"Mantan minta kebersamaan suruh hapus kenangan lalu hempaskan"
***
Gara-gara buku mantan yang bikin sial, jatah bulanan buat beli kuota jadi nambah. Mau nggak mau, kuota gratis memang jurus ampuh buat membungkam mulut comel adik semata wayangku.
Padahal gajiku tak seberapa, dan harus dibagi-bagi lagi untuk keperluan lain.
Menyimpan tas di loker khusus karyawan, aku lekas bergabung dengan karyawan lain untuk menata baju-baju.
Mencintai pekerjaan adalah hal yang paling indah. Sayangnya aku tidak terlalu suka pekerjaan yang mengharuskan kaki indah nan jenjangku berdiri lama untuk menunggu pelanggan yang datang. Kadang aku merasa ketiakku sudah berbusa, terasa basah juga lembab di sana. Yah, apa boleh buat, aku hanya tamatan SMA. Ijazahku saja hanya mampu diterima di sebuah toko diskon yang menjual baju dengan harga seratus ribu untuk tiga lembar baju.
Kemauan pindah memang ada, tapi aku tak tahu dari mana sisi nyaman yang kurasakan sehingga membuat aku masih menetap di sini. Aku bekerja dari pagi sampai siang bersama tiga orang di toko ini; Rio yang sering menggaruk kepalanya, Anita yang selalu menggunakan gincu tiap menitnya, dan ada Pika yang pendiam. Masing-masing menjaga dua baris baju.
Jam kerjaku dari Senin sampai Kamis dengan shift berbeda, sehingga aku masih punya waktu luang di akhir pekan untuk eksis di luaran sana.
Biasanya ada pelanggan yang datang dan bilang kalau pegawai di sini ramah-ramah. Suka tebar senyum sana-sini. Mereka tidak tahu saja kalau kami semua hanya berpura-pura demi tuntutan pekerjaan terutama aku. Harus senyum lebar walau hati lagi sedih kan rasanya nyesek.
Dapat kulihat ada dua orang yang sedang memilih-milih di tempat Anita. Mereka saling berbisik. Lalu mereka menuju ke tempatku dengan beberapa gantungan baju di tangan.
"Silahkan, Bu, dipilih-pilih," tawarku dengan senyum yang lebar.
"Jangan panggil Ibu, saya masih gadis," protes perempuan dengan rambut pirang blonde.
Kudengar teman di sebelahnya cekikikan. Memang ini membuatku terkejut. Perempuan ini sudah kelihatan berumur dan masih gadis? Bahkan hidungku bisa mencium bau balsem yang menguar dari tubuhnya.
"Maaf, Dek, teman saya memang suka risih dipanggil Ibu. Panggil dia Kakak saja," ucap teman di sebelahnya yang kelihatan masih muda.
"Oh, iya."
"Kami pindah ke sini, karena temen kamu yang di sana itu dari tadi ditanyain tapi nggak nengok-nengok juga. Dia lagi sibuk dengan moncongnya," keluh perempuan yang tak mau dipanggil Ibu.
"Maafin teman saya, Bu."
"Ck." Dia memutar malas bola mata, dan tingkahnya sama sekali tak cocok dengannya.
"Hmm, kami berdua mau minta pendapat menurut Adek. Lebih bagus baju yang merah atau yang kuning?" tanya perempuan satunya.
"Yang kuning saja," jawabku.
"Oh ya kuning ya, Dek."
"Eh, yang merah aja, Kak."
"Loh."
"Nggak deh, kuning aja. Tapi kalau dilihat-lihat motif yang merah lebih bagus."
"Jadi yang mana nih, Dek?"
Dapat kulihat mimik mereka berdua berubah menjadi merah, seperti kepiting rebus. Padahal di tempat ini tak panas sama sekali.
"Yang kuning atau yang merah ya?" pikirku menimbang.
"Ekhhhhh, udah-udah saya nyesel tanya kamu. Bukannya dapat jawaban kamu malah pinpong kayak gitu."
"Pinpong??"
"Plin plan maksud saya!"
Kemudian mereka berdua keluar setelah menaruh kasar baju itu. Mereka pergi sambil menyentak-nyentakkan kakinya. Mungkin mereka lagi latihan gerak jalan?. Jangan lupa dengan mulut mereka yang terus ngedumel. Orang zaman sekarang, pada cepat emosian.
Setelah mereka keluar pelanggan lain mulai berdatangan. Satu rejeki hilang, datang rejeki lain. Begitulah kehidupan.
***
Aku meregangkan kaki sambil duduk di salah satu warung pinggir jalan. Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaga. Aku tengah menunggu pesanan es buah. Hari ini memang tak terlalu panas, tapi aku benar-benar haus. Bahkan beberapa kali aku menelan liur saat melihat es batu.
"Ghita?" Suara itu mengagetkanku.
"Beneran Ghita? Kamu masih inget aku nggak? Doni!"
Kufokuskan mata melihat pria ini dari atas ke bawah. Pria itu tersenyum lebar di hadapanku. Penglihatanku mulai buram kurasa karena dehidrasi.
"Kok diem? Aku Doni, mantan kamu."
Mataku melotot sempurna.
"Apa! Mantan!" teriakku histeris, membuat sebagian pengunjung menatap ke arahku. Langsung saja aku berdiri hendak pergi, namun tanganku dicekap Doni tanpa permisi. Lupakan dehidrasi, karena bahaya sedang menghampiri.
