"Gua sayang sama lo--" Alditya menatap lekat pada cewek yang duduk dihadapanya itu. "Lo mau gak jadi pacar gua?" ujar Alditya mantap.
Tetapi, cewek dihadapanya itu tidak kunjung menjawab. Alditya melihat cewek itu dengan penuh harapan. Sorot mata kebingungan tampak sangat jelas terlihat pada cewek yang baru saja mendengar pernyataan cinta dari Alditya.
"Yan ... Ini ketiga kalinya lo bilang itu ke gua." Cewek itu menatap es teh manis sembari mengaduknya dengan sedotan.
"Jawabannya masih sama ya?" tanya Alditya memastikan.
Cewek itu mengangguk. Ia semakin tidak paham dengan pemikiran Alditya serta perasaanya.
Haruskah dia? Memangnya tidak ada yang lain?
Alditya menunduk pasrah. Cewek yang mengenakan sweater pink tersebut mengusap punggung tangan Alditya. Berusaha menenangkan.
"Kita masih bisa jadi sahabat kok," sambung cewek itu.
Alditya menghela napas. Mengalihkan pandangannya sebentar, lalu kembali menatap dan berkata.
"Aku akan selalu menunggu kamu kapan pun itu Cerelia."
Jantung Cerelia seakan berhenti berdetak. Perasaan bersalah semakin bersarang saat cowok dihadapanya yang bernama Alditya itu mengucapkan kalimat itu. Cerelia membuang pandangan dari Alditya yang masih saja tersenyum manis. Padahal cewek yang bernama Cerelia baru saja menolaknya untuk kesekian kali.
"Permisi pesanannya."
"Oh iya Mbak. Terima kasih ya!" jawab Alditya.
"Di makan yuk.." Cerelia mengangguk.
Seharusnya Alditya marah, seharusnya Alditya bersikap seolah tidak ingin lagi mengenal Cerelia dan menjauh dari cewek yang sudah menolaknya. Seperti saat ia ditolak oleh cewek lain. Namun, hati Alditya berkata lain. Ia sangat sulit untuk menjauh dari Cerelia. Cewek yang sudah ia taksir sejak awal perkuliahan.
Dari sekian banyaknya cewek di muka bumi. Mengapa takdir semesta harus terus menautkan hatinya pada cewek ini?
***
Chayra menopang dagu dengan kedua tangannya. Ia mengerucutkan bibir sambil mengumpat kesal di dalam hati. Sudah hampir satu jam perkuliahan terasa memuakkan.
Chayra menatap jengah pada Nala, si Mahasiswi yang sangat aktif dalam bertanya saat perkuliahan berlangsung. Memang sangat bagus untuk aktif di dalam perkuliahan. Namun, apa harus terus-menerus bertanya kepada teman yang sedang berpresentasi. Padahal dia sudah kali keempat bertanya. Rasanya terkesan menyudutkan pemateri dan seakan hanya untuk menguji pengetahuan pemateri.
'Bertanya boleh tapi apa harus berlebihan?' batin Chayra.
Chayra melempar pandangan kesegala arah. Ia melihat raut wajah teman-temannya yang sama seperti dirinya. Sudah mulai bosan, mengatuk dan ingin segera mata kuliah Geografi Regional Indonesia segera berakhir.
Chayra termenung. Kini, tatapannya telah berpindah ke arah jendela. Menatap seonggok pohon yang menjulang tinggi semampai. Dengan daun yang bergoyang ke sana kemari mengikuti angin. Pohon tersebut selalu menjadi pemandangan yang selalu menarik perhatian Chayra, dikala ia bosan dengan perkuliahan yang sedang berlangsung.
"Oke sekian presentasi dari kelompok kami. Kurang lebihnya mohon maaf. Terima kasih."
Kelopak mata Chayra terbuka lebar, ia tersenyum senang. Sesudah mendengar kalimat tersebut yang keluar dari pemateri. Chayra menarik napas panjang. Dengan cepat Chayra mengemasi barang-barang yang tergeletak di atas mejanya ke dalam tas.
"Oke. Saya rasa perkuliahan kali ini cukup. Dilanjutkan pada pekan esok," ucap Bu Amira.
Setelah Dosen menyudahi perkuliahan. Seluruh mahasiswa pun bergegas untuk meninggalkan ruang kelas termasuk Chayra. Namun, saat Chayra hendak pergi dengan keempat temannya. Tafila memanggil namanya.
"Chayra tunggu!"
Tafila menghadang jalannya. Chayra melirikkan matan dan menghentikan langkah kakinya. Tubuh Chayra menghadap ke arah Tafila.
"Kenapa?"
