Aras berusaha mengatur ritme napas ketika melihat gapura pemakaman. Hampa terus menyesaki dada, tak ada langkah menuju tempat orang yang selama enam tahun ini mewarnai hari-harinya. Dia termenung, membiarkan banyak ingatan bermain dalam kepala. Bukannya tak ingin mengusir kenangan, hanya saja dia sudah lelah. Semakin tidak dipikir, malah semakin banyak yang berdatangan.
Dia melirik Senja yang ikut mematung di sebelahnya. Bagaimana bisa dia mengunjungi makam dari orang, bukan, lebih tepatnya arwah yang dapat berinteraksi dengannya? Aneh, tetapi beginilah adanya.
"Tujuan lo ke sini untuk apa, Ras?"
Aras tersenyum sedih, menatap mata Senja sedalam mungkin. "Pengen ketemu lo, Ja."
Senja ikut tersenyum pilu. Tentu saja bertemu dengannya. Dia saja yang aneh karena bisa muncul di depan Aras. "Ayo."
Mereka berdua berjalan bersisian ke tempat tujuan. Setelah tiba di depan batu nisan bertuliskan nama Senja Eltasya, Aras langsung bersimpuh, membiarkan Senja yang masih mematung menatap namanya melekat di batu itu.
Aras menarik rerumputan yang ada di atas gundukan, lalu tangannya meraih beberapa batang bunga lili yang telah layu. Mata memerah Aras semakin merah akibat luapan emosi. Dugannya benar, Daren memang ke sini. Namun, yang tidak bisa Aras simpulkan adalah mengapa Daren? Ada apa dengan Nino? Apa yang salah dari kakak-adik itu?
"Ras, bunga itu ... bunga itu Daren yang bawa, kan?" lirih Senja. Tak dapat dipungkiri, pikiran gadis itu pasti sama dengan Aras.
"Gue harus ketemu Daren. Dia harus jelasin ini semua. Daren mungkin aja yang jadi pembunuh lo, Ja."
Aras meremas bunga itu dan melemparnya sejauh mungkin. Tidak peduli bunga itu jatuh ke gundukan siapa, yang jelas bukan di tempat Senja. Dia balik badan, hendak meninggalkan pemakaman. Sudah cukup, tidak ada tebak-tebakan lagi. Aras sudah muak dengan Daren dan tidak akan membiarkan cowok itu lepas begitu saja.
"Ras." Namun, panggilan dan sentuhan tangan Senja di pundaknya membuat dia urung. Kepalan tangannya memang masih mengetat, tetapi napasnya sudah tidak memburu lagi.
"Gue emang gak tau diuntung, Ras. Tapi gue mohon, jangan langsung ngelabrak. Gue takut lo dalam masalah." Senja berharap mata berkaca-kacanya dapat menyentuh hati Aras. Dia takut terjadi hal buruk jika Aras nekat. Senja tidak ingin melihat wajah pacarnya babak belur lagi.
Aras menggeram seraya menarik rambutnya kasar. Pandangannya menatap langit biru tanpa awan di sana. Dia tertawa kecut, bisa-bisanya langit di sana cerah di saat hatinya mendung. Ke mana ucapan orang-orang yang mengatakan langit selalu mengikuti perasaan orang yang menatapnya? Bullshit!
"Gue butuh lo tenang, Ras. Kita pikir jalan keluarnya sama-sama." Meski tidak yakin, demi menenangkan Aras dia terpaksa berbohong. Bagaimana bisa dia memikirkan jalan keluar di saat Senja sendiri yang meminta pertolongan?
Aras kembali menggeram lalu bersimpuh. Tangannya meremas tanah kuburan Senja di depannya. "Senja ... Senja kenapa lo harus ngalamin ini semua? Lo orang baik. Mereka gak tau lo baik, mereka yang jahat. Mereka gak kenal lo, Ja. Tapi kenapa mereka bisa segampang itu menilai elo. Mereka bahkan asing buat lo, Ja, tapi kenapa mereka bisa nyebarin cerita yang enggak-enggak tentang lo? Kenapa mereka sok tau?"
Senja tak bisa menjawab, dia hanya mampu terisak. Sepertinya memang Senja tak memiliki arti di dunia ini, makanya dia pantas pergi. Akan tetapi, apa kesalahannya sampai harus menjadi arwah? Kenapa dia tak langsung menghilang saja? Dia tetap tersiksa sebab harus menyaksikan kesedihan orang-orang terdekatnya, melihat mereka berjuang melawan hampa dan membangun kebiasaan tanpa dirinya. Ini tidak adil. Di dunia dia hidup penuh kebencian, sekarang pun setelah menjadi arwah dia tetap dibenci sebagian orang.
