Beberapa hari kemudian, Dira mendapat sebuah pesan di grup ekskul PMR. Pesan tersebut memberitahukan bahwa mereka memiliki jadwal rapat sepulang sekolah nanti dan wajib dihadiri oleh semua anggota ekskul PMR tanpa terkecuali.
Membaca pesan tersebut, Dira bertanya-tanya apa yang terjadi karena sebelumnya tidak ada hal yang mengganggu bahkan mereka tidak memiliki kegiatan penting dalam beberapa minggu ini.
"Hei, kamu nggak pa-pa?" tanya Santi sembari memukul pelan bahu Dira. Perempuan itu sedikit khawatir saat melihat teman sebangkunya tengah melamun, sehingga memutuskan untuk menegurnya.
Dira menoleh sekilas dan setelahnya kembali fokus membaca beberapa pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Berusaha agar Santi tidak berpikir buruk. "Nggak pa-pa kok."
Saat istirahat, Dira dan Santi memutuskan untuk pergi ke toilet sebelum ke kantin. Santi yang tengah datang ingin memeriksa pembalutnya, dia takut jika pembalut yang dia gunakan bergeser dan akan membuat bekas di rok sekolahnya.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya salah satu bilik terbuka. Santi keluar sembari memperbaiki roknya.
"Udah?" tanya Dira yang tengah bersender pada meja tempat cuci tangan.
Wajah Santi terangkat dan mengangguk pelan. "Udah."
Keduanya keluar dari toilet dan tak sengaja bertemu dengan Bagas, ketua ekskul PMR. Mata Bagas dan Dira bertemu tanpa sengaja. Hanya sebentar, lalu Bagas pergi meninggalkan kedua perempuan itu tanpa sapaan.
"Kenapa tuh Kak Bagas? Biasanya ramah sama kita-kita," ucap Santi pelan. Mata perempuan itu mengikuti arah Bagas pergi, masuk ke dalam toilet pria.
"Udahlah, nggak usah dipikirin. Mungkin Kak Bagas lagi ada masalah."
Sampai sekarang, Dira belum juga menceritakan tentang kejadian waktu itu. Saat Bagas tiba-tiba mengungkungnya dan membuat bekas trauma di benak Dira.
Dengan sedikit tarikan, Dira membawa Santi untuk kembali melangkah pergi ke kantin. Untungnya ada satu meja yang kosong dan Dira segera duduk di sana.
Kali ini, Santi yang bertugas untuk membeli makanan. Dira akan menjaga meja mereka agar tidak diambil oleh orang lain.
Ketika menunggu Santi kembali, Dira memasang sebuah earphone ke telinganya dan asyik memperhatikan sekitar.
Dari belakang, Marvin memanggil Dira. Namun, tak kunjung dijawab. Pria itu kemudian mendekat dan memegang kedua pundak Dira dari belakang.
Dengan cepat Dira menoleh, menatap pria yang kini tengah tersenyum ke arahnya.
"Eh, Kak Marvin," ucap Dira sembari membuka earphone yang dia gunakan. Melihat hal itu, Marvin langsung paham kenapa Dira tidak menoleh saat dipanggil olehnya.
"Pantesan lo nggak jawab panggilan gue, lo pake earphone?"
Dira mengangguk pelan tanpa rasa bersalah padahal Marvin sedari tadi memanggilnya berulang kali.
"Makanan sudah datang."
Santi datang dengan sebuah nampan berisikan dua mangkuk bakso, pesanannya dan Dira. Seperti biasa, Dira memesan bakso dengan hanya bihun tanpa mie kuning dan sayur. Semua pentolnya pun hanya kecil tanpa yang besar. Pesanan Dira memang sedikit ane. Namun, dia menyukainya.
Tanpa menunggu waktu lama, Dira mulai menyeruput kuah bakso yang masih bening itu. Setelahnya memakan bihun dengan perlahan.
Di sisinya, Marvin mengerutkan dahi saat melihatnya. "Lo makan gitu doang? Nggak pake saus? Kecap?"
Sebelum menjawab, Dira menghabiskan bihun yang ada di mulutnya terlebih dulu. Tangan kanannya kemudian mengambil tisu dan mengelap sudut bibirnya yang sedikit basah.
"Iya, Kak. Emangnya kenapa?"
Kepolosan Dira saat menjawab membuat Marvin merasa gemas pada perempuan itu hingga tanpa sadar mencubit pelan pipi Dira yang sekarang sudah sedikit berisi karena dia sering kali mengajak Dira pulang bersama sehingga perempuan itu tidak perlu lagi berjalan kaki.
Sebagai respon atas tindakan Marvin, Dira memukul lengan pria itu dengan pelan seraya berkata, "ih. Sakit, Kak!"
Bukannya merasa kesakitan, Marvin malah tertawa lepas melihat sikap Dira.
Di depan mereka, Santi memasang wajah juteknya. "Kalau mau pacaran jangan di sini!" tegasnya yang membuat Dira dan Marvin menoleh bersamaan.
