Semburat merah di kaki langit mulai memudar, berganti menjadi hamparan gelap. Titik-titik lampu mulai ramai di setiap sudut kota, menerangi gedung tinggi, perumahan, jalanan. Kendaraan juga turut andil menghujani jalan dengan berbagai warna lampu. Aras adalah salah satu pemilik kendaraan itu.
Cowok berjaket hitam yang sedang membonceng pacar tak kasat matanya hendak menuju rumah Senja. Gadis itu lupa-lupa ingat jalan menuju ke sana. Aras sempat bingung sebab Senja bisa tetap mengingat rumahnya. Namun, ketika Senja menjelaskan bahwa saat dia memilih Aras sebagai orang yang akan menolong, tiba-tiba saja Senja sudah berada di dalam kamar Aras.
Aras mematikan mesin motor, menatap satu-satunya rumah yang belum dinyalakan lampunya. "Lo ingat, kan, ini rumah lo?"
Senja mengangguk patah-patah, sedikit tidak yakin. Sepertinya memang ini rumah yang ada di dalam ingatannya. "Gelap banget."
Aras menghela napas. Dia ingin sekali mengatakan seandainya saja Senja masih hidup, rumah ini tidak akan gelap karena akan ada orang yang siap sedia menyalakan lampu di setiap sudut. Namun, Aras tidak bisa berkata demikian, sulit saja rasanya. Dia memilih menggeser pagar yang selalu tak terkunci.
"Kayaknya gak ada orang, Ras. Kita balik aja yuk," ajak Senja.
"Pulang? Ini rumah lo, Senja. Lo harus di sini. Masa iya lo nginap di rumah gue."
Bahu Senja seketika merosot. Dia tidak ingin sendiri. Bukan gelap yang membuatnya takut, tapi sepi yang membuatnya tak nyaman. "Kalau gitu lo di sini aja dulu, Ras. Temenin gue. Masa iya lo ninggalin cewek depan rumah gelap kayak gini. Kalau ada perampok gimana?"
Aras tertawa kencang. Dia sampai memegang lutut karena tidak sanggup berdiri. "Senja, Senja. Lo gimana, sih. Kalau ada perampok, lo takut-takutin lah." Dia ketawa lagi sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Lagian perampok gak bisa liat cewek gentayangan, Ja. Kalau lo gak mau berdiri di sini, gue rasa lo bisa masuk ke kamar lo sekarang."
Senja yang tadinya cemberut, kini tersenyum. "Iya juga, ya. Gue langsung bisa ke atas tanpa lewat pintu."
"Ya makanya tadi gue nolak ngantar lo. Lo bisa langsung ke sini tanpa harus ngeluarin uang buat beli bensin," sungut Aras.
"Perhitungan banget sama pacar sendiri."
Ketika sedang asyik berdebat, sorot lampu mobil membuat mereka mengalihkan pandangan. Kendaraan roda empat itu parkir di halaman rumah yang tak begitu luas. Pemilik kendaraan turun setelah dirasa mobilnya terparkir sempurna. Senyum simpul langsung menyambut Aras ketika perempuan itu berjalan ke arahnya.
"Eh, Aras. Mau mampir lagi ke kamar Senja?" Selena berhenti sejenak menatap wajah Aras lalu merogoh kunci rumah di dalam tas.
Aras terpaksa mengangguk ketika dipelototi oleh Senja. "Iya, Kak. Maaf ganggu."
Selena kembali tersenyum lalu membuka pintu lebar-lebar. "Gak pa-pa. Semenjak Senja gak ada, rumah ini sepi banget. Kalau ada kamu, Kakak malah seneng karena dulu kalau ada kamu, pasti ada Senja."
Aras tersenyum kecut. Memang benar, dia bersama Senja sekarang. Bedanya, Senja tak terlihat. Dia melirik gadis di sebelahnya yang kini sudah menangis entah kapan. Dilihatnya Senja tak mau bergerak, matanya terus tertuju ke Selena. Aras tahu, Senja ingin sekali memeluk kakaknya, maka dari itu dia memberi kode agar Senja langsung saja memeluk Selena.
Tanpa disuruh dua kali, ketika Selena baru saja menyalakan lampu, gadis itu sudah memeluk kakaknya erat-erat. "Kak, Senja rindu. Maafin Senja karena ninggalin Kakak sendiri."
Aras berpaling, tidak mau melihat pemandangan menyakitkan di depannya. Sementara Selena bingung, tiba-tiba dia merasa sesak. Cewek berumur akhir dua puluhan itu mengerutkan kening. Dia tidak pernah sesak napas seperti ini sebelumnya.
"Kakak, kok, sesak napas ya, Ras."
