Jam sekolah sudah usai. Seluruh murid-murid menyerbu keluar kelas, membanjiri seluruh koridor sekolah menjadi ramai bagaikan pasar. Kecuali aku yang masih di kelas. Duduk dengan lemas di bangkuku. Beberapa kali aku menghela napas panjang, saat aku sadar hari ini aku harus kembali berdesakan dengan bus kota. Rasanya ingin cepat-cepat sampai rumah saja.
“Lo beneran gak akan ikut sama mobil gue?” tanya Isyana yang masih sibuk merapikan barang-barangnya. Aku mengangguk.
“Lo kan musti hadirin seminar. Nanti lo telat. Gue gak apa-apa.” kataku.
“Padahal gak apa-apa loh. Gue bisa ngebut.”
“Kalau lo kejebak macet, lo bisa-bisa terlambat, Sya. Udah gak apa-apa gue-“
Hattcciiii!
Perkataanku terhenti saat aku tiba-tiba saja bersin. Isyana menyerbuku lalu langsung menempelkan punggung tangannya di keningku.
“Lo sakit?” tanya Isyana. Aku menggeleng.
“Engga, Sya, kayanya karena tadi aja kehujanan. Yuk keluar.”
Isyana mengangguk. Dan kami pun melangkahkan kaki bersamaan keluar kelas. Langkah kami terpisah saat Isyana berbelok ke arah parkiran sekolah sedangkan aku langsung melaju ke gerbang sekolah dan menuju halte.
Aku duduk di sana. Ada tiga orang anak lainnya dari sekolahku yang juga sedang menunggu bus. Pandanganku terarah kepada sepasang sepatu hitamku yang berayun-ayun. Ah, rasanya sangat pusing sekali kepalaku. Aku benar-benar masuk angin sekarang.
Tiba-tiba, sebuah motor gede yang tak asing itu menepi tepat di depan halte, atau bisa di bilang di depanku. Aku menghela napas berat. Kesal! Buat apa dia datang lagi kehadapanku?
Tapi, kekesalanku luntur saat orang itu membuka helm full face yang menutupi wajahnya. Itu bukan Reyhan seperti dugaanku sebelumnya, melainkan itu Radit. Sejak kapan Radit pakai motornya Reyhan?
“Kamu lagi apa?” tanya Radit yang menepikan motornya lalu menyerbu ke arahku.
“Kak Radit! Aku lagi nunggu bus kak,” kataku. “Kak Radit kok tumben sih pake motor, mobil kak Radit mana? Terus kenapa Kak Radit pakai motornya Reyhan?”
Radit tersenyum kecil. Lalu tangannya mengangkat dan mengelus lembut rambutku. Hal itu tentu saja membuat aku terdiam bagaikan patung. Aku hanya bisa terkesiap melihat tingkah lakunya.
“Ini kemauan Reyhan. Karena kamu juga,” Kata Radit. Pernyataannya membuatku bingung apa yang sedang dia coba bicarakan padaku.
“Sayang banget ya, kakak gak bisa anterin kamu pulang. Reyhan bilang kamu gak suka naik motor gede, iya kah?”
“Hah?!” aku masih tak mengerti apa maksudnya.
“Tuh, pengawal istana kamu datang.” Kata Radit kemudian menunjuk ke arah seseorang di kejauhan sana. Aku melihat sebuah motor beat hitam memelankan lajunya hingga menepi tepat di depan aku dan Radit yang sedang duduk.
“Si.. Siapa?” aku menengok ke arah Radit, karena benar-benar tak tahu siapa orang itu. Radit bangkit lalu melangkah menuju ke motor gedenya Reyhan. Sementara itu, orang di balik helm bermotor beat hitam itu langsung menuju kepadaku.
“Ayo, aku anterin kamu balik!” aku hanya melongo saat tahu kalau orang itu Reyhan. Ya ampun, ini ada apa sih?
“Eh? Reyhan?”