Senja merangkul Aras yang semakin tersedu-sedu. Dia tidak bisa menenangkan seseorang yang sedang sedih-sedihnya, apalagi biang dari air mata itu adalah dirinya.
"Gue gak boleh lengah. Gue harus dengar penjelasan Daren, Ja."
"Enggak, Ras. Gue mohon. Kita tunggu bentar lagi, mungkin kita bisa dapat informasi penting tanpa berhubungan langsung sama Daren. Gue gak mau lo kenapa-napa."
Derap langkah di belakang mereka membuat percakapan terhenti. Aras mendongak, berusaha melerai air matanya turun. Meskipun sedih, dia tidak mau Selena melihatnya menangis separah ini. Aras melihat Selena yang kini bersimpuh di depan makam, tepat di hadapannya. Ada Nino di sebelah Selena yang kini meletakkan bunga lili di atas pusara.
Ketika pasangan sejoli itu mengirimkan doa, Aras menatap Nino lamat-lamat. Jika dia tidak bisa berbicara baik-baik dengan Daren, mungkin dia bisa menanyakan tentang Senja di Nino.
"Lo pasti sedih, ya, ditinggal pacar dan sahabat lo, Ras. Gue aja yang gak begitu dekat sama Senja pun sedih." Nino membuka percakapan seraya mengelus lembut punggung tangan Selena yang menatap nanar batu nisan adiknya.
"Senja gak pernah ngomong aneh-aneh sebelum pergi. Gue gak tau kenapa dia bunuh diri. Gue gagal jadi kakaknya. Gue selalu sibuk kerja, cari duit tanpa tau ada sesuatu yang terjadi dengan adik gue." Selena semakin terisak ketika Nino memeluknya.
Aras masih menatap Nino, seolah mencari sesuatu yang salah dari cowok di depannya. "Kak Nino tau kalau Daren pernah ke sini?"
Senja membulatkan mata ketika Aras langsung menanyakan hal itu tanpa embel-embel pembahasan lain. "Ras, lo sadar gak, sih, lagi ngomong sama siapa? Dia kakaknya Daren, lho!"
Aras mengabaikan Senja dan lebih memilih fokus melihat ekspresi keterkejutan di wajah Nino, tetapi Selena malah menampilkan ekspresi bingung.
"Emang kenapa, Ras, kalau Daren ke sini?" Selena mencoba masuk ke dalam pembicaraan meski masih sesak karena terus menangis.
Nino berdeham sebelum menjawab. Kalau Aras tidak salah menilai, Nino terlihat berhati-hati mengeluarkan susunan kalimatnya.
"Emang Daren atau Senja gak pernah ngomong sama lo? Daren pernah ngomong ke gue kalau dia suka sama Senja. Gak ada yang salah kalau dia ke sini."
Selena ikut menimpali, "Lagian mereka juga satu sekolah, kan?"
Aras membuang napas panjang. Kenapa jadi dia yang dipojokkan di sini. Dia kembali menatap Nino dan mengabaikan Selena. "Kak Nino emang janjian bawa bunga lili?"
Nino terdiam sejenak lalu menggeleng. "Enggak, tapi emang kebiasaan bawa bunga lili ke pemakaman. Soalnya bunga lili adalah bunga kesukaan almarhumah ibu kami."
Aras terdiam. Masuk akal. Namun, yang tak masuk akal adalah terlalu banyak kelopak bunga lili di atas gundukan tanah Senja yang telah layu. Apa mungkin Daren atau Nino yang rajin ke sini?
"Udah ke berapa kali Kak Nino ke sini?"
Nino tertawa kecil, merasa dirinya diinterogasi. "Lo kenapa nanya-nanya? Gak suka kalau gue rajin ke sini? Atau lo gak suka Daren ke sini?"
Sebelum Aras sempat menjawab, Selena melerai sebab merasakan hawa pekat mulai mengerubungi mereka. Dia tidak mau terjadi keributan di makam adiknya.
"Ras, jangan kelepasan. Udah, lo tenangin diri dulu. Kita pergi dari sini," ajak Senja, dan tanpa diduga Aras bangkit, pergi begitu saja tanpa pamit.
Kelakuan Aras tentu menciptakan perang dingin antara dia dan Nino, begitupun dengan Daren nantinya. Akan tetapi, Aras tidak bisa mempercayai ketulusan cowok itu begitu saja setelah mengingat status-status yang Senja kirim ke akun Facebook dan juga catatan aneh yang Aras temukan. Dia harus mengurai itu semua sebelum keadaan semakin rumit.
"Sikap Aras gak usah dipikiran, ya. Dia lagi sedih aja," bujuk Selena dan Nino mengangguk sambil tersenyum tipis.
***