“Pak Kai, kalau suatu ketika Ayyana tak bisa bersama dengan Reyhan, saya harap Pak Kai mau menjaga Ayyana, ya.”
“Kenapa berbicara seperti itu?”
“Saya sudah tahu sebelum mereka berdua memutuskan untuk berpacaran, kalau Reyhan itu sudah punya tunangan. Bahkan mereka dijodohkan. Sampai suatu ketika, saat itu Ayyana baru saja lulus SMA. Pak Aiman menemui saya secara pribadi lalu mengatakan kalau sampai kapanpun, keluarga Aiman tidak akan mau menerima Ayyana masuk ke keluarganya,”
“Saya ingin sekali mengatakan itu pada Ayyana. Tapi tiap kali Ayyana bercerita dengan bahagia mengenai Reyhan, tiap itu pula saya selalu mengurungkan niat untuk memberitahukan Ayyana kalau Pak Aiman pernah mengatakan itu.”
“Sekarang, mereka sudah sama-sama dewasa. Saya yakin hal buruk itu akan menimpa mereka. Pak Kai, saya titip Ayyana ya. Jangan meninggalkan dia saat dia jatuh nanti. Dia terlihat kuat di luar namun sesungguhnya dia adalah anak yang berhati lembut.”
***
Tenggorokan Kirana merasa tercekat kala membaca kalimat demi kalimat yang di tuliskan oleh Papanya. Dadanya terasa sesak. Perlahan matanya juga mulai berkaca-kaca.
Dan ternyata ucapan Papa terbukti. Hal buruk itu benar-benar terjadi. Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat Ayyana jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan sampai ke lubang terdalam dan gelap. Saya tak bisa membiarkan Ayyana terperosok sendirian. Saya ingin selalu berada di dekatnya walaupun sering kali dia menyuruh saya untuk pergi. Oh, demi tuhan, saya tidak peduli dengan segala omong kosongnya yang selalu ingin saya berhenti untuk peduli!
Lalu Reyhan menikah! Namun sebelum dia benar-benar menikah, dia malah mendatangi rumah saya dan menitipkan Ayyana pada saya. Saya sempat frustasi kala melihat Reyhan memohon. Bagaimana bisa dia menitipkan orang yang sangat dicintainya pada orang lain? Bukankah seharusnya dia yang berjuang sampai akhir untuk mempertahankan cintanya?
Tapi takdir sudah tak bisa diubah. Reyhan resmi menikah dengan wanita yang sama sekali tidak dicintainya.
Dan, setelah menunggu sangat lama. Saya akhirnya mengutarakan niat pada Ayyana. Namun sesuai prediksi, tawaran saya ditolak. Saya sempat kecewa dan ingin mundur. Tapi entah ada angin apa, saya malah kembali mengutarakan niat bagi saya setelah beberapa bulan lalu Ayyana menolak saya. Namun, sungguh di luar dugaan, Ayyana luluh juga dan mau menerima saya untuk menjadi pendampingnya di sisa akhir hayat. Saya tak bisa menggambarkan sebahagia apa saya kala itu, apalagi saat mengetahui Ayyana mengandung anak kami alhamdullilah.
Namun kebahgiaan saya harus sedikit terkikis kala dokter mengatakan kehamilannya adalah kehamilan yang berbahaya! Saya sempat ingin marah saat dia keukeuh ingin mempertahankan buah cinta kami. Namun sekali lagi, dia berhasil membuat saya percaya bahwa dirinya dan bayi kecil kami akan bertahan sampai akhir.
Dan Ayyana memenuhi janjinya. Bayi cantik kami lahir ke dunia. Ayyana tersenyum bahagia lalu mencium kening putri kami dengan perasaan bangga. Saya menangis menyaksikan keajaiban dan anugerah yang sudah Tuhan titipkan pada saya.
Suster yang sudah memandikan bayi kami lantas bertanya perihal nama. Di saat itulah saya dengan mantap menyebutkan nama ‘KIRANA’. Kirana Ayyana Kai.
Ayyana sempat terdiam untuk beberapa detik. Namun saya sangat tidak keberatan kalau nama anak kami di beri nama Kirana. Sesuai dengan apa yang pernah dia tuliskan di buku ini.
‘Kirana.’ Ayyana tersenyum saat menyebutkan nama itu untuk pertama kalinya. Air matanya jatuh di kelopak matanya yang indah, mengalir mesra di pipi lembutnya.
Kemudian, delapan jam pasca melahirkan. Ayyana mendadak syok! Dia tak sadarkan diri. Dokter yang terkejut dengan serangan mendadak itu langsung disibukkan dengan beberapa macam alat dan usaha untuk segera mengembalikan kesadaran Ayyana. Namun sayang, pada akhirnya dokter mengatakan, Ayyana mengalami koma.
Tubuh saya merasa sangat lemas saat dokter mengatakan itu. Saya tak mengira bahwa dia bisa tiba-tiba mmengalami koma setelah beberapa saat yang lalu dia baik-baik saja. Dengan sepenuh jiwa dan raga, saya mencoba merawatnya dengan berbagai pengharapan yang menggunung, semoga Ayyana bisa segera sadar. Beruntungnya, Kirana kecil kami tidak rewel. Dia bagaikan mengetahui kalau mamanya sedang beristirahat sejenak. Melepaskan segala lelah lewat komanya.
“Sayang, kamu cape ya? Selamat tidur ya. Jangan lama-lama.” Itu adalah ucapan yang saya bisikkan di telinganya pada hari pertama dia mengalami koma.
“Kirana kangen kamu, sayang. Saya juga,” itu adalah ucapan yang saya bisikkan di telinganya pada hari ketiga dia mengalami koma.
Sampai di hari ke tujuh, dokter sudah nampak menyerah dan tak bisa berbuat banyak. Dokter bilang hanya keajaibanlah yang bisa membawa Ayyana kembali pada kami. Hanya kekuatan doalah yang menjadi harapan kami.
Entahlah, dia sedang bertemu siapa di alam bawah sadarnya. Sampai-sampai dia lupa untuk pulang. Saya menggenggam erat tangannya, menatap dengan dalam wajahnya yang cerah pasca melahirkan. Kirana kecil digendong oleh kakak perempuan saya. Mama Ayyana dan kedua orang tua saya juga turut ada di sana, di ruangan Ayyana yang masih tertidur dengan rilek sendirian.
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2