"Saya baik-baik aja kok, Kak," tolak halus Dira saat mengetahui Marvin meminta izin kepada guru yang mengajar di kelasnya. Pria itu mengatakan bahwa Dira tengah sakit padahal Dira tetap ingin belajar.
Ponsel yang sebelumnya Marvin lihat, kini terabaikan karena perkataan Dira yang seakan menyepelekan kejadian sebelumnya. "Lo itu harus istirahat, Dir. Kalau perlu kita pulang sekarang."
"Eh, jangan!"
Ucapan Dira yang spontan langsung membuat Marvin menatap tajam ke arahnya. Dia bertanya-tanya alasan Dira menolak untuk pulang padahal tengah dalam keadaan yang kurang baik. "Kenapa? Kenapa lo nggak mau pulang?"
"Saya mau di sini aja, Kak," cicit Dira pelan sembari menundukkan kepala. Jika pulang sekarang, ibunya pasti akan marah. Ya walaupun dia sakit sekarang, hanya saja Dira sudah merasa lebih baik.
Dira mencuri pandang ke arah Marvin yang kembali sibuk dengan ponselnya, perempuan itu bingung alasan Marvin tetap berada di UKS bersamanya. Dengan berani dia pun bertanya, "Hmm, Kak Marvin kok masih di sini?"
Marvin menghela napas setelah mendengar pertanyaan dari Dira. Dia merasa sedikit kesal karena perempuan itu seakan mengusirnya. "Kenapa? Lo nggak suka gue di sini?"
"Bukan gitu, Kak," sanggah Dira dengan cepat. Mata perempuan membelalak sempurna, takut Marvin marah padanya.
"Terus?"
"Saya bingung aja gitu, Kakak masih di sini. Emangnya Kakak nggak ada kelas?"
"Mau ada kelas atau enggak, gue nggak peduli. Gue di sini mau jagain lo."
Marvin kembali mengalihkan pandangannya. Pria itu terlihat begitu sibuk dengan ponselnya. Mengetik beberapa kali seraya terlihat berpikir.
Walau jawaban Marvin terkesan aneh, Dira tidak mempermasalahkannya lagi. Dia tidak mau bertengkar dengan Marvin dan memutuskan untuk beristirahat hingga jam pulang sekolah tiba.
Tidak seperti biasanya, kini Dira bersama Marvin pergi ke parkiran bersama. Bisanya, Dira akan menunggu di depan gerbang jika akan pulang bersama dengan Marvin.
Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Dira merasa terus diperhatikan dan lama kelamaan begitu mengganggunya. Marvin terlihat tidak peduli dan terus melangkah hingga sampai di parkiran.
Sebelum naik ke atas motor, Dira tanpa sengaja bertatapan dengan Sela, kakak tingkatnya yang sangat populer. Mata Sela menatap tajam ke arah Dira. Bukan hanya Sela yang melakukan hal itu. Namun, beberapa temannya juga melakukan hal yang sama.
"Heh, ayo, naik," ucap Marvin yang membuat Dira spontan menoleh ke arahnya. Tanpa bantahan, perempuan itu naik ke atas motor dibantu oleh Marvin yang langsung menjulurkan tangannya.
Sabtu pun tiba, Dira sudah siap untuk ikut dalam acara penerimaan anggota baru ekskul PMR. Saat turun sekolah, dia sudah membawa tas lebih berisikan pakaian juga perlengkapannya selama tinggal satu malam di sekolah.
Tinggal satu hal yang perlu dia pikirkan, yaitu cara agar tidak pulang bersama Marvin. Apa aku bohong aja ya sama dia? Tapi, dia kan suka maksa?
Banyak hal yang kemudian Dira pikirkan, apalagi Marvin benar-benar berbeda. Dia bisa mengubah sikapnya dengan mudah. Baik atau bahkan mengajaknya bertengkar walau hanya karena masalah sepele.
"Kamu kenapa?" tanya Santi perlahan. Dia sedikit bingung saat melihat Dira tengah menguak rambutnya hingga berantakan.
Dira terdiam sejenak, wajahnya menoleh ke arah Santi yang terlihat begitu ketakutan. "Kamu nggak kesurupan kan?" tanya Santi lagi yang membuat Dira tertawa kecil.
"Ya enggak lah," jawab Dira singkat. Karena jawaban tersebut, Santi malah semakin yakin bahwa teman sebangkunya tengah kesurupan.