Tafila memberikan sebuah buku yang bersampul bunga-bunga kepada Chayra. Dixita yang saat itu melewati mereka pun berhenti tatapan tertuju pada sebuah buku bersampul bunga-bunga.
"Thanks ya bukunya. Udah gua fotokopi semua. Semoga aja pas UAS nanti gua bisa belajar pake catatan lo."
"Hah? Lo pinjem buku dia?" Dixita mengantungkan kalimatnya. Menatap sinis pada Chayra.
"Ngapain sih lo pinjem buku ke dia. Yang ada nanti pas UAS lo salah semua jawabannya. Orang kaya dia gak bakal bisa sukses.Tafila, lo salah pinjem buku catatan ke orang," ujar Dixita mengebu.
Mata Tafila membundar sempurna ketika dirinya mendengar ucapan Dixita. Kepala Tafila menoleh ke samping. Melihat Chayra. Mendadak otaknya terasa beku, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Setengah hati Chayra menerima kembali buku catatannya itu. Dan segera memasukkan ke dalam tas.
Mulut Chayra membuka dan ingin bersuara. Tapi, kembali ia tutup rapat-rapat. Diganti dengan tersenyum miris karena, tidak menanggapi perkataan Dixita. Ada pedih yang terasa menyakitkan di hatinya. Bukan tidak bisa menyanggah ucapan Dixita namun, sedari awal ia mengenal cewek itu, sikapnya sudah seperti itu. Suka merasa tinggi hati dan menganggap orang lain rendah.
Suasana menjadi hening seketika ketika Dixita mengucapkan kalimat menyakitkan hati kepada Chayra. Teman-temannya pun juga bergeming. Tak ada satu pun yang berniat hati untuk membelanya.
Chayra langsung menyampirkan ransel berwarna peach di atas bahu.
"Gua duluan," ungkap Chayra. Tanpa basa-basi ia pun langsung melangkah meninggalkan kelas.
Chayra menekan tombol lift yang hampir saja terlewat jika saja ia tidak buru-buru berlari. Perlahan Chayra masuk ke dalam lift menuju lantai satu. Begitu juga dengan Tafila.
"Chayra!" teriak Tafila.
Tanpa menjawab panggilan Tafila, Chayra kembali melangkah pergi. Ia tidak tahu harus berjalan ke mana. Hatinya masih bergemuruh dan pikiran masih bercakar dengan ucapan Dixita.
"Lo gak apa-apa?" tanya Tafila pada Chayra. Ia sengaja mengekori Chayra.
Chayra berhenti ketika mendengar ucapan Tafila. "Bisa gak. Gak ngikutin?" tanya Chayra penuh penekanan.
Tafila mengelengkan kepalanya. Chayra mendengus kesal. Menghentak kaki kanannya yang sangat terdengar dengan keras, sebab loby Fakultas Sains saat itu sangat sepi. Chayra meneguk salivanya ketika beberapa orang yang berada di loby sontak melihat ke arah Chayra akibat hentakan keras dari kakinya.
'Aduh!' umpat Chayra.
Chayra yang sadar menjadi pusat perhatian. Ia memilih untuk segera pergi dari loby, ia melangkah dengan cepat. Tafila tak mau kehilangan Chayra maka, ia pun menyusul Chayra.
"Makan bareng yuk!" Chayra hanya melirik Tafila. Lagi-lagi ia tidak menjawab.
"Ini udah lewat jam makan siang lho." Tafila menyejajarkan langkah kaki dengan Chayra.
Chayra membenarkan perkataan Tafila. Memang benar jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Dan benar juga perut Chayra sudah berbunyi serta menahan lapar sedari tadi.
"Makan bareng yuk? Ya ... Ya ...?" pinta Tafila dengan wajah memelas.
"Ya udah iya," kata Chayra dengan raut wajah datarnya.
Senyum lebar terlihat dibibir Tafila. Setelah ia mendengar perkataan Chayra.
"Mau makan di mana?" tanya Tafila bersemangat.
"Bebas."
Tafila mengelangkan kepala, sambil tersenyum simpul. 'Ternyata dia sama saja dengan cewek lain jawabannya. Bebas-bebas terus, emangnya lagi di penjara? Bebas-bebas.'
Kaki Chayra dan Tafila melangkah masuk ke dalam sebuah warung sederhana yang menyajikan berbagai macam makanan. Suara alunan musik akustik langsung mengema di kedua telinga mereka. Kepala Tafila menoleh ke kiri setelah matanya melihat dua buah tempat duduk yang kosong.
Tepatnya pada sebuah meja yang terletak di pojok ruangan dekat dengan sisi jendela. Sehingga, mereka bisa melihat lalu lalang orang-orang yang melintas di jalan.
