekarang juga.
"Kalau boleh tau, Dira sakit apa ya, Tan? Kenapa ada bekas lebam di lehernya? Terus, ada luka juga di bibirnya?"
Pertanyaan Marvin membuat gerakan Fani terhenti, walau hanya sebentar lalu perempuan itu kembali bersikap normal. Sama seperti sebelumnya, dia menjawab tanpa menatap wajah lawan bicaranya.
"Dia cuman kelelahan kok, kamu nggak usah khawatir."
Walau sudah dijelaskan, hati Marvin menolak jawaban Fani. Lebam di leher Dira begitu jelas tercetak dan pasti penyebabnya adalah orang lain. Begitupun bibir Dira, tidak mungkin perempuan itu mau melukai dirinya sendiri.
"Tan, kita cuman berdua kok di sini. Tolong jujur ke saya, saya tau kok kalau Dira nggak cuman kecapekan."
Fani kembali terdiam. Namun kini, wajahnya menoleh untuk menatap Marvin. Mata keduanya bertemu dan tiba-tiba Fani meneteskan air mata. Dia tidak bisa menahan dirinya sekarang sehingga menjelaskan semuanya pada Marvin.
Setelah mendengar penjelasan Fani, amarah Marvin meluap. Rahangnya mengeras karena menahan kekesalannya pada Bagas. Dia sudah pernah memperingatkan pria itu agar tidak menggangu Dira. Namun, ternyata dia langgar. Oke, lo main-main sama gue, Gas!
Di tengah kekesalannya, tiba-tiba suara erangan Dira terdengar. Marvin segera bangkit dari duduknya dan bergegas pergi ke arah kasur Dira. "Kenapa, Dir?" tanya Marvin dengan penuh khawatir.
"Kak Marvin," cicit Dira pelan dengan mata sayunya. Suara perempuan itu terdengar begitu lemah tanpa tenaga yang membuat Marvin ikut merasa sedih.
"Kok kakak ada di sini?" tanya Dira lagi yang membuat Marvin tersenyum ke arahnya.
Sebelum menjawab, Marvin mengelus lembut kepala Dira yang dipenuhi rambut kecokelatan. "Emang nggak boleh, gue jengukin lo?"
Dira menggeleng pelan dengan sisa tenaga yang dia miliki guna menolak apa yang dipikirkan Marvin. "Nggak kok, Kak. Bukan gitu maksud aku."
Lagi-lagi Marvin tersenyum karena tingkah Dira. Menurutnya perempuan itu sangatlah mengemaskan walau tengah sakit seperti ini. "Gue becanda kok, gimana keadaan lo? Udah enakan?"
Dira mengangguk pelan sebagai jawaban, kerongkongannya begitu kering dan butuh air untuk membasahinya. "Bu, aku mau minum," pinta Dira yang membuat sang ibu ingin berdiri. Namun, Marvin mencegahnya.
"Nggak usah berdiri, Tan. Biar saya yang ambilin."
Marvin melangkah pergi mengambil segelas air minum untuk Dira. Namun ketika berjalan kembali ke kasur Dira, ucapan Fani membuat langkahnya terhenti. "Pake sedotan, Nak. Dira belum bisa duduk."
Marvin kembali ke tempat sebelumnya untuk mengambil sedotan sesuai apa yang Fani katakan.
Dengan telaten, Marvin memberikan air untuk Dira. Menahan sedotannya agar tidak jatuh dan setelahnya kembali menaruh gelas berisi air putih itu ke atas meja di sisi kasur Dira.
Kembali duduk di tempat sebelumnya, Marvin mencoba untuk mengajak Dira berbincang. Walau perempuan itu hanya menanggapi seadanya. Namun, Marvin tetap senang karena bisa bersama dengan Dira lagi.
Karena terlalu asyik berbincang, Dira cukup terkejut saat melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul 11 malam dan Marvin masih bersamanya di rumah sakit. Ibunya, Fani sudah tertidur di sofa meninggalkan keduanya bersama.
"Hmm, udah jam 11 loh, Kak. Kakak nggak balik?" tanya Dira dengan hati-hati, dia takut menyakiti perasaan Marvin dan pria itu akan mengira jika Dira mengusirnya padahal tidak.
"Nggak ah, gue mau nginep di sini aja," jawab Marvin santai sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
"Tapi, Kan. Kakak harus sekolah besok," ucap Dira lagi. Dia tidak mau menjadi alasan Marvin absen sekolah apalagi dia akan segera lulus.
Marvin menghela napas sebelum membalas ucapan Dira. Ucapan perempuan itu benar adanya, dia harus sekolah besok dan ada Fani yang menjaga perempuan itu walau Marvin tidak ada.
Dengan berat hati, Marvin bangun dari duduknya dan berniat untuk pulang. Namun sebelum itu, dia mengusap kembali pipi Dira dengan pelan. "Ya udah, gue balik ya. Besok gue ke sini lagi. Lo mau titip sesuatu nggak?" tanya Marvin yang membuat Dira harus berpikir keras.
"Kayanya nggak ada deh, Kak. Aku cuman pengen titip salam buat Santi, pasti dia khawatir sama keadaan aku."
"Ya udah kalau gitu, entar gue sampein."
Sebelum benar-benar pergi, Marvin mencium kening Dira yang membuat perempuan itu sangat terkejut. Berbeda dengan sikap Dira, Marvin malah tersenyum manis dan melambaikan tangannya sebelum akhirnya menghilang pergi dari ruang rawat Dira.
Saat sudah di luar, Marvin mengeluarkan ponsel dari saku celana sekolahnya. Setelah mengetik beberapa huruf, pria itu segera mendekatkan ponselnya ke telinga. "Lo dimana sekarang! Gue perlu bicara sama lo!" ucap Marvin sembari melangkah ke parkiran.
Setelah panggilan tersebut mati, Marvin menyalakan motornya dan pergi dari rumah sakit untuk menemui Bagas. Iya, Bagas.
Sesuai kesepakatan, Marvin dan Bagas bertemu di jalanan yang cukup sepi. Motor keduanya saling berhadapan dan mereka langsung turun dari motor masing-masing.
Sembari mendekat, Marvin membuka helm yang dia gunakan dan melemparnya ke arah Bagas. Untungnya pria itu dapat menghindar sehingga tidak langsung mengenai bagian tubuhnya. "Anjing ya lo, bisa-bisanya lo lecehin Dira!"
"Gue nggak maksud buat lecehin dia!" bela Bagas dengan cepat. Namun, Marvin enggan percaya. Pria itu langsung memukul Bagas dan keduanya berakhir perkelahian.
Setelah nyaris satu jam berkelahi, beberapa pria paruh baya datang untuk melerai mereka. "Hei! Berenti! Berenti!"
Keduanya pun berhenti setelah dijauhkan oleh para pria paruh baya yang melihat mereka. Kondisi tubuh mereka sudah dipenuhi luka. Namun, keduanya masih terus melontarkan makian satu sama lain. "Anjing lo! Biadab!"
"Kaya lo nggak aja, anjing!"
"Sudah, sudah. Kalian kalau gini terus, saya laporin ke polisi ya!" ancam salah satu pria paruh baya itu yang sepertinya cukup berpengaruh. Seperti ketua RT atau juga tokoh masyarakat di dekat situ.
"Sekarang, kalian ikut kami!"
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?