Alditya menghadang Andrian sebelum ketua Lingkar Pena tersebut pergi menuju kostannya. Sambil memegang jaket yang ia sampirkan di bahunya, Andrian menatap heran pada temannya itu.
"Bro, gua pinjam helm dong?"
"Helm? Bukannya lo bawa ya?"
"Bawa. Tapi cuma satu."
"Lah kan lo satu?" Andrian menyipitkan matanya menatap Alditya. Takut-takut selama ini ia salah lihat. Jangan-jangan Alditya ada dua.
"Ya emang gua satu, siapa bilang gua dua. Sejak kapan gua punya kembaran?" Alditya mengedikkan bahunya.
"Siapa tau," jawab Andrian.
Andrian tertawa sumbing. "Udah ah. Pinjam helm dong gua," ucap Alditya tidak sabar.
"Ambil gih di motor gua. Tau kan yang mana?" tutur Andrian.
"Taulah, Woke! Gua pinjam dulu ya. Thanks Bro!"
Setelah mengucap kata itu, Alditya segera berjalan menuju parkiran. Sedangkan Andrian hanya bisa mengelengkan kepalanya, menatap tingkah aneh Alditya.
Kepala Alditya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari di mana keberadaan motor Alditya. Pandangan matanya terhenti saat menemukan sebuah motor beat berwarna hitam dengan body samping motor terdapat sticker logo Lingkar Pena. Andrian pun mengambil sebuah helm yang diletakkan pada kaca spion motor.
"Naruh helm sembarangan banget untung gak dicuri." Alditya terkikik.
Sesudah mengambil helm Andrian. Alditya menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari motor Andrian. Membuka jok motornya mengambil helm miliknya, lalu mengenakan dikepalanya. Dengan segera ia menyalakan mesin motornya tidak lupa menaikkan standar motornya.
Mengendarai motor sembari menyisir jalan menuju pintu keluar kampus. Mencari-cari Chayra yang siapa tahu masih berada disekitaran kampus. Karena, yang ia tahu Chayra dan dirinya searah. Dan karena Bundanya berpesan padanya untuk mengajak Chayra pulang bersama.
"Chayra! Ra!"
Chayra menghentikan langkah kakinya saat mendengar namanya dipanggil. Beriringan dengan suara klakson motor yang tidak henti-hentinya berbunyi. Ia menolehkan kepalanya ketika sebuah motor berhenti tepat di sampingnya. Matanya membelalak saat mendapati seorang Alditya berada dihadapannya.
"Pulang bareng yuk?" tawar Alditya ramah.
"Pulang bareng?"
"Iya, yuk. Searahkan?" Chayra terhening sejenak. Matanya menengadah menatap langit, tidak lama menatap Alditya.
"Kakak ngajakin saya?"
Alditya tertawa hambar. "Iya lah! Udah cepetan, mau gak? Gak mau ya udah!"
Alditya menyalakan mesin motornya, berharap Chayra berubah pikiran.
"Eh, tunggu Kak. Boleh deh," jawab Chayra.
Alditya pun memberikan helm yang baru saja ia pinjam dari Andrian. Yang ia sampirkan pada pengait yang tersedia di motornya. Usahanya berpura-pura pergi menyalakan motornya tidak sia-sia.
Alditya merogoh saku celananya mengeluarkan ponselnya. Ia segera memotret diam-diam Chayra yang sedang mengenakan helm. Agar tidak dicurigai, ia pun berpura-pura menerima telepon dari seseorang.
Chayra turun dari motor matik milik Alditya. Melepaskan helm dan mengembalikannya pada sang pemilik.
Setelah mengantar Chayra—Alditya langsung berpamitan pulang. Chayra mengangguk. Setelah memastikan Alditya tidak terlihat lagi, kaki Chayra melangkah masuk ke dalam pekarangan rumahnya.
Namira tersenyum melihat Chayra yang baru saja pulang. Sudah menjadi kebiasaan Namira, jika Chayra belum pulang ke rumah ia akan menunggu anak semata wayangnya itu diteras rumah.
