Ramai lalu-lalang siswa di jam istirahat memang tidak bisa dikendalikan, apalagi bagian kantin. Sebagian dari mereka memilih menitip belanjaan ke teman-temannya daripada ikut berdesak-desakan. Sama seperti Aras, remaja delapan belas tahun itu tidak suka ke kantin, berjubel dengan banyak manusia.
Matanya menerawang lapangan dari kejauhan yang terpanggang sinar matahari siang. Punggung bersandar pada tembok sekretariat OSIS, kedua tangan dimasukkan ke dalam celana abu. Beberapa siswa menyapa dan sebagian mereka berbincang sejenak.
Sebenarnya Aras tidak begitu terkenal seperti Senja, juga tidak memiliki banyak teman layaknya anak cowok pada umumnya. Dia berbicara, tersenyum, bertindak seadanya. Aras tidak suka menonjol. Namun, misinya kali ini cukup membuatnya berubah. Aras yang dulunya lebih sering tinggal di dalam kelas sambil bermain gim kini mudah saja ditemukan di luar kelas.
"Ras, di sekolah ini ada gak, ya, orang yang nyapa gue kayak mereka nyapa lo?"
Celetukan Senja membuat Aras menoleh, menatap gadis di sebelahnya. Detik itu juga hatinya dikerubungi rasa sedih yang tak bisa Aras jelaskan. Perasaan itu tiba-tiba datang ketika ingin berbicara, tetapi tidak bisa dia lakukan. Dulu, dia bebas berbicara banyak hal bersama Senja di mana pun mereka berada. Sekarang? Aras hanya bisa menghela napas, meski sesekali menjawab ketika koridor sepi.
"Beneran gak ada yang suka sama gue, nih?" Senja manyun, sama sekali tidak menyadari raut sedih Aras.
Aras tertawa, hampir-hampir menangis. Ketika sekitar sepi, dia langsung menjawab. "Ada. Gue. Gue selalu suka sama lo."
Jawaban Aras membuat Senja tersenyum. Matanya menatap dalam cowok di depannya. "Kalau itu harus. Lo gak boleh benci gue, Ras. Sekalipun gue punya kesalahan besar, gue mohon jangan benci gue." Hening sejenak sebelum dia melanjutkan. "Tapi beneran gak ada yang ramah ke gue, Ras? Hidup gue, kok, kelam banget, ya?"
Aras menahan tawa, takut tertangkap basah oleh siswa-siswa yang lewat di depannya. "Ada, Ja. Haters lo emang banyak, tapi yang sadar kalau lo baik juga banyak. Banyak yang kehilangan lo Senja Eltasya. Bukan cuma gue, Haifa, keluarga lo. Tapi banyak."
Senja langsung memeluk leher Aras. Perasaan dingin dan sesak seketika menjalar di leher. Akan tetapi, bukannya melepaskan Senja, dia membiarkan saja gadis itu. Senja berhak bahagia dengan mengetahui semasa hidupnya memang tetap ada banyak orang yang menghargainya sebagai manusia. Sebagian teman sekelas, organisasi, teman-teman dari kelas lain, guru, mereka tetap ada yang percaya Senja anak baik. Hanya saja gosip dan sifat ambisius Senja-lah yang memperburuk keadaan. Begitulah manusia, tak ada yang sempurna.
"Airis, kita ketemu di perpustakaan sepulang sekolah, ya. Jangan lupa, kita punya banyak bahasan."
Suara itu sontak membuat Aras menoleh dan mendapati kehadiran Inggrid, bendahara OSIS dua periode setelah berhasil melengserkan Senja saat kelas sebelas, dan Airis, wakil bendahara OSIS. Airis mengangguk, lantas berlalu setelah menerima senyum hangat Aras.
"Lo nyari siapa, Ras?" Inggrid terlihat malu-malu menyapa Aras. Tangannya menyelip rambut ke belakang telinga untuk mengurangi kegugupan.
Andai Aras tak tahu tata krama, dia pasti sudah muntah di sini. Dia tahu Inggrid sudah lama menyimpan rasa untuknya, bahkan pernah terang-terangan menyatakan perasaannya tepat di depan Senja. Aras bergidik mengingat kejadian itu. Wajar saja Senja dan Inggrid musuhan.
"Gue nyari lo."
Inggrid refleks tersenyum lebih lebar, tidak menyangka orang yang disukai mencarinya. "Kenapa? Ada yang pengen diomongin?"