"Mau pesan apa?"
Mata Tafila menengadah melihat Chayra yang tengah asik melihat-lihat daftar menu. Tak lupa tangannya yang sejak awal sudah siap untuk mencatat pilihan menu.
"Gua mau. Mie ayam aja, sama es teh manis."
Tafila mengangguk, ia dengan cekatan menulis pada kertas yang telah disediakan. Kini, giliran dirinya yang memilih menu apa yang ingin ia pesan.
Satu mie ayam.
Satu nasi goreng spesial.
Dua es teh manis, tapi jangan terlalu manis soalnya yang pesan sudah manis.
Usai menuliskan menu yang ingin dipesan Tafila menganggakat tangan tinggi-tinggi. Berharap pelayan segera datang untuk mengambil kertas yang telah berisi menu pesanannya.
Tetapi pelayan warung makan tak kunjung datang. Pada akhirnya Tafila yang tidak suka menunggu menghampiri meja kasir. Dengan celemek berwarna merah yang sudah terikat manis dipinggang. Pelayan warung menyapa Tafila dengan ramah. Tafila segera memberikan kertas tersebut dengan senyum ramah.
"Satu mie ayam.
Satu nasi goreng spesial.
Dua es teh manis, tapi jangan terlalu manis soalnya yang pesan sudah ma—" Pelayan tersebut menyernyitkan keningnya sambil menahan tawa ketika ia hampir selesai membacakan pesanan.
"Sudah itu saja?" dalih pelayanan itu. Tafila mengangguk pasti.
"Mohon ditunggu ya."
Setelah memesan Tafila menghampiri Chayra yang tengah duduk pada kursi yang telah tersedia. Chayra menatap hilir mudik orang-orang dari balik kaca jendela.
Tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Lebih tepatnya Chayra yang sama sekali tidak berniat berbicara. Tafila yang merasa bosan pun akhirnya memberanikan diri untuk membuka obrolan.
"Gua tebak. Lo pasti, lagi mikirin ucapan Dixita 'kan?" selidik Tafila
'Ya memang ... Eh, kok dia tau?'
Chayra diam tidak menyahut. Berusaha mencerna perkataan yang baru saja keluar dari mulut Tafila. Melalui sudut mata Chayra, Tafila tahu bahwa cewek dihadapanya ini sedang tidak baik-baik saja.
"Omongan orang lain emang selalu mengusik pikiran ya? Padahal yang habis berucap seperti itu gak pernah memikirkan ucapan yang keluar dari mulutnya," tutur Tafila.
Mata Chayra memandang ragu pada Tafila. Semua tentang ucapan Dixita mendadak berputar-putar dipikirkannya.
"Udah, hidup itu dibawa santai aja. Mereka mau bilang apa harus dianggap angin lalu, karena perkataan mereka gak benar menurut kita. Beda lagi kalau menurut lo benar. Semangat!" ucap Tafila kembali.
Kali ini Tafila menepuk bahu kanan Chayra. Dengan tatapan penuh semangat. Ucapan Tafila sukses membuat senyum simpul nan malu-malu dibibir Chayra.
Chayra sungguh tidak bisa paham dengan cowok dihadapanya ini. Yang selalu mengerti akan makna memanusiakan manusia. Yang selalu tahu bagaimana membuat Chayra menjadi lebih bersemangat menghadapi dunia.
"Makasih ya, Tafila."
Pandangan Chayra berpindah kala makanan yang ia pesan datang. Dengan cekatan pelayan meletakkan piring serta gelas di atas meja mereka.
"Silakan pesanannya."
"Terima kasih," ungkap Tafila dan Chayra bersamaan.
Tafila mengambilkan sendok serta garpu untuk Chayra. Setelah itu mengambil sendok dan garpu untuk dirinya sendiri. Melahap nasi goreng dengan cepat. Lalu, mengambil tissu yang telah disediakan dan mengusapnya pada bibir. Dan ia meminum es teh manis yang telah dipesan.
Kedua bola mata Chayra menatap Tafila tanpa berkedip. Semua makanan yang baru saja dipesan habis dengan cepat dan sangat bersih.
Tafila yang menyadari bahwa ia ditatap oleh Chayra mendelik bingung.
"Kenapa?"
Buru-buru Chayra mengelengkan kepala. Pandangan mata Chayra pun beralih menatap mie ayam yang ia pesan. Chayra kembali melahap mie ayam yang masih utuh karena terperangah melihat cara makan Tafila. Sedangkan Tafila terkekeh. Mulutnya sekarang asik meminum es teh manis.