Chayra yang sudah melihat Mamanya, tersenyum semringah. Ia pun mencium punggung tangannya sembari mengucap salam. Setelah itu, Chayra melepas sepatunya kemudian meletakkan sepatu tersebut di atas rak sepatu yang telah tersedia.
"Tadi diantar siapa?" tanya Namira penasaran. Chayra yang kini tengah membaringkan tubuhnya di atas sofa menatap Namira, mamanya.
"Sama Kak Alditya, Ma." Namira terkejut dan hampir saja menjatuhkan gelas yang berisi coklat untuk Chayra.
"Alditya anaknya tante Lina?" jawab Namira menyelidik.
"Iya Ma." Chayra mengubah posisinya menjadi duduk, ketika Namira meletakkan cokelat panas dihadapannya.
"Eh, anak Mama gerak cepat juga ya?" goda Namira. Chayra tersedak kala mendengar ucapan Namira.
"Maksudnya Ma?" tanya Chayra.
"Itu. Kamu kan baru kenal kemarin. Tau-tau sudah pulang bareng saja."
"I--iih, engga gitu Ma. Aku udah kenal dia sebelum tau kalau dia anaknya Tante Lina." bela Chayra.
"Lho kok, kamu gak bilang kalau sudah kenal? Apa kalian pacaran ya? Atau lagi PDKT?" Chayra sontak kaget dengan ucapan Namira yang semakin memojokkanya.
"Ih, engga Ma!" jawab Chayra cepat. Namira tertawa semringah melihat raut wajah Chayra.
"Sekarang si bilangnya engga. Gak tau nanti ya, Ra?"
"Ih, enggak Maaa..."
"Udah ah, Chayra mau ke kamar ya Ma. Mau mandi." elak Chayra mengindar dari Mamanya. Namira mengangguk.
"Habis mandi, langsung tidur ya?"
"Siap Ma!" jawab Chayra bersemangat. Ia pun mengemblok tasnya. Melangkah menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
***
Chayra menahan napasnya, kemudian beberapa saat menghembuskannya. Perasannya saat sangat tidak enak entah mengapa. Jantungnya berdebar lebih cepat seakan terjadi sesuatu. Ia pun memejamkan matanya berbicara pada alam bawah sadarnya supaya tidak berpikir negatif.
Setelah berdiam diri di pojok kelas. Chayra berjalan ke depan kelas. Membantu temannya mempersiapkan untuk presentasi Klimatologi nanti. Chayra dan kedelapan temannya menjadi kelompok pertama yang harus melakukan presentasi.
Tetapi, presentasi kali ini bagi Chayra akan berbeda entah mengapa. Chayra tidak ingin memikirkan sebuah hal negatif. Namun, hati dan perasaannya berkata lain. Selalu seperti itu, ketika jantungnya berdebar dengan kencang dan perasaannya tidak enak sesuatu terjadi. Chayra mengelengkan kepalanya.
'Gak apa-apa Chayra ... Gak apa-apa.' gumam Chayra.
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Seluruh mahasiswa yang mengikuti kelas Klimatologi sudah berada di kelas. Beberapa saat kemudian, seorang dosen melangkah masuk ke dalam kelas. Duduk pada kursi yang telah tersedia.
Sambil menunggu Pak Restu memeriksa daftar hadir. Raka menarik layar yang digunakan agar pantulan slide power point dari proyektor dapat terlihat dengan jelas.
"Selesai presentasi kalian boleh mengkritik materi apa saja yang kurang atau kurang kalian pahami pada pemateri. Paham?" ucap Pak Restu.
"Paham Pak!" jawab mahasiswa secara bersamaan dengan kepala diangukan.
"Silahkan kelompok satu, dimulai presentasinya," ucap Pak Restu.
Valya mengangguk pasti. Ia bangkit dari duduknya. Membuka presentasi dengan baik. Setelah itu dilanjutkan dengan presentasi.
