Siang itu di tengah matahari yang terik di tambah suasana sunyi yang menemani. Jam dinding berbentuk rumah burung berdenting, tepat pukul dua belas siang. Chayra masih terduduk santai di depan televisi sembari menikmati camilan keripik pisang dari toples. Yang tanpa sadar keripik tersebut tersisa setengah.
Padahal keripik pisang tersebut baru saja selesai digoreng oleh Namira—Bunda Chayra. Buru-buru Chayra menutup toples yang berisi keripik pisang tersebut dan menjauhkan dari pandangannya. Keadaan bisa berbahaya jika Namira tahu bahwa keripik pisang yang dia buat sudah habis dan tak tersisa sedikit pun.
"Chayra!" teriak Namira dari arah dapur.
"Iya Ma, kenapa?" sahut Chayra dari ruang tamu.
"Tolong bantuin Mama sini."
"Sebentar ma." Chayra meletakkan toples berisi keripik pisang di atas meja. Dan bergegas menuju dapur. "Ada apa Ma?"
Namira menolehkan kepalanya. Melihat putri semata wayangnya itu. Dengan raut wajah tanpa ekspresi.
"Tolong bantuin Mama, bungkusin brownies ini," ucap Namira, sambil mengeluarkan sebuah brownies cokelat yang baru saja matang dari oven.
Chayra mengangguk mengerti. Sejurus kemudian ia berkata, "Bukannya Mama pesan catering ya?"
"Iya. Tapi ga apa-apa dong buat brownies. Siapa tahu ada yang suka dan mau pesan," ujar Namira dengan pasti. Lagi-lagi Chayra hanya bisa menganggukan kepala.
Tidak lama berselang suara dering ponsel memecah keningan. Ponsel yang Namira letakkan di atas nakas. Penasaran dengan seseorang yang menelepon, Namira melangkah meraih ponselnya.
"Ya halo?"
"Jeng Namira. Ini saya Jeng Lina."
"Oh iya Jeng. Kenapa?"
"Ini anak saya yang antar pesanannya. Alamat rumah Jeng di mana ya?"
"Oh iya Jeng. Di Perumahan Kranggan Permata, Blok B Nomor 31."
"Oke Jeng. Sebentar lagi pesanan siap meluncur ya!" sahut Lina.
"Oke deh Jeng saya tunggu."
"Oke Jeng. Sudah dulu ya."
"Oke."
Selesai sambungan telepon terputus. Namira kembali melanjutkan kegiatan memotong dan membungkus beberapa brownies menjadi beberapa potongan.
"Dari siapa Ma?"
"Itu dari Tante Lina, Ra. Nanti tolong bukain pagar ya kalau cateringnya datang."
"Oke ma."
***
Alditya baru saja selesai mandi. Dengan handuk yang masih terbalut di pinggang serta rambut yang masih terlihat sedikit basah, ia keluar dari kamar mandi. Kemudian, Alditya berjalan menuju sebuah lemari berwarna hitam yang dipenuhi cermin. Membuka dengan perlahan lemari tersebut.
Pandangannya meniti setiap pakaian yang berada di lemari. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil sebuah kaus berwarna hitam polos dan celana berkenan krem untuk dikenakan.
Seusai mengenai pakaian. Alditya memutuskan untuk kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil memainkan game. Ia sangat lelah sebab, sudah hampir seminggu lebih ia telalu sibuk dengan kegiatan kampus. Saat sedang asik merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Terdengar suara wanita paruh baya memanggil namanya.
"ALDITYA.." teriak Lina yang baru saja ingin menaiki anak tangga menuju kamar Alditya.
"Sayang?" ulang Lina. Karena tidak ada jawaban dari Alditya.
"Dit. Nak?"
Lina membuka kenop pintu kamar Alditya. Ia geram dengan anak keduanya itu. Mata Lina langsung terbelalak ketika, mendapati Alditya yang tengah asik bermain ponsel. Lina melipat kedua tangan di depan dada.
"Astagfirullah Alditya!" Alditya refleks meletakkan ponsel di samping tubuhnya. Melihat ke arah Lina—Bundanya yang sudah menahan emosi.
"Iya Bunda? Kenapa?" tanya Alditya ragu.
"Kamu ini. Bunda panggil dari tadi gak nyahut. Tahunya main hp!" Alditya mengaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Maaf Bun."
"Ga ada maaf!" tutur Lina dengan wajah kesal.
Alditya menghampiri Lina. Ia pun langsung memeluk tubuh Lina. Membisikkan kata maaf sekali lagi tepat di telinga Lina.
"Maafin Alditya ya Bunda cantik!" Alditya menengelamkan wajahnya di balik punggung Lina. Lina yang merasa risih pun melepas pelukan Alditya.
"Bunda maafin. Tapi--" Lina menatap wajah Alditya dengan saksama. Alditya menyernyit bingung. "Kamu harus tolongin Bunda!" Alditya menghela napas.
"Iya deh Bun. Apa?" Wajah Lina terlihat semringah.
"Yey! Tolong anterin catering Bunda ya? Ga jauh kok di Kranggan aja." Alditya menepuk keningnya. Pasalnya ia sangat malas untuk diminta mengantar pesanan catering.
"Kan ada Pak Agus Bun?"
"Pak Agus lagi cuti. Istrinya baru melahirkan."