“Ayo, kamu bilang kan kalau kamu gak suka naik motor gede aku? Jadi aku tukeran sama Radit sekarang!”
“Jadi, lo minjem motornya kak Radit? Apaan sih? Ada-ada aja!”
“Bukan minjem. Lebih tepatnya, maksa buat tukeran motor!” ucapan Radit menyambar sambil terkekeh.
“Hah?”
“Dia kemarin datang ke rumah kakak, maksa-maksa pengen tukeran motor. Kakak pikir dia mau minjem, eh gak tahunya, dia bawa STNK plus BPKB motornya diserahin sama kakak.”
“Udah gak usah di ceritain, Dit.” Ucap Reyhan sambil berusaha menutupi mulut Radit dengan tangannya.
“Engga, gue rasa Ayyana perlu dengerin ini.” ucap Radit mencoba menjauhkan tangan Reyhan yang sedang berusaha menutupi mulutnya. “Kamu tahu gak, Ayy, motor beat item ini sebenarnya kesayangan kakak banget. Belinya juga sama uang kakak sendiri, makanya kakak gak pernah pake motor ini ke sekolah dan lebih milih naik mobil aja,”
“Tapi, Reyhan bilang pengen motor kakak. Kakak bilang kan ya, dia anak orang kaya, kenapa bukan beli motor baru aja. Iya kan?”
Aku mengangguk. Radit semakin terkekeh. Sedangkan Reyhan hanya mengacak-acak rambutnya kesal.
“Eh gak tahunya dia bilang, ‘gue gak mau kelihatan banget beli motor baru demi biar bisa boncengin Ayyana’,” kata Radit sambil menirukan ucapan Reyhan yang didengarnya kemarin. Sontak aku kaget. Buat apa sih Reyhan kaya gitu?
“Bahkan dia juga kasih segepok uang demi motor kesayangan kakak ini, Ayy. Kampret banget gak sih ini anak!” Radit tertawa nyaring. Tak pernah aku melihat Kak Radit sebahagia ini sebelumnya. Ini melegakan sekali. Senyuman terlukis jelas di wajahku, entahlah untuk siapa senyuman ini. Apakah untuk Radit ataukah untuk Reyhan?
“Jadi-“
“Udah gak usah di lanjutin lagi, kampret!” Reyhan menepuk jidat Radit sekenanya. Dan Radit menghentikan ucapannya. Reyhan sempat terdengar menghela napas berkali-kali. Aku tersenyum.
“Aku anterin kamu balik ya?” kata Reyhan.
Aku terdiam, hanya melihat tajam ke arah Reyhan. Kami sempat merasakan kecanggungan beberapa saat.
“Ya, aku sih gak maksa. Kalau kamu gak mau-“
“Rey?” kataku memotong ucapan Reyhan.
“Ya?”
“Lo kenapa kaya gini ke gue?”
Reyhan terdiam. Seperti sedang menggali kata-kata buat dia utarakan padaku. Aku menghela napas panjang. Aku melangkahkan kakiku sedikit demi sedikit ke arah Reyhan. Sampai kami saling berhadapan sekarang. Aku menatap tajam ke arah matanya. Mata Reyhan juga mengarah jelas kepadaku. Seketika itu juga, dunia ini bagaikan hanya milik kami berdua. Tak ada kata ataupun suara yang kami dengarkan, kecuali suara hembusan napas dan detak jantung kami yang sedang berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya.
Beberapa saat kemudian, entah setan apa yang mempengaruhiku, aku memeluk Reyhan dengan erat. Aku bisa mendengarkan detakan jantungnya. Reyhan nampak terkejut dengan pelukanku itu. Pelukan yang juga tak pernah aku rencanakan ini. Yang aku pikirkan hanyalah, aku bahagia bisa mengenal Reyhan dalam hidupku.
“Apapun alasan lo, thanks!” ucapku.
Reyhan balas memelukku. Tangannya juga mengelus lembut rambutku.
“Aku suka kamu, Ayy.” bisik Reyhan.
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2