Dan segalanya berlalu begitu cepat! Sudah hampir sebulan penuh lamanya. Aku dan dia sudah tak lagi saling menghubungi. Aku dan dia sudah sama-sama membangun dinding kokoh untuk saling membatasi. Aku dan dia sudah enggan untuk saling mengabari. Aku dan dia bahkan sudah tak mau saling bertemu lagi. Ralat, mungkin lebih tepatnya aku yang menolak untuk kita saling bertemu. Aku rasa tak ada lagi yang harus kita bicarakan. Semuanya sudah jelas, aku dan dia sudah berakhir!
Sampai suatu ketika, Kaishar datang ke rumahku dengan seorang wanita paruh baya yang masih sangat jelas sekali wajahnya aku kenali, walau kami baru satu kali bertemu. Itu adalah Tante Dea, Mamanya Reyhan!
“Tante Dea?” aku terkesiap, kaget, melihat kedatangannya. Ibu yang melihat aku tak kunjung mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah langsung menyerbu ke arah Tante Dea untuk menuntun ke ruang tamu rumah kami yang sederhana.
“Mau saya ambilkan minum apa, bu? Teh Atau-“
“Tidak usah, bu, terimakasih. Saya di sini hanya sebentar.” Ucap Tante Dea menolak dengan halus, lengkap dengan senyumannya yang sangat cantik. Tante Dea meraih tanganku yang kebetulan duduk di kursi yang dekat dengannya. “Saya di sini ingin meminta maaf untuk segalanya pada keluarga kalian, saya merasakan kesedihan-“
“Tante,” aku menyanggah ucapan dari Tante Dea, lalu melepaskan genggaman tangannya. “Maaf dan penyesalan itu, gak akan bisa mengembalikan Papa saya!”
“Sayang...” Ibu langsung mengelus lembut rambutku dengan kasih sayang. “Menyimpan dendam berkepanjangan itu tidak baik. Ini adalah garis kehidupan yang harus kita terima dengan lapang dada. Ini bukan kesalahan siapa-siapa.”
“Tapi, Bu, kalau bukan karena Pak Aiman, Papa mungkin masih ada sama kita sekarang!”
“Ayyana, sudahlah. Kita harus ikhlas! Biar Papa juga bisa tenang di surga sana.”
“Tante benar-benar menyesal. Tante minta maaf.” Ucapannya mulai terdengar bergetar. Memang, aku bisa merasakan sekali nada penyesalannya itu. Dan hal itu jadi membuatku semakin serba salah! Di sisi lain, aku kesal sekali, tapi di lain sisi, aku yakin Papa juga tak suka dengan sikapku ini.
Kerongkonganku terasa sangat tercekat! Aku seperti merasakan sesak berkepanjangan dalam dadaku. Seluruh oksigen itu rasanya menjauhi ragaku. Aku benar-benar kesakitan dengan luka tak kasat mata! Aku tak bisa mengobati di mana letak lukaku. Payah! Harusnya aku bisa kuat dan tangguh di depan Ibu. Tapi.. aku tak bisa berpura-pura. Aku terlalu rapuh!
“Maaf tante, maafin saya.” kali ini aku memeluk Tante Dea. Membenamkan segala air mata dan kesakitan itu dalam dekapannya. Aku rindu Reyhan, Tante! Tentu saja, aku hanya bisa membisikkan kata itu dalam hatiku sendirian.
***
Aku hanya bisa mematung tanpa kata, sepulangnya Tante Dea dari rumahku. Pandanganku menatap dengan nanar, memperhatikan sebuah benda yang sengaja di desain indah dan rapi yang di berikan oleh Tante Dea tadi. Sebuah benda sakral yang ku anggap sebagai sebuah bukti, bahwa hubunganku dengan dia sudah benar-benar berakhir! Kisah kami sudah berada di ujung cinta yang menyesakkan! Parah!
“Jadi... dia akan menikah?” ucapku dengan suara parau. Memandang sebuah nama yang tercetak jelas di kartu undangan berwarna abu-abu dan gold itu. Sepasang nama yang aku tahu, sama sekali tak mengharapkan itu akan terjadi dalam hidup mereka. Daalex Reyhan Megantara dan Syakira Alamsyah Wijaya.
“Saya rasa kamu tahu betul, Ayyana, mereka sama sekali tidak saling mencintai.” Ucap Kaishar yang memang masih memilih menetap di sebrang tempat dudukku. Entah apa yang membuatnya begitu betah melihat semua keterpurukanku belakangan ini.
“Ya, aku tahu. Tapi...” Lagi-lagi aku tak bisa berpura-pura untuk tetap baik-baik saja. Aku mencoba mendamaikan hatiku dengan menarik napas panjang beberapa kali. Namun, Kaishar langsung beralih duduk di sampingku dan membiarkan aku bersandar di bahunya untuk melepaskan segala kesakitan yang teramat perih di rasakan.
“Menangislah, Ayy, kalau kamu merasa ini terlalu berat. Jangan terlalu di tahan. Kesedihan harus diungkapkan tapi kamu jangan sampai lupa, bagaimana caranya untuk mengikhlaskan.”
Wow spechless
Comment on chapter Bab 6 : Bagian 1