“Sayang, kamu gak akan pulang?” saya mencoba mengajak Ayyana berbicara. Karena kata dokter, mengajaknya terus berbicara akan membantu proses kesadaran walaupun hanya sedikit. “Kirana kangen sama mamanya. Saya kangen. Kita semua kangen. Ayo segera sadar sayang. Pleaseee.”
Mama saya mengelus lembut punggungku yang masih setia menggenggam erat tangan Ayyana.
“Ayyana, saya sangat mencintai kamu.” Air mata tak bisa lagi saya tahan. Mama dan Ayah saya terus mencoba menenangkan saya. Sedangkan Mama mertua saya masih setia mendampingi di sisi tempat tidur anaknya yang sedang tertidur pulas.
Dokter menggelengkan kepala kepada saya dengan raut wajah yang pasrah. Saya mencoba untuk menenangkan hati saya yang mulai kacau tak karuan. Air mata mulai berjatuhan di kelopak mata saya.
“Sayang, saya janji akan menjaga Kirana dengan baik. Saya janji, saya akan baik-baik saja. Kami akan baik-baik saja!”
“Tapi sayang-“ saya menghentikan ucapan beberapa detik. “... kalau kamu sudah terlalu lelah, kalau kamu ingin beristirahat lebih lama lagi-“ suara saya terhenti dengan segala kesakitan yang menggumpal dalam hati. “Sayang... kalau kamu mau pergi, kalau kamu mau bersama Papa, silahkan sayang, kami... kami ikhlas sayang. Asalkan kamu harus bahagia di sana. Saya ikhlas sayang, kami ikhlas. Beristirahatlah dengan nyaman,”
***
Beberapa menit setelah itu, layar datar yang terletak di samping kiri tempat tidur Ayyana menggambarkan garis lurus dengan suara nyaring yang mendengung monoton.
Tttiiiiiiiittttttttttttttt!!!
Dokter memeriksa dengan panik dan tetap bekerja dengan profesional. Sebisa mungkin fokus untuk berusaha mengembalikan denyut jantung Ayyana lewat alat-alat medis di ruangan itu. Namun semuanya terasa sia-sia saat dokter mengatakan, Ayyana sudah pergi untuk selama-lamanya. Suara itu menjadi saksi akhir dari perjuangan panjang Ayyana untuk sadar dari komanya. Banjir air mata memenuhi seluruh ruangan hari itu. Hari terkelam di sepanjang hidup saya.
Satu jam setelah Ayyana dinyatakan meninggal dunia, ponselku berbunyi. Satu nama tertera jelas di layar utama ponsel. Dengan menahan tangisan kesedihan, saya mengangkat panggilan itu. Namun panggilan itu malah semakin menambah daftar kesakitan saya di hari itu. Saat seseorang di ujung ponsel itu mengatakan, sahabat saya Reyhan, telah meninggal dunia karena komplikasi sakitnya!
Tuhan... haruskah kau ambil orang-orang penting di hidup saya secara bersamaan? Haruskah kau jemput mereka di hari dan tempat yang sama? Kenapa ini sangat menyakitkan sekali tuhan?
Akhirnya, cara terbaik untuk saya menunjukkan sebesar apa saya menyayangi mereka adalah dengan cara terus mengirimkan doa untuk mengiringi kepergian. Baik untuk Ayyana, istri saya, ataupun untuk Reyhan, sahabat saya. Juga dengan cara memenuhi janji saya pada Ayyana, untuk menjaga baik-baik Kirana di sepanjang akhir hayat saya.
Kirana sayang, jangan sedih ya. Saya akan menjadi Papa sekaligus Bunda untuk Kirana. Kamu harus percaya, kalau kami sayang Kirana. Selamanya
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2