Selena mulai panik sementara Aras cuma bisa garuk-garuk kepala. Aras tidak mungkin bilang kalau Senja alasan dari sesak itu. Aras kemudian memberi kode kepada Senja agar menyudahi pelukan itu. Dengan berat hati, Senja pun setuju. Gadis itu tahu kalau kakaknya sesak napas, tetapi dia sangat rindu. Peluknya tidak akan mampu membayar rindu yang tertampung.
"Gimana, Kak? Udah enakan?" Aras ikut masuk ke ruang tamu, mengekori Selena.
Selena mengangguk. "Iya, nih. Mungkin Kakak kecapekan kali."
Senja berbisik ditelinga Aras. Cowok itu mengangguk. "Kata Senja, Kakak jangan kerja terus. Banyakin istirahatnya."
Selena mengernyit. "Kata Senja?"
"Senja selalu ngomong kayak gitu, kan, sama Kak Selena? Sekarang biar Aras yang ngingetin," ujarnya seraya membuka pintu kamar Senja.
Selena tersenyum sendu, air matanya perlahan turun ke pipi. "Iya, Ras. Senja selalu ngingetin Kakak biar gak kerja terus. Tapi, sampai dia pergi Kakak gak pernah patuh sama ucapannya. Sebelum Senja meninggal, Kakak kerja keras untuk menghidupi kita berdua. Sekarang Kakak kerja sebagai penghibur dan pengalih dari kesepian yang Kakak rasa." Selena menepuk pundak Aras. "Padahal Senja yang jauh lebih kesepian, Ras. Kakak tau kalau Senja kesepian tapi jarang luangin waktu buat dia. Makasih, ya, udah mau nemenin Senja."
Aras melirik Senja yang kembali menangis. Kalau seperti ini, bisa-bisa dia ikut menangis. Inilah alasan yang tidak mau Senja ketahui dari kakaknya. Alasan itu memperkuat bahwa hidup atau tidak dirinya tetaplah beban untuk Selena.
"Kakak istirahat dulu, ya, Ras. Kamu kalau pengen nginap, gak pa-pa nginap aja."
Setelah Selena masuk kamar, Aras menarik tangan Senja agar segera masuk ke kamar sebelahnya, kamar gadis itu. "Gue baru tau, lho, kalau ternyata hantu bisa ngeluarin air mata sebanyak ini."
Senja memukul bahu Aras. "Gue ... gue selalu ngerepotin Kak Selena, Ras. Gimana gue gak nangis. Hidup dan matinya gue gak membawa perubahan. Kak Selena tetap aja kerja keras."
Aras mengangguk seraya merangkul Senja. "Kehidupan orang dewasa, Ja. Kita gak pernah tau posisi mereka, apa yang mereka hadapi. Udah, ya, gak usah nangis lagi. Sekarang lo kangen-kangenan sama kamar aja."
Senja mengangguk lantas naik ke atas kasur dan merebahkan diri, sedangkan Aras duduk menghadap meja belajar. Barangkali dia bisa menemukan sesuatu melebihi kertas rahasia itu. Dia mulai mengutak-atik meja belajar, memerika buku tulis Senja satu per satu, membuka laci di bawah meja, bahkan dia berselonjor di lantai untuk memeriksa kolong meja belajar itu.
Aras menyerah. Dia kini berbaring di lantai sambil menatap langit- langit kamar. Dulu, waktu Senja masih hidup, dia pasti sudah membuat gadis itu mengomel karena mengganggunya habis-habisan saat mengerjakan tugas. Sekarang, lihatlah. Dia malah melihat gadis ambisius itu menatap baju-bajunya di lemari.
Aras balik badan hingga matanya menatap lurus kolong tempat tidur. Sedetik alisnya mengerut. Dia melihat benda seperti buku tergeletak di sana. Tanpa perlu berpikir dua kali, dia segera meraih benda itu yang untungnya masih bisa dijangkau.
Buku bersampul cokelat. Ada banyak foto Senja sendirian di sampul itu. Di bagian teratas buku tertulis "Hari-Hari". Dia bangkit, membawa buku itu ke hadapan Senja.
"Ja, lo ingat buku ini?"
Senja yang tadinya ingin meraih baju tidur malah tidak jadi. Dia meraih buku di tangan Aras, meneliti dengan saksama. "Gue cantik juga, ya, Ras. Pantesan lo mau sama gue." Gadis itu malah fokus melihat foto-foto di sampul, memuji dirinya.
Aras menepuk jidat, menyuruh Senja agar fokus pada isi buku, bukan fotonya. Senja mulai berpikir, mengingat sambil membuka tiap halaman buku. Setiap tanggal baru selalu ada nama berbeda yang menjadi pembuka tulisannya, tetapi dia tidak tahu orang-orang itu.
"Farhana Ayasa. Lo tau dia, Ras?"
Aras mengangguk, matanya kini ikut menatap tulisan di halaman pertama. "Farhana Ayasa teman sekelas kita. Lo gak ingat dia?"
***