Perlahan, Santi menjauhkan dirinya dari Dira dan melihat hal itu, Dira mengerutkan dahinya. "Kenapa jauh-jauh? Aku nggak pa-pa, San."
Dira mencoba untuk menarik tubuh Santi agar kembali mendekat padanya. Namun sayang, Santi menolak bahkan memberontak. "Ah! Nggak mau!" tolak Santi dengan mendorong tubuh Dira.
Untungnya, Ibu Irma datang dan membuat Santi terdiam. Keduanya berusaha untuk fokus pada pelajaran, walau Santi masih percaya Dira tengah kerasukan.
Saat istirahat tiba, Dira terus menerus menjelaskan bahwa dia baik-baik saja. Bahkan Santi menyuruh perempuan itu untuk berdoa dan tentu saja Dira bisa melakukannya. "Udah percaya kan?" tanya Dira yang langsung membuat Santi mengangguk pelan.
"Terus, tadi kenapa ngacak-ngacak rambut?"
Santi benar-benar ingin tau alasan Dira mengusak rambutnya. Namun, sepertinya Dira belum bisa menjawabnya karena tiba-tiba Marvin datang. "Kak Marvin," cicit Santi dengan pelan.
Mata perempuan itu membelalak kaget dan membuat Dira yang duduk di hadapannya ikut menoleh menatap arah Santi melihat.
Seperti di drama-drama korea, Marvin berjalan bak pangeran dan semua mata tertuju pada pria dengan tinggi nyaris 190cm itu.
Sesampai di depan Dira, Marvin mengunci perempuan itu dengan meletakkan kedua tangannya di dua meja. Wajah pria itu kemudian mendekat bahkan nyaris bersentuhan dengan wajah Dira, untungnya Dira segera menjauh dengan perasaan gugup.
"Kakak ngapain ke sini?" tanya Dira dengan pelan tanpa menatap ke arah Marvin. Pria itu dengan santainya mengambil salah satu kursi yang kosong dan duduk di atasnya.
Dia duduk tepat di hadapan Dira dan terus menatap perempuan itu. "Emangnya gue nggak boleh ke sini?" tanyanya dengan lembut.
"Boleh, tapi ... ."
Belum sempat Dira menjawab, Marvin memegang wajah perempuan itu dan membuat mereka saling bertatapan. "Tapi apa?"
Dengan cepat, Dira menarik dan menjauhkan tangan Marvin dari wajahnya. "Kak, mending jelasin sekarang. Kakak mau ngapain ke sini?"
Mendengar pertanyaan Dira, Marvin tersenyum kecil kemudian menyadarkan tubuhnya. Dia ingin berbicara santai dengan Dira, sayangnya perempuan itu memberi batasan untuk mereka lebih dekat.
"Gue cuman mau bilang, gue nggak bisa anter lo balik entar."
Layaknya mendapatkan hadiah termahal, mata Dira membulat sempurna. Nyata tak percaya pada ucapan Marvin.
Sejak pagi tadi, dia terus memikirkan cara agar tidak diantar pulang dengan Marvin. Untungnya pria itu sendiri yang mengatakannya.
"Lo pasti sedih ya," ucap Marvin tiba-tiba sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Gue juga maunya anter lo balik, tapi gue ada acara keluarga gitu. Jadinya nggak bisa. Nggak pa-pa kan?"
Dira menggeleng dengan cepat setelahnya, "nggak pa-pa kok, Kak."
Melihat reaksi cepat dari Dira membuat Marvin sedikit bingung, sebenarnya bukan reaksi seperti itu yang dia ingin lihat seperti perempuan-perempuan lainnya yang pernah dia dekati. Semuanya menolak jika Marvin tidak bisa mengantar mereka.
"Lo yakin?" tanya Marvin lagi memastikan.
Merasa Marvin akan salah paham dengan sikapnya, Dira mencari cara agar pria itu tidak mencurigainya. "Hmm, sebenernya enggak sih, Kak. Tapi, saya tau acara kakak itu penting. Jadi, lebih baik kakak ke sana aja. Saya bisa kok pulang sendiri."
Marvin menghembuskan napasnya pelan dan perlahan beranjak dari tempat duduknya. "Ya udah, gue balik ya."
Sebelum benar-benar pergi, Marvin mengusap rambut Dira sehingga membuat perempuan itu menjadi pusat perhatian. Sebenarnya sejak tadi mereka menjadi pusat perhatian, bahkan kelas Dira sampai hening sejenak saat Marvin dan perempuan itu berbincang. Memang agak aneh, tapi itulah yang terjadi.
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?