"Bang Genta?" dalih Alditya.
"Abang kamu lagi skripsian. Ga boleh diganggu!" sahut Lina.
"Tapi Bun--" ucapan Alditya terpotong. Kala Lina menyumpal mulut Alditya dengan jari telunjuknya supaya ia terdiam. "Ga ada tapi. Kamu sudah janji tadi! Sudah Bunda tunggu di bawah!"
Lina pun segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar Alditya dan kembali menuju dapur. Alditya mendengus kesal. Dengan terpaksa menuruti perintah Bundanya. Alditya segera mengambil jaket hoodie berwarna abu-abu dari balik pintu kamarnya dan mengenakannya. Tidak lupa ia mengambil sebuah kunci mobil yang berada di meja belajarnya.
"Mana Bun catering yang harus Alditya bawa?" tanya Alditya yang sudah berada di dapur, sambil mencomot sebuah risoles.
"Sebentar Bunda siapin dulu." Alditya mengangguk. Ia pun berjalan menuju ruang tamu dan duduk di kursi ruang tamu. Tidak lama berselang Lina pun datang dengan enam box besar makanan.
"Ini yang harus kamu bawa ya sayang." Alditya melirik Bundanya.
"Oke Bun!" Ia berdiri dari tempat duduknya. Bersiap untuk pergi.
"Ini alamat rumahnya." Alditya menerima sebuah kertas dari tangan Lina. Ia pun mencium punggung tangan Lina dan segera pergi menuju mobil. Tidak lupa dengan enam box makanan yang harus ia bawa.
Alditya menghentikan laju mobilnya ketika telah sampai di depan rumah berpagar putih. Ia mengamati alamat yang tertera pada sebuah kertas yang Bundanya berikan. Ia berkali-kali memeriksa alamat dikertas dengan rumah dihadapanya itu. Pasalnya rumah tersebut adalah rumah Chayra. Ia ingat betul saat, mengantar Chayra sehabis ia terkena lemparan bola basket.
Alditya keluar dari mobilnya dan melangkah ragu memencet bel yang tersedia di depan pagar. Pagar terbuka menampilkan seorang cewek dengan rambut di kucir kuda yang berantakan. Ia berdiri di ambang pintu pagar dengan raut wajah bingung.
"Kak Alditya?"
"elo?"
"Ngapain Kakak ke sini?" tanya Chayra terheran-heran.
"Gua mau anter catering," jawab Alditya dengan pasti. Bukannya mempersilakan Alditya masuk. Chayra kembali menutup pagarnya dan kembali masuk ke rumah.
"Eh woy, lho kok di tutup sih?!" gerutu Alditya.
"Tanya Mama dulu. Siapa tahu Kak Alditya bohong. Sekarang banyak modus penipuan!" teriak Chayra dari teras rumah. Ia pun segera berlari menghampiri Namira.
"Mah."
"Cateringnya udah dateng?"
"Bukan catering Mah."
"Terus siapa? Kok gak disuruh masuk?"
"Orang minta sumbangan Mah!" Namira menyernyit heran. Ia tidak percaya dengan ucapan Chayra. Ia pun mengecek dari balik jendela. Dilihatnya seorang anak lelaki berpakaian rapi dan wajah yang ganteng.
"Itu anaknya Tante Lina sayang. Yang antar catering. Sudah sana buka pagarnya."
"Engga ah Ma. Mama aja ya?" pinta Chayra memelas. Namira menghembuskan napasnya. Ia pun meletakkan brownies terakhir di atas meja.
Alditya memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Ketika mengetahui ada seorang yang berjalan menuju pagar. Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik. Wanita tersebut tersenyum padanya.
"Udah lama ya?"
"Engga kok Tante." Alditya mencium punggung tangan Namira.
"Bunda kamu gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah baik, tante."
"Alhamdulillah. Maafin Chayra ya. Dia emang gitu anaknya, curigaan!" tutur Namira sambil berbisik.
"Iya ga apa-apa Tante," sahut Alditya ramah.
"Ya udah yuk masuk. Di luar panas."
"Iya Tante."
"Kamu parkir aja langsung ya. Nanti Tante panggilin Chayra buat bantu kamu." Namira membukakan pagar rumah lebih lebar agar mobil Alditya bisa masuk ke pekarangan rumahnya.
Setelah selesai memparkirkan mobil. Alditya membuka bagasi mobil seraya mengambil box catering. Sedangkan Chayra berjalan ragu menuju pekarangan rumah. Ia terdiam ketika telah sampai di samping Alditya.
Alditya yang menyadari kehadiran Chayra langsung memberikan dua buah box catering di tangan Chayra. Chayra yang saat itu tidak siap menerima box tersebut gelagapan. Beruntungnya box tersebut tidak terjatuh.
"Buru bawa masuk!" ucap Alditya. Ia telah berjalan terlebih dahulu ingin masuk ke dalam rumah Chayra. Chayra bergegas menyusul Alditya.
"Yang punya rumah kakak atau saya sih?"
"Lo, lah," jawab Alditya santai.
"Kenapa kakak masuk duluan kalau gitu!" protes Chayra tidak terima.
Alditya berhenti melangkah. Ia menatap manik mata Chayra. "Abis lo lama! Buruan masih ada dua box lagu di bagasi mobil gua!" Chayra memberengut.
'Menyebalkan!'
Terima kasih