Senja duduk di bangku, dekat jendela. Setelah asyik menatap kegiatan di tengah lapangan, gadis itu melirik gadis di sebelahnya, teman sebangku. Dia Haifa. Senja menumpukan kepala, tangan sebagai tumpuan.
Gadis yang masih mengenakan seragam SMA itu tidak ada bedanya dengan Haifa. Hanya saja, dia tak kasat mata. Senja tersenyum manis meski dia tahu Haifa tidak akan pernah menyadari keberadaannya.
"Fa, lo nengok sebelah kiri terus senyum," suruh Aras karena kasihan melihat Senja senyum sendiri.
Senja melotot dan hampir kelepasan memegang buku paket Haifa. Bisa-bisa seisi kelas menjerit ketakutan karena bukunya terbang, padahal Senja ada di balik itu semua. Senja berhenti melebarkan mata ketika Haifa benar-benar menoleh dan tersenyum.
"Hai, Senja. Entah kamu emang ada di sini atau gak. Maaf ...." Ada jeda sekian detik dan Senja bisa melihat mata Haifa berkaca-kaca. "Maaf karena aku gak bisa jadi teman yang baik," bisiknya, Aras saja tidak bisa mendengar ucapan gadis itu.
Senja terenyuh sepersekian detik, lalu detik berikutnya dia menangis terharu. Dia kontan memeluk teman sebangkunya. "Haifa, meskipun lo orangnya pendiam, gue tau kalau lo peduli."
Haifa bersandar ke sandaran kursi, tiba-tiba merasa sesak. Aras yang tadinya ingin melihat Senja langsung memberi tatapan tajam ke arah gadis itu agar berhenti memeluk Haifa.
"Kenapa, sih, Ras? Gue kangen!" protes gadis itu.
Aras tak menjawab, bisa-bisa dia dikatai tidak waras oleh teman-temannya. Dia memilih membuang muka dan lanjut menggambar di halaman belakang buku tulisnya seraya memikirkan isi buku harian Senja tentang Farhana. Dia kini melirik gadis yang duduk di bangku ketiga di depannya.
"Farhana gak mungkin berbuat sesuatu yang berbahaya sampai-sampai Senja meninggal." Dia semakin tenggelam dalam renungan mengingat isi buku itu. "Sebenci-bencinya Farhana sama Senja, cewek itu gak mungkin bahayain Senja," lanjutnya sepelan mungkin.
***
Senja sedari tadi celingak-celinguk, memperhatikan siswa berlalu-lalang menuju tujuan masing-masing, tetapi kebanyakan pasti ke kantin. Dia pindah posisi, berjalan di depan Aras, saling berhadapan.
"Ras, kamu gak lapar?"
Aras menggeleng, berusaha agar tidak bersuara. Banyak orang di sini, bisa-bisa dia dikatai aneh. Dia mengibaskan tangan, menyuruh Senja minggir agar tak menganggu fokusnya mengikuti Farhana.
"Ngomong, Ras. Kenapa, sih, diem mulu. Pacar, kok, dicuekin." Senja semakin menekuk wajah. "Kalau gue pacaran sama arwah lain, tau rasa lo. Lagian lo juga gak bakalan tau kalau gue bisa punya pacar sesama arwah." Senja tertawa keras ketika membayangkan perkataannya barusan.
Aras membuang napas panjang. Seandainya tempat ini sepi, sudah dipastikan pipi Senja tidak aman dari cubitannya. Dia lebih memilih merotasikan mata dan berlalu agar tidak ketinggalan langkah Farhana yang kini berbelok melewati lorong samping laboratorium komputer. Aras sudah tahu tujuan Farhana. Pasti Kawasan Hijau, lapangan belakang sekolah yang dijadikan tempat menanam pohon.
"Ras, ini tempat apa? Cantik banget, keren."
"Ini namanya Kawasan Hijau, tempat nanam pohon," bisik Aras agar tak ketahuan Farhana dan dua temannya.
Senja mengangguk lalu ikut mengendap-endap dan berhenti di salah satu pohon, tak jauh dari ketiga gadis yang tengah mengeluarkan kertas berisi banyak tulisan.
"Biar gue yang nyontek di kertas ini. Kalian tunggu gue nyebarin jawabannya ke kalian nanti." Begitu kata Farhana, cewek berambut panjang, bermata agak sipit.
"Kemarin, kan, lo udah. Biar gue aja," saran salah satu dari mereka, cewek berambut sebahu.
Farhana menggeleng. "Gak, Yas. Tempat duduk lo di depan. Bisa-bisa kita ketahuan sama Bu Rahmi."
Yasmin mendengkus. "Kalau gitu kita tukaran tempat aja. Kali ini lo duduk di depan."
Kirana yang sedari tadi diam, ikut berbicara. "Nanti Bu Yasmin curiga kalau Hana pindah tempat. Udah, biar Hana aja. Lagian urusan nyontek kita gak pernah gagal kecuali waktu Senja ngacauin semua rencana kita dulu."