Aras mengangguk. Rencana kedua siap dijalankan. "Gue pengen ngajak lo ngobrolin sesuatu. Pulang sekolah nanti lo ada urusan?"
Inggrid terlihat menimbang sesuatu. Jelas dia memiliki janji bersama Airis. Aras pun tak mungkin tuli sehingga tidak mendengarkan percakapan dua pengurus inti OSIS itu. Namun, Aras sengaja bertanya seperti itu untuk mengetahui seberapa penting pertemuan itu.
"Ras, lo pengen ngapain lagi?" Senja menceletuk di telinga Aras. Dia takut pacarnya berbuat nekat seperti beberapa hari lalu. Namun, percuma saja berbicara dengan Aras sekarang, cowok itu pasti tidak akan membalas. Jadilah Senja hanya bisa menonton sembari berusaha mengingat hal buruk apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Inggrid.
"Iya, nih. Pengen ke perpus habis kelas nanti. Pengen bahas sesuatu sekalian ketemu sama penjaga perpus, ada yang pengen diomongin nanti untuk kegiatan OSIS," jelas Inggrid seraya menggaruk-garuk hidung.
Aras mengangguk, dalam hati bersorak. Sekarang dia hanya butuh informasi tambahan dari Haifa. "Ya udah, kalau besok gimana?"
"Bisa. Bisa banget, Ras."
Jawaban cepat Inggrid membuat Aras tersenyum lebar. Gue pastiin besok lo tamat ditangan gue, Rid. Setelah mereka mengatur waktu untuk bertemu besok, Aras segera berlalu, mengabaikan wajah semringah Inggrid.
***
S
enja menatap bosan ke arah dua manusia yang tengah sibuk berbincang, pastinya tentang Inggrid. Pelajaran terakhir tidak diisi guru sebab sakit, jadilah kelas ramai oleh suara teriakan, gosip, bunyi backsound gim yang dimainkan siswa cowok, bunyi film yang terputar di satu laptop dan ditonton beberapa siswa.
Sepertinya Senja tidak pernah merasakan itu ramai-ramai dengan teman sekelasnya. Dulu, sepanjang memori yang bisa dia ingat, kebanyakan harinya diisi oleh Aras. Kini melihat kebahagian teman-temannya, dia jadi ingin hidup kembali. Apalagi sekarang mereka sudah tahu bukan dia yang selalu menyontek di kelas, pastilah kebencian mereka berkurang.
"Jadi menurut teman lo uang kas bendahara selalu gak cukup buat kegiatan?" Aras berusaha merendahkan suara saat membahas masalah Inggrid.
Haifa mengangguk yakin, suaranya tak kalah rendah. "Aku udah pastiin sama temanku yang anggota OSIS. Katanya mereka selalu nambah dana setiap buat kegiatan. Tapi sama sekali gak ada yang curiga kalau mungkin aja Inggrid makai uangnya."
Aras mengetuk-ngetuk dagu dengan pulpen. Perkiraan Inggrid memakai uang bendahara OSIS untuk kepentingan pribadi memang memungkinkan. Tidak salah lagi. Dugaannya pantas untuk dibuktikan. Inggrid pernah menuduh Senja seperti itu, bisa jadi Inggrid sendiri yang berulah. Pertemuan di perpustakaan, dia harus ke sana nanti.
"Ja, lo hari ini diam mulu. Kenapa?" Karena melihat Senja yang tengah asyik memandang seisi kelas, membuat Aras penasaran apa isi kepala gadis itu.
Senja menggeleng sambil tersenyum. "Gak kenapa-napa. Cuma lagi sedih aja karena pengen ngerasain jamkos kayak gini dulu. Pengen nobar, ngegosip bareng."
"Senja bilang apa?" celetuk Haifa, jadilah Aras meneruskan ucapan Senja tadi ke Haifa.
Haifa tertawa seraya menatap kursi kosong di sampingnya. "Dulu kamu selalu ngajakin aku nonton drama Korea di HP kamu, Ja. Kamu juga selalu cerita panjang lebar sama aku. Meskipun gak seramai teman-teman di kelas, tapi kamu pernah ngerasain jamkos kayak mereka bareng aku."
Ucapan Haifa membuat Senja berkaca-kaca. Sungguh, dia benar-benar lupa pernah melakukan itu semua. Aras yang melihat Senja menangis ingin sekali menenangkan gadis itu, tetapi situasi tidak memungkinkan. Jadilah Aras membiarkan Senja sendiri. Mungkin saja gadis itu memang butuh jeda sejenak.
***