"Siapa yang pacaran?" tanya Dira yang langsung dibalas decihan oleh Santi.
"Cih, kalau emang nggak pacaran. Kenapa kalian begitu?"
"Emang nggak boleh?"
Sebelum Santi menjawab, Marvin membuka suaranya. "Gue sih mau jadi pacar Dira, tapi ... Nggak tau deh, dia mau atau enggak."
Mendengar ucapan Marvin, Dira langsung menoleh dengan dahi mengerut. Menurutnya ucapan Marvin sedikit aneh sehingga dia tidak ingin merespon apapun.
Saat pulang sekolah, Dira seharusnya menemani Marvin untuk latihan karena pria itu akan bertanding akhir bulan ini. Namun, mengingat dia ada rapat dengan ekskul PMR ya, perempuan itu memilih untuk tidak menemani Marvin.
"Jadi, lo nggak nemenin gue?" tanya Marvin dengan salah satu alis yang terangkat.
Dira mengangguk pelan dengan rasa bersalah. "Maaf ya, Kak. Aku harus ikut rapat."
Merasa kesal, Marvin membuang pandangannya. "Ya udah lah, terserah lo."
Setelah mengakhiri ucapannya, Marvin pergi dari hadapan Dira. Melihat hal itu, Dira Ingin sekali dia mengejar Marvin. Namun, sepertinya pria itu tidak ingin diganggu sekarang atau malah nanti Dira yang dipaksa untuk menemaninya. Ya udahlah, biarin dia ngambek.
Dira bergegas pergi ke ruang ekskul PMR, saat masuk sudah banyak orang yang datang. Untungnya rapat belum dimulai.
Dira duduk di barisan tengah bersama dengan Illa, teman satu ekskul PMR nya yang berasal dari kelas 10-5.
"Belum mulai kan rapatnya?" tanya Dira memastikan dan Illa langsung mengangguk pelan.
"Belum kok," balas Illa dengan berbisik. "Tau nggak, kayanya ada masalah deh sampe kita harus rapat hari ini."
"Masalah apa?"
"Nggak tau juga, yang pasti ada masalah. Ngapain juga mereka bikin agenda rapat tiba-tiba gini, kalau nggak ada masalah?"
Dira dan Illa yang asyik berbisik tak luput dari perhatian Bagas, walay pria itu duduk jauh di depan seperti biasanya karena dia adalah ketua ekskul PMR.
"Mohon perhatiannya!" ucap Bagas yang langsung membuat ruang PMR sunyi. "Sebelumnya saya minta maaf karena membuat rapat tiba-tiba."
"Rapat kali ini sangat singkat agar teman-teman bisa pulang secepatnya," ucap Bagas lagi yang membuat anggota ekskul PMR saling bertatapan satu sama lain. Biasanya, rapat akan berlangsung lama. Namun, Bagas bilang akan cepat berakhir. Lalu, ada masalah apa?
"Saya, Bagas Aska, memutuskan untuk mundur sebagai Ketua Ekskul PMR."
Bagas meletakkan microphone ke atas meja setelah selesai berucap, pria itu juga sampai keluar dari ruangan yang membuat seisi ruangan kebingungan.
Dira dan Illa saling bertatapan dengan dahi mengerut. "Maksud Kak Bagas apa?" tanya Illa yang dibalas Dira dengan mengangkat kedua bahunya. Tentu perempuan itu tidak paham dengan situasi yang terjadi. Alasan Bagas mengundurkan diri dan pergi begitu saja.
Sepanjang perjalanan pulang, Dira terus memikirkan tatapan Bagas yang tertuju padanya saat berbicara. Ada sesuatu yang mungkin terjadi pada pria itu sehingga membuatnya mundur. Tapi, apa? Apa yang terjadi.
Tanpa sadar, Dira sudah sampai di rumahnya. Sang Ibu, Fani langsung menyambut perempuan itu. "Sudah pulang, Nak? Loh, sendirian? Marvin mana?"
Fani mengedarkan pandangannya bahkan sampai berjalan keluar pagar hanya untuk mencari Marvin. Hal itu membuat Dira mendengus kesal. "Bu, aku pulang sendiri. Aku nggak pulang sama Kak Marvin."
"Loh, kenapa?"
Ada rasa penasaran yang besar di benak Fani saat mendengar putrinya berbicara, walau belum lama mengenal Marvin. Namun, perempuan paruh baya itu sudah menyukai Marvin sejak awal bertemu.
"Ibu jangan terlalu berharap sama Kak Marvin ya, dia cuman seneng main sama Yoga Yogi. Jangan berharap dia bakal sama aku."
Kali ini, Fani terdiam mendengar ucapan sang anak. Ada sesuatu yang memang tidak bisa mereka jangkau apalagi saat melihat apa yang dimiliki pria muda tersebut. Walau sedikit berat, Fani akhirnya memahami maksud ucapan anaknya.
"Ya udah, kita masuk, yuk. Ibu abis masak capcai kesukaan kamu loh."
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?