"Assalamualaikum dan salam selamat pagi teman-teman. Hari ini kami kelompok satu akan mempresentasikan mengenai materi Cabang Klimatologi dan pembagian iklim. Untuk materi yang pertama akan disampaikan oleh Nindya."
Nindya kembali duduk pada tempat duduknya. Dilanjutkan oleh Alya yang sudah bersiap untuk presentasi.
"Klimatologi. Klimatologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mencari gambaran dan penjelasan mengapa iklim dan cuaca di berbagai tempat di bumi bisa berbeda, serta bagaimana hubungan antara iklim dengan kehidupan manusia sehari-hari. Klimatologi merupakan salah satu dari cabang-cabang ilmu Geografi yang sering disejajarkan dengan meteorologi karena memiliki kemiripan, namun keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam kajiannya, meteorologi fokus mengkaji proses di atmosfer sedangkan klimatologi lebih mengkaji pada hasil akhir dari proses-proses atmosfer," jelas Nindya sambil memandang teman-temannya yang duduk pada barisan bangku mahasiswa.
Usai Nindya berpresentasi. Presentasi dilanjutkan oleh anggota lain bergantian hingga materi selesai.
"Silahkan untuk mengkritik materi yang telah disampaikan oleh teman-teman kalian," tutur Pak Restu.
Dari barisan depan sebelah kiri Dixita sudah mengangkat tangan bersemangat. Valya mempersilahkan Dixita.
"Ehm... Cek... Cek.. Satu, dua, tiga. Saya dari kelompok tiga ingin mengkritik bahwa materi yang disampaikan kurang lengkap dan bebarapa yang penah disampaikan
oleh Pak Restu tidak ada di power point. Sekain dari saya, terima kasih." Dixita kembali duduk.
Kini, Valya mempersilahkan mahasiswa lain untuk mengkritik.
"Saya dari Adan dari kelompok dua, ingin menyampaikan kritik saya. Menurut saya materi yang disampaikan sudah baik namun, akan lebih baik jika pemateri menampilkan video atau gambar yang berkaitan dengan Klimatologi agar kami semakin mengerti. Sekian dari saya, terima kasih."
Dixita kembali mengangkat tangan.
"Silahkan Dixita," ucap Valya.
"Saya ingin menambahkan kritikan saya--" ucap Dixita sambil tertawa dan meminta teman-teman kelompoknya diam.
Sambil membaca sebuah kertas kecil yang ia pegang Dixita kembali berkata, "Kritik saya mengenai pemateri membosankan, pemateri seakan tidak mengusai materi dan beberapa diantaranya masih membaca teks yang berada di slide power poin."
Kalimat yang keluar dari Dixita sukses menghujam batin Chayra dan teman-temannya. Seakan tertancap sebuah pisau belati yang sangat tajam, menyentak batin Chayra. Lidah memang tidak bertulang. Begitu ungkapan yang Chayra sering dengar.
"Shit!" umpat Nindya pelan.
"Selain itu--"
Tafila mengangkat tangannya, otomatis membuat perkataan Dixita terpotong omongannya.
"Itu ... Yang angkat tangan silakan berbicara," tukas Pak Restu.
"Saya Tafila Rayhan. Ingin menyangah ucapan Dixita. Di sini yang saya tangkap dari perkataan Pak Restu yaitu mengkritik materi, bukan pemateri. Terima kasih," tegas Tafila. Setelah itu ia pun duduk kembali di bangkunya.
Chayra tidak kuasa menatap Tafila. Ia yang berbicara mewakili anggota kelompok Chayra yang merasa tersudutkan.
Seusai Tafila berbicara, teman sekelasnya berbisik-bisik. Menatap silih berganti antara Tafila, Dixita dan kepada kelompok Chayra
Dixita yang sukanya berkata tanpa dipikirkan terlebih dahulu tanpa ragu, apakah perkataan menyakiti hati orang lain atau tidak. Sudah berkali-kali sikap dan perkataan Dixita membuat Chayra jengah. Rasanya ingin sekali memplaster mulut Dixita atau melempar Dixita ke dalam lubung hitam yang ada di dalam semesta dan menengelamkannya di segitiga bermuda.
