Setelah hari itu, duniaku serasa runtuh! Hatiku hancur berkeping-keping bahkan aku tak tahu separah apa hancurnya. Aku memilih untuk mengurung diriku di kamar. Menolak kunjungan dari Ibu yang sudah di buat khawatir olehku. Ibu tak bisa berbuat banyak selain mengajakku bicara dari balik pintu. Aku tahu, tak selayaknya aku mengabaikan Ibuku. Tapi... aku tak sanggup untuk memperlihatkan betapa rapuhnya diri ini kala mendengar segala kenyataan pahit yang begitu sakti meredupkan duniaku dari terangnya sang waktu.
Kaishar beberapa kali juga berusaha untuk mengajakku berbicara. Tapi aku sama sekali tak berminat mendengar segala omong kosong yang sudah pasti akan aku dengar. Dan itu sudah berlangsung selama hampir tiga hari lamanya. Selama itu pula Ibu hanya bisa membujukku untuk makan dari balik pintu. Makanan yang Ibu bawakan selalu disimpannya di depan pintuku. Walaupun aku tak pernah menyentuhnya sama sekali. Kaishar juga selalu membujukku tanpa lelah. Dan kalian tahu, selama itu pula aku dan Reyhan tak pernah lagi saling menghubungi. Mungkin hanya satu hal yang aku tahu pasti, kami saling merindukan tanpa bisa saling menyampaikan.
Reyhan! Nama itulah yang selalu keluar dari mulutku saat mataku terpejam. Namun selalu diiringi pula dengan air mata kekecewaan jikalau aku kembali mengingat apa yang dikatakan Pak Aiman. Suaranya seperti terus berdengung di gendang telingaku.
Dalam tidurku yang tak lelap namun mataku enggan untuk terbuka, aku bisa mendengar pintu kamarku berdecit menandakan kalau pintu itu telah dibuka oleh seseorang. Dan suara ujung sepatu yang menghentak tiap langkahan ke ubin kamarku bisa aku rasakan mulai mendekat ke arah tempat tidurku. Seseorang itu lalu duduk di pinggirku yang sedang terbaring. Punggung tangannya menyentuh keningku dengan lembut.
“Hangat.” Suaranya begitu berat. Dan aku bisa menebak siapa si empunya suara itu. Tapi aku masih tak mau membuka mata. Aku masih merasa lelah. Aku masih ingin terlelap. Aku masih ingin beristirahat dan menjauh dari segala kebisingan.
“Saya bawa Ayyana ke dokter ya, Tante.” Ucapnya bagaikan meminta persetujuan dari seseorang lain yang di sebutnya dengan panggilan ‘tante’ atau bisa di bilang adalah Ibuku. Seketika itu juga, aku langsung meraih tangannya walaupun mataku masih enggan untuk aku buka. Aku menggenggam erat tangan itu sambil memohon,
“Tolong... aku cuma ingin istirahat di sini.” Orang itu terdengar menghela napas panjang. Lalu dia melepaskan genggaman tanganku yang bertahut ditangannya. Tangannya kemudian mulai sibuk merapikan bantal dan menarik selimut yang aku pakai sampai sebatas leher.
“Baiklah, Ayy, tapi izinkan Ibu dan saya untuk merawatmu. Oke?”
Aku mengangguk kecil. Entah sudah berapa banyak kubikan air mata yang jatuh di kelopak mataku selama beberapa hari ini. Semangatku sudah hilang. Betapa rindu benar-benar begitu berat jika tak kunjung bertemu. Betapa rindu benar-benar menyesakkan jika tak diungkapkan. Betapa rindu benar-benar menyakitkan. Betapa rindu benar-benar mampu membuat kita hilang akal. Rindu. Dan kesepian!
Inilah kerinduanku. Pada Papa. Pada Reyhan. Pada kebahagiaan!
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2