Terima kasih telah singgah
Walau nyatanya hanya sebentar
Terima kasih telah hadir dalam hidupku
Walau nyatanya hanya membuat sakit
Terima kasih telah membuat hati ini terbang ke langit
Walau nyatanya hanya di jatuhkan kembali
Terima kasih untuk semua rasa ini yang telah kamu beri padaku
Walau nyatanya hanya aku yang pada akhirnya akan terlupakan dan di lupakan olehmu
---
Sudah hampir satu jam Chayra berada di perpustakaan setelah ia beranjak dari kafe. Tangannya memeluk sebuah novel yang berjudul Hujan Bulan Juni sebuah novel karya Sapardi Djoko Damono. Yang ia temukan di antara beberapa jajaran buku di rak novel perpustakaan.
Kini, Chayra menuju meja peminjaman buku. Ia mengeluarkan kartu tanda mahasiswanya dari balik casing handphonenya. Menyerahkan kartu tersebut kepada petugas perpustakaan untuk discan.
Chayra melihat jam dipergelangan tangan yang menujukkan pukul setengah lima sore. Usai meminjam novel, Chayra memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Mengingat tidak adanya jadwal yang mengharuskannya untuk pergi ke basecamp Lingkar Pena.
Chayra berjalan menuruni tangga guna mengambil tasnya yang berada di lantai dua. Tempat penitipan tas. Ketika sampai, ia merogoh saku celananya mengambil kunci loker bernomor B-071.
Langkah kakinya kini menuju sebuah halte bus yang terletak di depan kampusnya. Chayra memilih duduk pada bangku yang tersedia di halte. Menunggu bus metromini biasanya akan lama jika sore hari.
Setelah bus metromini yang ia tunggu datang, ia pun langsung masuk. Saat masuk ke dalam bus, Chayra melirik ke kanan serta ke kiri mencari tempat duduk. Namun, tidak ada tempat duduk yang terletak di bagian depan bus. Pada akhirnya Chayra melangkah menuju ke belakang bus. Memilih duduk di samping jendela.
"Ongkosnya dek?" ucap seorang kernet bus yang memainkan uang receh pada telapak tangannya.
Chayra membuka tas ransel berwarna peach-nya. Merogoh tas tersebut mencari uang lima ribu rupiah. Setelah mendapatinya, ia langsung memberikan uang tersebut pada kernet bus.
Chayra mengeluarkan novel yang baru saja ia pinjam di perpustakaan kampus. Karena merasa penasaran, ia memutuskan untuk membaca novel tersebut di dalam bus.
Tak lama bus pun berjalan lambat sebab, menaikkan penumpang. Seseorang yang mengenakan jaket hoodie abu-abu masuk ke dalam bus. Chayra hanya melihat sekilas lalu, kembali fokus membaca novel.
Alditya mengulum senyumnya. Ia menghampiri Chayra, setelah melihat cewek itu yang tampak asik sedang membaca sebuah buku. Ia beranikan diri untuk duduk di samping Chayra yang kebetulan kursi bus tersebut tidak ada yang menempati.
Alditya membenarkan posisi duduk. Ia berdeham, namun cewek di sampingnya itu mengabaikannya. Ia pun tersenyum tipis. Matanya melirik diam-diam pada Chayra, penasaran dengan apa yang sedang dibaca oleh cewek itu.
'Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono.' gumam Alditya.
"Kamu suka baca karyanya Eyang?" tanya Alditya.
Yang ditanya seketika menghentikan kegiatan membacanya. Menoleh ke sumber suara.
"Eh—" Chayra menatap Alditya terkejut. Ia tidak menyadari akan kehadiran Alditya. "Eyangnya siapa?"
Alditya tertawa gemas. "Ya eyang. Pak Sapardi Djoko Damono biasanya dipanggil eyang."
"Tapi sekarang beliau udah di surga." terang Alditya.
"Innalilahi." Chayra pun terdiam tanpa kata. Dan melanjutkan kembali membaca novel.
