Setelah hampir satu jam Chayra menunggu Alditya di sebuah kafe. Chayra mulai merasa bosan. Ia pun melihat langit yang mulai mendung. Dari balik jendela kafe. Diraihnya ponsel yang sudah sedari tadi teronggok di atas meja.
Berharap mendapat pesan notifikasi dari Alditya. Namun, tidak kunjung Chayra dapatkan.
Padahal sebelumnya, cowok itu berjanji untuk menemui Chayra usai kelas yang ia ikuti selesai. Chayra masih menunggu dengan posisi yang sama. Duduk termangu memperhatikan pintu kafe yang pada bagian atasnya terpasang sebuah lonceng. Berharap cowok yang ia tunggu membuka pintu kafe dan datang menghampirinya.
Tidak sabar lagi menunggu. Pada akhirnya Chayra meraih ponselnya. Mencari nomor telepon Alditya dan menekan tombol berbentuk telepon. Sayangnya hanya suara operator yang Chayra dengar.
Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi, silakan coba beberapa saat lagi.
Chayra berdecak kesal. Ia memijat pelipis yang terasa bedenyut membuatnya terasa pusing. Mood Chayra mendadak tidak baik. Pada akhirnya Chayra kembali menghubungi Alditya.
'Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi, silakan coba beberapa saat lagi.'
'Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi, silakan coba beberapa saat lagi.'
Pantang menyerah Chayra kembali menghubungi Alditya. Padahal sudah jelas jika nomor Alditya tidak dapat dihubungi.
'Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi, silakan coba beberapa saat lagi.'
"Nomor yang anda tuju sedang menelepon pacar baru," ucap Tafila yang datang tiba-tiba. Dan duduk tepat dihadapan Chayra.
Chayra menatap malas pada Tafila. Chayra bangkit kursinya. Seolah telah menghindar dari seorang penganggu. Tangan kanan Chayra bergegas menyampirkan tas berwarna peach-nya di bahu. Ketika Chayra hendak pergi, Tafila mengapai tangan Chayra. Tetapi, Chayra menepisnya. Chayra pun bergerak menuju pintu kafe.
"Mau sampai kapan lo marah sama gua? Marah sama orang gak baik lho, apalagi lebih dari tiga hari."
Chayra berhenti melangkah. Dan menoleh. Membuat Chayra dan Tafila saling menatap. Seakan menyadari kebenaran ucapan Tafila. Cowok itu benar, mau sampai kapan ia marah. Dan kecanggungan mulai terjadi.
Sudah hampir dua bulan lebih Chayra menjauh dari Tafila. Membuat mereka tidak saling kenal. Setiap kali Chayra bertemu Tafila, cewek itu selalu menghindar. Seakan bertemu dengan hantu yang menakutkan.
"Ra?" Tafila mengatupkan bibirnya.
"Sorry, gua ada urusan."
Tafila tertegun. Tidak lama suara petir mengelegar hebat dan hujan pun turun dengan deras. Layaknya hujan yang merindukan bumi, rasa rindu Tafila bercengrama dengan Chayra.
Seketika langkah kaki Chayra pun terhenti. Ia memutuskan untuk tidak pergi. Kini, Chayra kembali duduk. Tafila yang menyadari hal tersebut tersenyum semringah. Namun, senyuman itu harus lenyap lantaran ia melihat raut wajah dingin Chayra.
"Hujannya deras. Biasanya akan lama," ucap Tafila untuk menghilangkan keheningan di antara mereka.
Chayra tidak menjawab. Ia terfokus memperhatikan hujan, memangku dagu dengan tangan kanan di atas meja. Sesekali manik mata Chayra melirik ponselnya berharap sebuah pesan masuk yang mengabarinya jika Alditya akan segera datang.
"Gua denger lo, sekarang udah punya pacar ya?" Tetapi cewek dihadapanya itu tidak merespon sama sekali.
Tafila kembali membuka percakapan. Percakapan yang sebenarnya Tafila sudah tahu sendiri jawabnya. Dari beberapa kabar yang sempat ia dengan melalui teman sekelasnya. Jika, Chayra menjalin hubungan dengan seorang mahasiswa dari Fakultas Komunikasi. Tafila sibuk mengatur napas.
"Sebegitu bencinya ya lo, sama gua?" Chayra melirik mendengar nada ucapan Tafila. Ia menjadi merasa bersalah.
"Maksudnya?"
Tafila terdiam sejenak. Berusaha memikirkan kata yang tepat agar tidak salah berujar. Ia tidak ingin jika Chayra semakin menjauh darinya. Perasaan kesedihan serta kehilangan bertahun-tahun yang sudah berakar akan memakin parah.
"E—" Tafila mendadak gagu. "Engga kok!"
Bibir Chayra melekuk menampilkan senyum manis. Tafila menaikkan sebelah alis. Bingung dengan perubahan sikap Chayra.
"Sorry ya. Gak seharusnya gua semarah itu sama lo."
