Jurnal Ayyana.
Aku masuk ke sekolah dengan energi yang berbeda. Jika sebelumnya aku semangat sekali kalau mau sekolah, kali ini aku sangat bersemangat sekali. Hal itu justru membuat Isyana, sahabatku keheranan, karena malam harinya aku sempat curhat berjam-jam sambil menangis patah hati. Merasakan kegalauan tiada tara saat tahu kenyataan bahwa Kak Radit ternyata punya pacar dan wanita yang beruntung itu adalah Kak Ara. Cewek yang terkenal pintar, cantik, ramah dan juga tajir. Waw! Aku sih sudah nyerah duluan kalau tahu aku harus berhadapan dengan seorang Kak Ara yang tak lain adalah primadona sekolah! Udah kalah duluan lah pasti!
Tapi setelah kejadian itu, keesokan harinya aku merasa lebih bertenaga dan bersemangat! Ternyata aku tak begitu jatuh berlarut-larut dalam patah hati. Ya, sebenarnya aku cukup bahagia, karena aku sudah sangat tepat memilih orang sebaik Kak Radit sebagai cinta pertamaku. Jadi aku tak boleh sampai menyesal. Yang ada aku harus terus menunjukkan energi positif karena kata-kata Kak Radit tadi malam selalu terngiang terus di kepalaku.
“Ayyana, kakak suka lihat kamu yang selalu ceria dan apa adanya kaya gini. Jujur dan natural banget!”
“Ay, lo gak lagi kesambet jin iprit kan?” tanya Isyana sambil mendekatkan punggung tangannya di keningku.
“Ye, apaan sih! Ya jelas gue gak kenapa-kenapa lah, Isyana sayang.” Kataku sambil nyengir bahagia.
“Lo aneh, Ay,” kata Isyana. Kami kemudian melangkah beriringan menyusuri koridor untuk menuju lift yang akan membawa kami ke kelas sepuluh yang letaknya ada di lantai tiga gedung sekolah. SMA Sagara Nusantara memang sangat luas dan besar. Terdiri dari tiga lantai. Di mana lantai tiga menjadi markas kebesaran anak-anak kelas sepuluh. Lalu lantai dua di isi oleh anak-anak kelas sebelas dan dua belas. Sedangkan lantai satu diperuntukkan seperti aula, kantor, perpustakaan dan ruangan-ruangan praktik serta lab, semua ada di lantai satu. Khusus untuk kantin, adanya di lantai dua dan lantai satu.
Di SMA ini sudah di fasilitasi oleh lift. Lift-nya juga di pisah. Ada yang khusus juga untuk teman-teman di sekolah ini yang memiliki kekurangan fisik atau biasa di sebut dengan disabilitas. Pokoknya sekolah ini keren banget deh!
“Ayyana!” satu suara memanggil namaku saat aku dan Isyana menunggu di depan pintu lift. Aku menengok ke arah sumber suara. Dan yang aku dapati adalah seorang cowok yang aku ketahui bahwa dia adalah temannya Kak Radit, yang waktu itu pernah dengan tak sopan mengatai aku akan mencuri saat aku kedapatan berada di depan ruangan kelas mereka.
Aku menengok ke arah Isyana, memberikan sedikit isyarat dengan bola mataku. Isyana hanya mengangkat bahu pertanda dia juga tak mengerti, ada urusan apa temannya kak Radit memanggilku.
Orang itu sampai di hadapanku. Lalu memasang muka sok akrab lengkap dengan senyuman lebarnya yang mengembang jelas.
“Hai!” katanya sambil mengangkat tangan kanannya untuk menyapaku. Aku hanya mengangguk pelan sambil memikirkan satu hal di kepalaku, “Untuk apa orang ini datang kehadapan mukaku?”
“Kakak manggil aku?” kataku yang agak keheranan. Berusaha untuk bersikap sopan.
“Ppffttt!” dia terkekeh kecil mendengar perkataanku tadi. Hal yang semakin membuat aku heran tak karuan. Pintu lift terbuka. Aku tanpa permisi langsung membalik badanku hendak segera masuk ke dalam lift. Tapi tanpa di duga, dia malah menahanku dengan menarik tanganku.
“Eh, lo duluan aja. Gue ada urusan sama temen lo.” Ucap cowok itu pada Isyana yang sudah berada di dalam lift.
“Ih, apaan sih gak jelas banget!” aku melepaskan tanganku dari tangannya. “Ada urusan apa?”
“Ay, gue duluan nih?” tanya Isyana yang masih nampak menahan pintu lift agar tidak tertutup. Aku melirik kesal ke arah kakak kelasku itu. Lalu menghela napas berat.
Kemudian aku mengangguk ke arah Isyana.
“Kalau gitu gue duluan! Daaahhh,” pintu liftpun tertutup. Dan kali ini, hanya ada aku dan orang asing itu. Kali ini, kami saling berdiri berhadapan.
“Gak usah so-so an manggil gue Kakak deh,” katanya sambil cengengesan. Mendengar dia mengatakan itu dengan tiba-tiba, membuat aku sontak tak mengerti apa yang dia maksud itu.
“Maksud kakak?”