"Suka banget sama karya eyang?"
Chayra menghembuskan napasnya berat. Ia pun memutuskan menutup novel yang sedang dibacanya.
"Belum tahu. Baru mau baca karyanya," jawab Chayra kikuk.
"Gua harap si, lo suka." sahut Alditya.
"Kalau boleh saran sih, lebih baik baca novel yang kamu pegang itu jangan ditempat umum. Bahaya soalnya," ujar Alditya tiba-tiba.
Chayra termenung mendengar ucapan Alditya. Kedua alisnya tertaut.
"Kenapa begitu?"
"Soalnya buat perasaan gak keruan!"
Chayra mengerut dahinya menatap Alditya. Tidak biasanya ia ramah seperti ini.
"Kakak sendiri suka banget sama karya Pak Sapardi?"
Alditya mengangguk semangat. "Ba—" ucapnya terhenti ketika kenek bus meminta ongkos padanya.
Alditya merogoh saku jaket hoodie yang ia kenakan. Memberikan selembar uang lima ribu rupiah.
"Kenapa tadi?"
"Kakak suka banget sama Pak Sapardi?" ulang Chayra.
"Banget! Puisi-puisinya indah banget. Lalu, novelnya pun juga. Ya ... Meskipun, bagi sebagian orang bilang novelnya agak membingukan karena menggunakan sajak yang sedikit rumit."
Chayra masih terus memperhatikan Alditya dengan antusias. Ia sangat suka jika seseorang sudah membahas sastra.
"Sejak kapan Kakak suka baca karya Pak Sapardi?"
Alditya terkesiap. "Sejak SMP kelas 3. Waktu itu guru SMP gua suka banget bacain puisi. Kalau gak puisinya Chairil Anwar, ya Pak Sapardi." Pandangan mata Alditya menatap lurus. Mengingat guru Bahasa indonesia yang bernama Pak Syarifudin Abbas, membacakan kedua puisi dari penulis yang berbeda.
"Keren banget ya guru lo, Kak. Bisa buat anak didiknya jadi suka sastra."
Alditya mengangguk. Wajahnya menjadi sendu. Ia jadi teringat dengan guru Bahasa Indonesia favoritnya itu. Yang sekarang sudah berada di surga.
"Lalu, kenapa Kakak gak masuk jurusan Sastra Indonesia aja?" tanya Chayra, membuat Alditya terbangun dari lamunannya.
Alditya tertawa kemudian berucap, "maunya si gitu. Masuk jurusan Sastra Indonesia di UI. Tapi, saya terlalu takut. Takut gagal padahal belum pernah mencoba." Alditya menarik napasnya. "Gagal yang paling gagal adalah yang gak pernah mencoba. Dan sekarang gua kesal sama diri gua sendiri. Eh--" Alditya mengaruk tengkuknya. "Sorry, jadi curhat."
"Gak apa-apa Kak."
Alditya bersadar pada bangku bus. Setelah itu, mereka saling diam tak bersuara. Alditya dengan kesenduannya. Dan Chayra yang kini tampak asik menatap langit Jakarta.
Langit Jakarta sore hari menjadi pemandangan yang sangat mengusik Chayra. Meskipun jalanan terlihat ramai dan macet tetapi tidak masalah karena, bisa melihat langit Jakarta kala sore hari lebih lama.
***
Sebuah motor scoopy berwarna hitam berhenti tepat di sebuah rumah berpagar putih. Seorang cowok yang mengenakan jaket denim. Mematikan mesin motornya dan melepas kunci motor, kemudian memasukkannya ke dalam saku celana.
Suara bel yang sengaja dipasang di depan pagar rumah Chayra berbunyi. Chayra masih bergeming, ia malas untuk beranjak dari sofa. Malas ke luar rumah, sebab terkadang suara bel yang berbunyi hanya untuk membuatnya kesal setelah ia membukakan pintu pagar. Contohnya seperti orang yang meminta sumbangan atau petugas sales yang menawarkan pemasangan wifi.