Tafila mengubah posisi duduknya. Melipat kedua tangan di atas meja dan tatapan termangu pada Chayra. Tanpa aba-aba Tafila mengusap mengacak rambut Chayra.
Sekian detik berlalu usai Tafila mengusap pucuk kepala Chayra. Dan ia masih tersenyum lebar.
"Jadi lo maafin gua?" tukas Tafila.
"Iya. Maafin gua juga, ya?"
"Tanpa lo minta. Gua udah maafin kok."
"Makasih."
Tafila mengangguk. Chayra tersenyum kaku. "Oh iya. Ngomong-ngomong, lo ngapain di sini?"
Chayra bergeming sejenak sebelum akhirnya berkata, "Nunggu orang."
"Pacar lo, ya?" Chayra mengangguk malu.
"Anak mana?"
"Komunikasi."
"Udah lama?"
"Mau dua bulan," cakap Chayra. Tafila mengangguk.
"Oh iya. Congrats ya, Tafila," tukas Chayra. Ia tersenyum pada Tafila seraya mengulurkan tangannya.
"Untuk?" Tafila bertanya bingung.
"Terpilihnya lo, jadi duta kampus!" seru Chayra. Tafila sontak tertawa.
"Kenapa, Salah ya?"
Tafila segera melengang kuat. Ia pun membalas uluran tangan Chayra.
"Engga kok. Thanks ya!" Chayra tersenyum ramah.
Hujan deras sudah berhenti. Tafila menatap keluar jendela. Sedangkan Chayra masih berharap Alditya membalas pesannya.
"Hujannya udah berhenti. Pulang bareng yuk?"
Chayra menatap ragu pada Tafila. Ia sebenarnya sudah lelah menunggu Alditya di kafe, yang tidak kunjung datang. Ingin pulang, tapi bagaimana jika Alditya datang? Pikiran Chayra terus berputar.
"Masih nunggu pacar, lo?" Tafila mengangkat sebelah alisnya. Dan melirik pada jarum jam dipergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul lima sore.
"Ini, udah jam lima. Masih mau nunggu?" Chayra membisu.
Tafila yang saat itu sudah berdiri, ia pun kembali duduk. "Gua tungguin deh. Sampai pacar lo datang."
Chayra membelalakkan mata. Ia pun berkata, "Engga usah. Kalau mau duluan, gak apa-apa. Gua bisa sendiri kok."
"Engga kok. Santai aja."
Chayra mengedarkan pandangan menatap sekeliling kafe. Dan manik matanya kini beralih kembali pada ponsel pintarnya. Menekan tombol power dan memastikan apakah ada pesan notifikasi dari Alditya. Namun ternyata tidak ada.
"Tafila?" panggil Chayra, usai tidak ada percakapan di antara mereka. Karena, mereka memilih fokus kepada ponsel masing-masing.
"Iya, kenapa?" jawab Tafila, ia mengalihkan pandangan mata dari layar ponsel.
"Pulang aja, yuk?" Chayra memasukkan ponsel ke dalam tas dan mengenakan tasnya.
"Lo, bukannya nunggu pacar lo?"
"Dia kayaknya sibuk. Engga bisa datang." Tafila menatap Chayra bingung.
Chayra pun bangkit dari kursi. Ia menarik pucuk jaket denim yang Tafila pakai. Tafila terdiam sejenak ketika Chayra menarik lengan jaketnya tiba-tiba, ada perasaan cangung yang ia rasakan. Namun, cowok itu melilih menghilang rasa cangung itu. Dan menuruti Chayra tanpa banyak bertanya.
Derai rintik hujan kembali turun. Tafila menepikan motor di bawah sebuah terowongan. Tidak ingin jika hujan turun dengan deras tanpa persiapan. Bisa-bisa baju yang kenakan basah kuyup. Tafila dan Chayra segera turun dari motor.
"Kita neduh dulu, ya? Gua lupa bawa jas hujan."
Chayra mengalihkan pandangan pada Tafila yang saat itu mengajaknya berbicara. Ia pun mengangguk setuju. Tidak lama Chayra mengusap kedua telapak tangan karena merasa kedinginan.
Chayra memperhatikan hilir mudik kendaraan yang tidak menepi. Tatapan Chayra seketika menjadi serius kala melihat sebuah mobil dengan kaca terbuka. Terlihat dari jarak yang cukup dekat Andrian bersama seorang cewek.
Berkali-kali Chayra mengusap kedua mata. Chayra mengigit bibir bawah saat mobil tersebut berhenti tepat dihadapanya karena, kemacetan yang melanda.
Sesak terasa begitu dalam melihat Alditya ternyata benar-benar bersama seorang cewek yang tampak tidak asing bagi Chayra. Alditya di dalam mobil terlihat sangat akrab berbincang dengan cewek itu.
"Ra, hujan udah reda. Kita jalan sekarang, yuk?" Chayra terkesiap tatkala Tafila memegang pundaknya secara tiba-tiba.