Mata Tafila memincing ia mengamati rumah yang kemarin baru saja ia datangi untuk meminjam buku. Sudah hampir satu tahun cukup kenal dengan Chayra. Baru hari kemarin ia tahu jika rumah yang selalu ia amati dan menjadi kenangan masa kecilnya itu adalah rumah Chayra. Semesta memang selalu tidak bisa ditebak.
Saat asik mengamati rumah berpagar putih itu seseorang memergokinya. Ia datang dan membuka pintu pagar.
"Tafila?"
"Lo, kenapa bisa di sini?"
Tafila tersenyum tipis dan terkekeh pelan. "Lo pesen ojek online, kan? Dan akang ojeknya itu, gua!"
Chayra menutup pintu pagar setelah keluar dari halaman rumah. Kening Chayra berkerut, mendengar penjelasan singkat Tafila. Wajah Chayra tampak terkejut. Ia pun mengecek ponselnya memastikan apakah benar apa yang dikatakan cowok dihadapannya.
"Ha? Ini lo? Tafila Rayhana?"
"Gua kira—" Chayra sekilas melihat perubahan wajah Tafila saat ia mengantung ucapan.
"Gua dapet driver cewek," jawab Chayra.
Tafila mengangga tidak percaya. Ia menepik keningnya. "Tafila Rayhan. Bukan Rayhana."
"Main ganti nama orang aja. Buatin gua bubur merah putih atau nasi kuning lah kalo gitu," cetus Tafila.
Chayra menelan ludah. Ia mengaruk tenguknya yang tidak gatal. Sementara Chayra masih terdiam tidak enak akibat ucapannya sendiri. Tafila mengambilkan helm di dalam jok motor untuk Chayra kenakan.
"Ya maaf deh. Hehe..." cetus Chayra tak enak hati. Kemudian Chayra terdiam.
"Nih helm-nya."
Merasa tidak digubris oleh Chayra—Tafila meletakkan helm di atas jok motor scoopy-nya Dan menepukkan kedua tangan di depan wajah Chayra. Chayra terkekeh dan bangun dari lamunan.
"Bengong aja! Biasa aja ngeliatin gua-nya. Gua tau gua ganteng maksimal!"
Chayra mengernyit dan hendak protes, namun dengan cepat telunjuk Tafila sudah menyumpal bibir Chayra hingga cewek itu kesal. Tafila pun menarik tangan kanan Chayra dan memberikan helm.
"Cepetan pake nanti kita telat!"
Chayra pun mengangguk. Ia segera mengenakan helm dan mengaitkan pengaitnya. Dan lekas duduk di jok belakang motor Tafila. Dan cowok pun menyalakan mesin motornya saat sudah menanyakan pada Chayra apa dia sudah duduk atau belum.
"Oke. Kita ready?"
"Go!" Tafila bertanya pada Chayra, tetapi cowok itu yang menjawab sendiri.
Ditengah perjalan Tafila mengajak bicara Chayra. Namun, sepertinya Chayra tidak terlalu mendengar karena terhalang oleh helm.
"Ha?!" ucap Chayra.
"Kenapa?"
Tafila tersenyum-senyum kecil. Ia tidak mengajak bicara Chayra. Cewek itu malah bertanya.
"Apaan gua gak tanya apa-apa!" jelas Tafila.
"Oh kirain."
Lagi-lagi ia dibuat gemas pada cewek dengan wajah datar tanpa ekspresi yang kini duduk di belakangnya ini. Cewek yang terkadang bersifat judes dan terkadang memiliki sifat yang baiknya tidak tergolong. Jantung Tafila pun tiba-tiba berdetak dengan cepat akibat tanpa sadar memikirkan serta mengamati Chayra dari balik kaca spion motornya.
Beruntungnya Tafila tersadar jika tidak bisa-bisa mereka tidak sampai ke kampus melainkan mampir ke rumah sakit. Tafila pun menghentikan laju motor saat hampir sampai di terminal kampung rambutan. Tempat biasa Chayra menunggu bus untuk ke kampus.
"Kenapa berhenti? Kan masih agak depan terminalnya?" tanya Chayra tepat di samping telinga Tafila yang tertutup oleh helm. Sengaja, supaya Tafila dapat mendengar jelas. Tafila refleks memiringkan kepala
"Kita bareng aja ke kampus. Lo bareng gitu, kan searah," elak Tafila.
Chayra terlihat sejenak berpikir dengan ajakan Tafila. Ia mengigit bibir tipisnya, sedikit ragu.
"Tapi 'kan gua pesennya cuma sampe kampung rambutan?"
Tafila terkekeh mendengar ucapan Chayra. Ia lantas tertawa terbahak-bahak. Kemudian, ia berhenti tertawa dan menarik napas sebelum berkata, "Ya ampun raaa. Tenang-tenang gua matiin nih aplikasinya terus ceklis kalo udah selesai narik penumpang."
"Tapi—"
"Udah gak usah tapi-tapian. Mumpung searah nih ra! Rejeki gak boleh ditolak!"
"Nih gua udah selesai non-aktifin aplikasi. Sekarang kita jalan! Oke? Oke dong!"
Chayra mengembuskan napas. "Iya deh," jawab Chayra pasrah. Tafila tersenyum kecil. Ia mengeleng-gelengkan kepala.
Satu jam berlalu dan akhirnya mereka sampai di kampus dengan selamat. Tafila mengusap-usap telapak tangan ke paha guna menghilangkan keringat yang berada di telapak tangan usai berkendara jauh. Tafila menurunkan standar motor dan mematikan mesin motor serta mencabut kunci dari lubang stopkontak. Memasukkan kunci ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan.
Chayra masih menunggu Tafila di belakang motor. Hendak membayar uang jasa ojek Tafila.
"La. Ini uang ojeknya," kata Chayra saat Tafila membalikkan tubuh.
"Eh—" Tafila memundarkan tubuh dengan kedua tangan melambai-lambai. Tanda menolak.
"Engga usah ra. Kita kan temen dan searah."
Wajah Chayra berusaha seketika. "Engga. Mana ada. Tadi kan gua pesen ojek sampai kampung rambutan. Jadi, ini uangnya!"
"Engga ... Engga ra."
"Terima ga? Atau gua marah!"
Tafila mengalihkan pandangan. 'mampus gua!' Tangan Tafila pun dengan sopan mengambil uang itu dari tangan Chayra.
"Oke gua terima ya?" tukas Tafila yang diberi anggukan kepala oleh Chayra.
"Kalo gitu gua duluan ya?" tanya Chayra.
"Oh iya. Makasih ya, Ra!"
"Makasih juga ya, La!"
Chayra pun melangkahkan kaki pergi menuju kelas. Meninggalkan Tafila yang masih duduk di atas jok motornya. Dalam diam Tafila menatap punggung mungil Chayra. Cowok itu merasa ia sudah mengenal Chayra sejak lama. Atau mungkin benar dugaan Tafila, bahwa Chayra adalah seseorang dari masa lalunya. Tapi, Tafila tidak ingin menaruh banyal harap. Karena berharap lebih dan tidak sesuai kenyataan pasti jatuhnya sakit, kan?