Suara bel kembali berbunyi. Diiringi dengan suara teriakan seorang laki-laki dan ketukan pada pagar rumahnya. Chayra berdecak, ia dengan terpaksa bangkit dari sofa dan melangkah keluar rumah. Suara bel, teriakan seseorang dan ketukan pada pagar rumahnya menganggu gendang telinganya.
'Sungguh menyebalkan'
Chayra keluar membuka pintu rumah dan lamat-lamat ia melihat seorang cowok tengah berdiri di depan pagar rumahnya. Ia mengigit bibir bawahnya, lantaran takut jika orang tersebut adalah orang jahat. Terlebih ia sedang berada di rumah sendirian.
Teriakan cowok yang berada di depan pagar kembali terdengar. Membuat Chayra terkesiap.
"Permisi. Assalamualaikum.."
"Ada orang?" teriak Tafila memastikan.
Kurang lebih lima belas menit Tafila berteriak sambil sesekali menekan bell yang tersedia. Merasa lelah, Tafila pun duduk di motornya. Bercermin pada kaca spion, merapikan rambut yang terlihat berantakan akibat terkena angin malam. Kemudian tidak lama suara pagar yang dibuka terdengar.
"Wa'alaikum salam. Cari siapa ya?"
Tafila mengalihkan pandangannya menatap Chayra. Melihat raut wajah Chayra yang cukup kaget dengan kedatangannya.
"Cari lo," kata Tafila.
Chayra terpaku. Ia menarik napas dalam-dalam menyipitkan matanya. Dan berkata, "Hah? Nyari gua?"
"Kenapa? Gak boleh ya?" kekeh Tafila membuat Chayra bertanya-tanya.
Tetapi, Tafila buru-buru mengelengkan kepala. Sudut bibirnya terangkat, lalu ia tertawa terbahak-bahak.
"Ya kali, tingkat kepercayaan diri anda terlalu tinggi ternyata!"
Chayra mengerutkan dahinya, ia menelisik tidak biasanya Tafila bersikap seperti ini.
"Mau ngapain?"
Tafila memandang Chayra. Ia hanya terdiam. Chayra memutar bola matanya.
"Ya udah kalau gitu, gua masuk."
"Eh—"
Tafila berusaha menghentikan langkah Chayra dengan cara memegang lengannya. Chayra menunggu Tafila berbicara. Namun, ia tidak kunjung membuka suara.
"Jadi gak!" sentak Chayra. Tafila terlonjak kaget.
"Eh, Sorry ... Sorry," ucap Chayra tak enak hati.
"Gua mau pinjem buku catatan Geografi dong. Sama jaket gua tolong balikin," pungkas Tafila.
Chayra tertawa kecil melihat tingkah tengil Tafila. Sejurus kemudian ia menepuk keningnya.
"Oh iya! Hoodie lo belum gua balikin!"
Tanpa permisi dengan cepat Chayra pergi menuju kamarnya. Mencari jaket hoodie milik Tafila yang ia simpan di lemarinya. Seraya mencari buku catatan Geografi miliknya dari balik tumpukan buku tulis catatan mata kuliah lainnya.
Sementara Tafila hanya diam ditempat. Mengetukan jemarinya di atas motor. Akhirnya Chayra bisa bernapas lega setelah mengembalikan jaket milik Tafila. Chayra pun mengambil sebuah goodybag berwarna hitam dari balik pintu kamarnya.
Tafila menyungingkan senyum kala Chayra sudah keluar dari rumahnya. Chayra berjalan sedikit cepat supaya Tafila tidak menunggu lama.
"Ini."
Chayra menyodorkan goodybag pada Tafila. Tafila memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan menerima goodybag Chayra.
"Ok, Thanks. Gua pamit ya?"
Chayra menjawab hanya dengan anggukan kepala. Mata hitam itu memperhatikan Chayra. Setelah itu, ia pun menyalakan mesin motor dan melaju pergi meninggalkan rumah Chayra.