Yasmin mengangguk. "Ya udah. Hati-hati aja kalau gitu. Beruntung banget udah gak ada cewek itu. Sekarang kita bebas nyontek tanpa ada gangguan Senja."
Aras mengepal, ingin sekali muncul di tengah-tengah perbincangan gadis itu dan merobek kertas sontekan mereka. Namun, pergerakannya di tahan Senja.
"Jangan, Ras."
"Kenapa? Dulu lo selalu gak terima mereka nyontek, Ja. Terus kenapa sekarang lo ngelarang gue?" Aras mati-matian menahan volume suaranya, takut ketahuan.
Senja menggeleng sekali lagi. "Gue rasa lo tau jawabannya. Lo udah baca tulisan di buku harian gue, Ras. Dari tulisan itu, mereka benci gue karena merusak rencana mereka nyontek, gue terlalu mengusik kehidupan mereka semenjak kelas sepuluh."
Senja melanjutkan setelah merasa mampu mengontrol sedikit emosinya. "Gue selalu ikut campur tentang mereka, alhasil gue dijauhi. Lo tau sendiri pengaruh Farhana ke teman sekelas besar banget, Ras. Mereka semua percaya kalau Hana anak baik-baik, gak mungkin nyontek. Itu, kan, yang gue tulis dan lo tau faktanya." Napas Senja memburu, matanya memerah menahan tangis. Sejak semalam dia mulai tahu alasan pertama mengapa dia dibenci, hanya gara-gara sontekan.
"Dan lo kena batunya. Lo dituduh balik dan lo gak pengen bersihin nama lo, Ja! Lo sadar?" Aras mulai emosi, nada suaranya meninggi hingga membuat Farhana dan kawan-kawannya sadar. Akan tetapi, Aras tidak peduli. Dia harus membereskan ini semua.
Senja panik, mulai menggigiti kukunya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Di satu sisi, Aras tidak peduli pada kekhawatiran Senja. Aras muak sebab gadis itu sudah terlalu lama hidup dalam ketidakbenaran yang terus berkembang hingga menciptakan banyak kebencian.
"Lo ngapaian di sini? Lo bicara sama siapa?" Farhana mendelik ke arah Aras, tangannya di belakang meremas kertas sontekan dan diraih oleh temannya secepat mungkin.
Aras tertawa sinis. "Harusnya gue yang nanya. Lo semua ngapaian di sini, dan kertas itu mau lo apain? Itu sontekan?"
Farhana berkacak pinggang. "Sejak kapan lo peduli kayak ginian? Cukup mantan pacar lo aja yang nyusahin."
"Senja bukan mantan gue! Dia masih pacar gue!" Aras semakin emosi, matanya memerah. Dia melangkah mendekati Farhana yang berjalan mundur karena takut. "Tutup mulut lo, Na. Lo gak berhak bicara! Orang kotor kayak lo gak berhak bersuara! Orang kotor kayak lo gak punya kesempatan membela diri setelah nuduh Senja yang enggak-enggak!"
Farhana berhenti berjalan mundur, dia menatap tajam cowok di depannya. "Lo yang diam! Lo yang buta karena gak percaya Senja emang tukang nyontek. Nilai ulangan dia selalu sempuran. It's impossible."
"Lo yang tolol! Lo terlalu terobsesi ngerebut posisi Senja di kelas sampai nuduh dia dan bertindak jauh kayak gini! Lo gila, Na!"
"Lo yang gila! Bicara sendiri, bicara ngelantur! Awas aja lo berani ngomong yang enggak-enggak sama guru," ancam Farhana sambil berlalu. Namun, langkahnya berhenti ketika Aras tertawa keras.
Aras semakin terbahak sampai-sampai memukul batang pohon yang dapat dijangkau tangannya. Hatinya benar-benar sakit mengetahui Farhana segila ini. Dulu Senja sering mengeluhkan Farhana. Akan tetapi, dia selalu menyuruh gadis itu tidak berpikir berlebihan, malah meminta Senja sabar ketika dituduh dan tak bisa membuktikan bahwa Senja benar-benar tidak menyontek. Ke mana Aras selama ini?
"Lo! Lo, Farhana! Gue pastiin hidup lo setelah ini gak akan tenang! Gue pastiin kebusukan lo terbongkar."
Farhana tidak peduli, terus melangkah diikuti teman-temannya. Senja sudah tersungkur saking tak tahan melihat pertengkaran di depannya. Ingatan pahit saat dia dituduh muncul perlahan-lahan. Benar, dia dituduh dan kebencian semakin mengerubungi hidupnya. Senja melihat tangannya yang bergetar hebat. Dia terlampau sedih sampai tak bisa berkata-kata. Sampai ketika Aras memeluknya, barulah dia terisak sejadi-jadinya, mengeluarkan semua tekanan di dada.
"Maafin gue, Ja. Maafin gue," lirih Aras seiring dengan pelukannya yang semakin erat dan Senja meraung bak anak kecil.
***