Sesuai janji, Dira menemui Bagas di ruang ekskul PMR saat istirahat. Perempuan itu masuk perlahan layaknya seorang maling dan membuat Bagas yang hanya seorang diri di dalam ruangan tersenyum kecil.
"Mau maling apa, Mbak?" tanya Bagas dengan nada bercanda. Hal itu membuat Dira sedikit malu dan menundukkan kepala. "Ayuk, sini. Duduk di hadapan saya," ucap Bagas lagi.
Perlahan Dira melangkah sampai di hadapan Bagas dengan wajah yang masih tertunduk. "Silakan duduk," pinta Bagas yang membuat Dira duduk tanpa mengeluarkan suara apapun.
Bagas memperhatikan wajah Dira yang masih tertunduk, senyumnya terlukis saat menyadari jika perempuan di hadapannya masih malu saat menanggapi candaan Bagas sebelumnya. "Maaf ya, tadi becanda doang kok."
Ucapan Bagas membuat wajah Dira terangkat, perempuan itu langsung mengibaskan tangannya seraya berkata, "nggak pa-pa kok, Kak."
"Oke, untuk mempersingkat waktu. Saya mau jelasin kenapa kita harus ketemu hari ini."
Bagas membuka pembicaraan dan Dira mendengarkannya dengan saksama. "Karena acara hari sabtu sampai minggu nanti adalah acara yang cukup besar, saya butuh asisten untuk mengurus segalanya. Hmm, kamu kira-kira bisa nggak?"
"Asisten?"
Dahi Dira mengerut saat mendengar penjelasan Bagas. Dia masih kelas satu SMA dan juga adalah anggota baru ekskul PMR. Sepertinya, dia tidak akan mampu melakukan apa yang Bagas inginkan.
"Iya, asisten."
"Duh, gimana ya, Kak." Dira menggaruk kepalanya yang terasa gatal karena gugup. Wajahnya bingung untuk menjawab keinginan Bagas yang terlalu tiba-tiba tersebut. "Bukannya saya nggak berminat, Kak. Tapi ... ."
"Tapi apa?" potong Bagas dengan cepat yang membuat keduanya saling bertatapan. Namun, Dira segera memutus tatapan mereka.
"Saya belum mampu jika harus melakukan apa yang Kakak perintahkan, saya juga baru masuk PMR. Belum mengenal lebih dalam. Takutnya, saya nggak bisa ngelakuin apa yang Kakak suruh."
Kali ini, Bagas yang terdiam sembari mencerna penolakan halus yang Dira ucapkan. Dengan tangan yang terlihat di depan dada, Bagas memperhatikan wajah Dira yang masih tertunduk.
"Hmm, saya paham. Memang salah saya karena tiba-tiba ingin kamu menjadi asisten saya dalam acara nanti, tapi saya melihat ada potensi di diri kamu."
Merasa ada yang aneh dengan ucapan Bagas, Dira mengangkat wajahnya dengan dahi mengerut tanda kebingungan ada di benaknya." Maksud kakak? "
"Kamu pasti paham maksud saya," ucap Bagas singkat. Namun, Dira tetap tak paham dengan ucapan pria di hadapannya. "Ya sudah, kalau gitu. Kamu bisa balik ke kelas kamu. Lain kali, bisa kan kamu jadi asisten saya."
"Hmm, kita liat nanti ya, Kak. Saya nggak bisa matiin. Tapi, saya akan coba."
Bagas mengangguk pelan sebelum akhirnya Dira pamit pergi dari hadapannya, pria itu terdiam sesaat sebelum akhirnya kembali membuka Proposal berisi acara yang akan diselenggarakan akhir pekan nanti.
Setelah bertemu dengan Bagas, Dira memutuskan untuk pergi ke kantin untuk membeli roti. Sejak pagi, dia belum makan sehingga perutnya memberontak siap melahap apapun yang dapat dia makan. "Bu, roti coklatnya satu sama air mineral dingin ya," ucap Dira pada salah satu penjual di kantin sekolahnya.
Saat akan membayar, sebuah tangan terlebih dahulu memberikan selembar uang kepada penjual tersebut. Dengan spontan, Dira menoleh dan mendapati Marvin tengah tersenyum ke arahnya. "Ngapain kakak bayarin makanan aku," ucap Dira dengan wajah bingungnya.