“Tuh kan kakak lagi! Belagak so sopan!”
Huft! Aku berusaha menahan amarah. “Maaf ya kak, gue gak kenal sama lo, dan gue gak tahu, lo ada kepentingan apa ya manggil gue?”
“Hah? Lo gak tahu gue? Masa sih? Lo lupa?”
“Ih?” aku melongo. “Kakak lagi ngomong apa sih? Gak jelas banget! Gue cabut ah kak, takut keburu masuk!”
“Eh, bentaran ih. Rusuh amat elah!” katanya yang lagi-lagi menahanku untuk pergi dengan meraih tanganku. Dia kemudian terdiam. Seperti sedang memikirkan satu hal.
“Lo beneran gak tahu gue atau pura-pura gak tahu?” katanya seperti tak yakin akan apa yang tadi aku katakan kepadanya. Tangannya menyentuh-nyentuh dagunya sendiri. Alisnya terlihat turun naik bagaikan sedang memikirkan sesuatu.
“Huft!” aku menghela napas panjang. Kenapa sih ini orang? “Kenal!” kataku tiba-tiba dengan malas.
“Lah.. Syukurlah lo gak lupa sama gue.” katanya sambil mengelus-elus dadanya. Lega!
“Lo temennya Kak Radit kan? Yang waktu itu nuduh gue mau maling di kelas lo?”
“Astaagggaaaa!” dia melongo heran, lalu menepuk keningnya, kecewa.
“Lo kenapa, kak? Stres?”
“Iya gue stres! Puas lo?”
“Oh, pantes!” aku terkekeh. Sekarang aku sudah kembali menghadapi pintu lift yang belum juga terbuka.
Dia ikut berdiri di samping kananku. Diam membisu tak lagi lantas berkata apapun. Kaki sebelah kanannya tak bisa diam. Terus saja menghentak-hentak kecil walau tak menimbulkan suara yang berarti. Aku hanya bisa tersenyum kecil melihat tingkah laku kakak kelasku yang bahkan aku tak tahu siapa dia. Tapi tingkah lakunya sangan absurd. Dan juga dia sepertinya yakin bahwa aku akan mengenalnya. Walaupun pada akhirnya harus aku akui, aku memang tidak mengenal dia sebelumnya. Yang aku tahu, dia adalah temannya Kak Radit.
Setelah beberapa lama, pintu lift itu terbuka. Aku bergegas masuk ke dalam, diikuti juga oleh dia dan ada satu orang lagi yang turut masuk bersama kami. Aku menekan tombol lantai tiga dan orang tadi menekan tombol lantai dua. Sepertinya orang aneh di sampingku ini juga akan ke kelasnya yang berada di lantai dua. Jadi aku membiarkan dia saja. Masih dalam suasana yang hening di sana. Pintu lift terbuka di lantai dua. Orang tadi keluar namun tidak dengan orang gila yang masih saja kukuh berdiri di sampingku.
Aku agak risih dan terganggu dengan dia. Apa sih yang sedang dia lakukan? Jangan bilang dia sengaja menguntit aku!
“Heh!” aku berkata tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.
“Hmmm.” Balasnya.
“Bukannya kelas lo di lantai dua ya?”
“Lah terus?”
“Lo ngapain gak keluar tadi pas di lantai dua?”
“Bodo amat! Masalah buat lo?”
“Lo ngikutin gue?”
“Pede banget sih, Mbak-nya!”
“Lah gue heran aja, kelas lo kan di lantai dua, ngapain lo...”
“Berisik banget sih lo, Karin!” katanya yang kali ini memanggilku dengan nama Karin. Aku agak terkejut juga mendengar dia memanggilku dengan nama itu. Bagaimana bisa dia tahu nama depanku?
“Heh! Panggil gue Ayyana aja ya, kaya lo pertama manggil gue!”
“Gue pertama kali manggil lo Karin ya, Mbak!”
“Ih, lo kok nyebelin sih, Kak? Rese banget!”
“Bodo amat! A-W-K-A-R-I-N! Wleee,”
“Heh? Lo nyebelin banget sih, Kak!” aku refleks menoleh ke arahnya dan langsung saja mencubit tangannya dengan gemas. Dia merintih sakit namun tak lama kemudian terkekeh.
“Ayyana! Panggil gue Ayyana aja. itu lebih nyaman. Oke?” kataku.
“Gak minta maaf nih karena udah nyubit gue?” katanya sambil tangan yang masih mengelus-elus bekas cubitanku tadi.
“Sorry!” kataku malas.
“Maafnya gak gue terima!” katanya.
“Ih, bodo amat!” pintu lift terbuka. Aku segera melangkah keluar lift. Namun tiba-tiba dia kembali mengusili aku.
“Heh Awkarin!”
Aku menoleh ke arahnya lagi yang nampak sedang menahan pintu lift agar tak segera menutup. “Gue Reyhan! Daalex Reyhan Megantara.” Katanya sambil tersenyum jahat. “Gue yakin lo inget gue sekarang! Byeee,” dia melambaikan tangannya diikuti dengan pintu lift yang tertutup. Aku hanya bisa melongo heran.
Hah? Apa sih yang dia maksud?
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2