"Kamu kenapa?" Doni menatapku dengan wajah yang sangat-sangat tidak aku sukai. Sebenarnya jika dia mengubah ekspresinya, maka jawabanku akan tetap sama. Jelek. Apa pun yang berhubungan dengan mantan itu semua terasa menjengkelkan.
Aku menepis kasar tangan Doni. Lalu keluar dari warung dengan berlari. Syukur saja pemilik warung tidak marah karena aku tidak jadi mengambil pesananku.
Doni masih mengejarku. Seluruh tubuh merasa dalam bahaya. Karena fisik tak kuat dan tak ada tempat sembunyi yang aku temui, Doni pun berhasil sampai mengejarku.
"Ghita kamu ... jangan lari dong," pintanya dengan napas memburu. Dapat kulihat raut lelah di wajahnya.
"Terserah aku. Jangan ngikutin lagi!" bentakku.
"Kamu kenapa sih?" ucapnya mendramatis.
Cih.
Menggelikan.
"Pokoknya jangan kejar aku lagi dan pergi dari sini!"
"Oke, aku bakal pergi ... kalau kamu mau jawab pertanyaanku."
Aku menatapnya dengan curiga. "Apa?"
"Gimana penampilan aku sekarang?"
Ini benar-benar membuat bibirku gatal untuk berkata kasar. Dia pikir aku akan tergoda melihat penampilannya. Dasar kanebo kering.
"Tetap sama. Postur yang PENDEK."
Memang benar, tingginya saja hanya sebatas bahuku.
"Badan boleh pendek tapi yang lain panjang kok," Doni memaju-mundurkan bibirnya.
"Maksudmu?"
Doni menatap ke arah bawah. Setelah kutahu maksudnya aku menjitak kepalanya dengan sangat keras.
"Dasar mesum!"
Doni masih menggosok-gosok kepalanya sambil meringis. Sekeras apa pun dia meringis tak akan aku berikan rasa belas kasihku. Ini menjadi kesempatan emas untuk pergi. Tapi aku punya ide yang lebih bagus, aku berteriak keras di hadapannya.
"Tolong! Ada orang gila di sini."
Orang-orang berkumpul di sekitarku. Doni keheranan. Aku menunjuk Doni sebagai orang gila. Bapak-bapak kemudian memegang tangan Doni. Tampak sedikit perlawanan dari Doni, tapi itu sia-sia saja. Aku berlari lalu naik kesalah satu jok tukang ojek yang ada di pinggir jalan. Berbalik dan menjulurkan lidah ke arahnya.
"GHITA! AKU BAKAL NGEJAR KAMU SAMPAI KAPAN PUN!" teriak Doni. Membuatku bergidik ngeri. Ini benar-benar mengerikan.
Dalam perjalanan pulang aku berdoa agar ini tak terjadi lagi. Aku menyesal sempat membiarkan bibir keringnya itu bicara.
***
Kuteguk beberapa gelas air saat tiba di rumah, dadaku kembang kempis juga keringat mengucur deras. Gara-gara ban meletus, aku harus berjalan ke rumah sambil masih merasa was-was. Ibu menatapku dengan heran. Aku menarik napas pelan-pelan, lalu kuembuskan cukup kasar agar aku bisa merasa tenang.
"Kamu kenapa Gilgil ??"
Aku mendelik mendengar sebutan 'Gilgil' yang merupakan panggilanku saat kecil. Memang, Ibu kadang-kadang memanggilku seperti itu. Ibu pernah bilang kalau aku suka sekali dengan nama itu. Lupakan masa lalu, karena aku benci nama itu sekarang.
"Ibu ... sudah berapa kali aku bilangin jangan panggil dengan nama itu. Aku kan, sudah besar, Bu." Aku menyentak kaki beberapa kali di lantai. Sebuah kebiasaan jika aku sedang kesal yang malah dianggap Ayah dan Ibu sebagai wujud kekanak-kanakkanku. Padahal itu kulakukan secara refleks. Menyebalkan.
Ibu hanya terkekeh. "Ibu ragu kalau kamu sudah besar. Coba Ibu lihat kamu udah punya bulu ketek apa nggak?" Ibu berjalan lalu menarik lengan bajuku. Dengan cepat aku mundur sambil menatap horor kearah ibu. Memang sangat aneh ibuku ini.
"Ibu, jangan sampai ... Ghita buat dosa ke ibu. Lagian Ibu apa-apaan sih. Emang bulu ketek jadi penentu seseorang sudah besar?"
Aku menatap malas ibuku dan menyapu lembut dadaku sambil mengulang kata sabar dalam hati.
"Tidak juga, Ibu ingin memastikan. Lalu kamu kenapa? Kok kayak abis dikejar-kejar ayam?"
"Kok ayam, Bu? Kan, biasanya anjing?"
"Oh iya, Ibu lupa. Nama mereka hampir sama sih. Wajar Ibu salah."
Dahiku mengerut.
"Terserah Ibu deh, aku makin pusing. Tadi itu ada masalah di jalan," kataku sambil berlalu dari Ibu sebelum bertanya ini itu yang biasanya membuatku stress untuk menjawabnya.
Hari ini benar-benar hari yang sial.
***
Lanjut kak
Comment on chapter ✨ DDM [1]✨