"Ya nggak pa-pa, lagian cuman segitu kok."
Tangan Dira mulai merogoh saku roknya untuk membayar Marvin kembali. Namun, tangan pria itu menahan pergerakannya. "Nggak usah dibayar, gue traktir lo."
"Tapi, Kak ... ."
"Nggak ada tapi-tapi-an," potong Marvin dengan cepat. Pria itu bahkan dengan santainya merangkul tubuh Dira dan membawanya pergi dari kantin. "Ikut gue ke lapangan, yuk."
Karena kedekatan Marvin dan Dira, keduanya menjadi pusat perhatian siswa di kantin. Bahkan beberapa di antara mereka saling berbisik membicarakan kedua orang tersebut.
Dira tentu risih dengan sikap Marvin. Saat di lapangan, perempuan itu segera melepaskan diri dari rangkulan Marvin.
"Lo kenapa?" tanya Marvin bingung. Dira menggeleng pelan tanpa menjawab. Mata perempuan itu kemudian menatap sekeliling dan dia menyadari bahwa sekarang tengah menjadi pusat perhatian.
"Saya mau ke kelas, Kak," ucap Dira sembari bersiap pergi. Namun, tangan Marvin terlebih dahulu menahannya.
"Nggak, lo nggak boleh pergi. Temenin gue latihan basket," perintah Marvin dengan tegas. Pria itu kemudian membawa Dira untuk duduk di sisi lapangan.
Sebelum meninggalkan Dira, Marvin mengusap kepala perempuan itu sehingga membuat orang-orang menatap ke arah mereka. "Temenin gue latihan sampe istirahat selesai ya."
Tanpa sadar, Dira mengangguk pelan. Entah kenapa, ucapan Marvin tidak bisa dia tolak. Mungkin karena tatapan pria itu yang terlalu membekas sehingga membuat Dira tidak bisa menolaknya.
Selama Marvin latihan, Dira hanya memperhatikannya sembari memakan roti yang perempuan itu beli sebelumnya. Beberapa kali, Marvin memasukkan bola ke dalam ring sehingga membuat orang-orang yang menonton latihan tersebut bersorak dan membuat Dira terkejut.
"Marvin!" sorak mereka bersamaan. Karena suara orang-orang yang mendukung Marvin begitu ramai, Dira sampai tersedak roti yang dia makan.
Beberapa kali, Dira memukul dadanya yang terasa sesak. Marvin yang melihat hal itu langsung berlari ke arahnya. Pria itu berlutut di hadapan Dira yang terlihat begitu pucat. "Lo nggak pa-pa?"
Dira menggeleng pelan, namun terus memukul dadanya.
"Ayo ke UKS," ajak Marvin yang lagi-lagi di jawab gelebgan oleh Dira.
"Nggak, Kak. Aku nggak pa-pa," jawab Dira terbatas.
Tidak menerima penolakan, Marvin langsung menggendong Dira dan membawa perempuan itu ke UKS sekolah.
Sesampai di sana, Marvin memberitahu keadaan Dira pada dokter yang menjaga. "Dia kayanya tersedak deh, Dok," ucap Marvin setelah membaringkan tubuh Dira ke atas kasur UKS.
"Ya udah, biar saya cek ya. Kamu tunggu di luar."
Sesuai perintah, Marvin keluar dari ruang UKS. Dia cukup khawatir dengan keadaan Dira. Namun, tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain berdoa agar keadaan Dira cepat membaik.
Tak lama kemudian, Dokter yang menangani Dira membuka pintu UKS dan membiarkan Marvin masuk ke dalam.
Saat masuk, mata Marvin melihat Dira tengah tidur dengan wajah yang sedikit pucat. Lebih baik dari sebelumnya. Namun, masih tetap tidak sesegar biasanya.
"Jadi, gimana keadaan Dira?" tanya Marvin dengan cepat.
Dokter Sasa yang menangani Dira kemudian tersenyum kecil melihat Marvin yang begitu khawatir pada Dira. "Aman kok, dia udah nggak pa-pa. Tapi, kayanya dia harus istirahat dulu di sini. Kamu bisa kan izin ke kelas dia?"
"Bisa kok, Dok."
"Ya udah kalau gitu, saya tinggal ya."
"Iya, Dok."
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?