Terlihat jahat memang tetapi siapa yang tidak marah jika diperlakukan seperti itu?
Bebohong jika Chayra tidak merasa sakit. Namun, ia tidak ingin menjadi manusia pendendam. Dalam hatinya ia hanya bisa berharap semoga saja Tuhan segera menghapus rasa marah dan dendam yang bersarang dihatinya ini secepatnya.
Eh, bener tuh Tafila.
Iya juga ya.
Ungkap beberapa mahasiswa setelah mendengar sangahan dari Tafila. Kelas menjadi ramai.
Pak Restu berdeham. Beliau merasa presentasi kali ini tidak terkendali dan salah. Beliau pun memutuskan untuk menyudahi presentasi tanpa adanya pertanyaan apapun untuk kelompok Chayra.
"Oke. Saya rasa cukup sampai di sini presentasinya kita lanjutkan minggu depan untuk kelompok lain. Sekian dari saya."
Pak Restu menata buku-buku yang berada di atas mejanya. Kemudian, memasukkannya ke dalam tas. Beliau pun melenggang pergi dari kelas.
Kelas sudah berakhir seluruh mahasiswa pun silih berganti meninggalkan ruang kelas. Chayra, Valya, Nindya dan Alya memutuskan untuk keluar kelas paling akhir.
Tafila memanggil Chayra yang baru saja keluar dari kelas. Setelah menunggunya keluar dari kelas Tafila meminta berbicara empat mata dengan dirinya. Yang mau tidak mau Chayra meminta keempat temannya untuk duluan.
Tafila menatap keempat teman Chayra. Setelah memastikan bahwa keempat teman Chayra pergi. Tafila berkata, "Ra, maafin gua ya?"
Chayra tertawa kecil mendengar ucapan Tafila. Baginya, untuk apa Tafila meminta maaf atas kesalahan yang tidak ia perbuat sama sekali?
'Duh manusia ini, hatinya terbuat dari apa sih?'
Chayra berhenti memainkan ponselnya. Setelah mendengar permintaan maaf yang dilontarkan dari Tafila. Ia tersenyum kecil menatap Tafila.
"Lo gak perlu minta maaf sama gua ataupun teman-teman gua. Jangan meminta maaf atas kesalahan yang bukan lo perbuat," cetus Chayra lancar dari mulutnya.
"Tapi, mereka kelompok gua. Jadi wajar saja gua merasa salah." Suara Tafila terdengar cemas.
Chayra mengelengkan kepalanya. Menatap lekat Tafila.
Tafila mendekat pada Chayra memegang pergelangan tangan Chayra.
"Memang perlakuan Dixita buat gua marah dan kesal. Namun, namanya manusia yang tidak menyukai kita pasti akan mengunakan berbagai macam kesempatan untuk menjatuhkan kitakan? Dan lo gak perlu minta maaf Tafila." Chayra menyingkirkan tangan Tafila dari pergelangan tangannya. Selepas itu, Chayra langsung pergi meninggalkan Tafila begitu saja. Menyusul keempat temannya.
Selesai matakuliah Klimatologi Chayra dan keempat temannya memutuskan untuk pergi makan terlebih dahulu sebelum pulang.
Chayra terduduk diam melihat Alya yang menangis sesengukkan akibat ulah Dixita. Sesekali ia mengubah posisinya, menopang dagu menatap iba pada Alya.
Keempat temannya terlihat sangat kesal dan membuat umpatan yang menunjukkan kekesalan mereka. Chayra memperhatikan jalanan dari balik kaca kafe.
Kehidupan kuliah ternyata seperti ini ya? Orang-orang seakan berlomba menjatuhkan orang lain. Seperti kejadian yang baru saja dialami Chayra dan kelompoknya. Atau temanya yang bertanya namun, ia sudah mengetahui jawabannya. Ia hanya mengetes sampai di mana pengetahuan temannya itu.
Chayra menyungingkan bibirnya.