Selama diperjalanan pulang, udara malam Jakarta cukup dingin. Beruntungnya Chayra mengenakan jaket hoodie pinjaman Tafila. Alditya mengubah posisi kaca spionnya agar dapat melihat raut wajah Chayra ketika sedang berada di lampu merah. Sedangkan Chayra sibuk memeganggi helm bogonya, sambil menatap gedung pencakar langit. Takut-takut helmnya terlepas dari kepala karena, sangat longar.
"Kita makan dulu ya? Gua lapar," ucap Alditya.
"Ha? Apa?" ulang Chayra. Ia tidak mendengar ucapan Alditya sebab ia fokus memperhatikan gedung-gedung pencakar langit yang penuh cahaya berwarna-warni.
"Kita makan dulu. Gua lapar." Chayra tidak menjawab. "Lu mau temenin gua kan?"
"Hah?"
"Temenin gua makan?"
"Oh, terserah." Alditya mengembuskan napasnya kesal.
Alditya segera melajukan motornya ketika, telinganya mendengar suara klakson beberapa pengendara motor yang tidak sabar untuk segera melajukan motornya. Sifat pengendara motor di Jakarta memang seperti itu, lampu lalu lintas baru saja berwarna hijau mereka sudah sibuk mengklakson. Dan seakan-akan diburu oleh waktu.
Pandangan mata Alditya sesekali melihat pinggir jalan raya. Melihat beberapa warung kaki lima serta angkringan yang bisa menjadi tempat singgah untuk mengisi perutnya yang lapar. Pada akhirnya Alditya menepikan motornya pada sebuah warung yang menjual beberapa makanan.
Alditya langsung menarik lengan Chayra masuk ke dalam warung tersebut. Ia langsung duduk pada bangku yang sudah tersedia. Namun, Chayra malah berdiri terdiam.
"Duduk," tukas Alditya. Dengan ragu Chayra duduk dihadapan Alditya.
"Lo mau makan apa?" Alditya memberikan Chayra sebuah daftar menu.
"Gua gak lapar kak," ujar Chayra. Alditya menatap Chayra.
"Lo belum makankan? Udah pesen apa, tenang gua yang bayar deh." Chayra mengelengkan kepalanya.
"Udah cepetan lo mau apa? Gua tau lo lapar, jangan bohong!"
Raut wajah Chayra tampak terkejut, ia memandang wajah Alditya dengan pandangan tidak mengerti. 'Bagaimana dia bisa tahu kalo gua lapar?'
Alditya masih menatap Chayra menunggu jawaban dari gadis dihadapanya ini. Tetapi, ia terdiam dan tidak ada respon sama sekali.
"Mau pesen apa? Cepetan." Alditya mencubit gemas pipi Chayra. Membuat sipemilik mendengus karena kesal. Lucu sekali rasanya melihat raut wajah kesal Chayra.
Semesta kenapa engkau baru pertemukanku dengan dia?
"Mau pesen apa?" ulang Alditya.
Chayra terdiam sebentar. Sebelum akhirnya melihat daftar menu yang tersedia. Ada nasi goreng, ayam goreng, sate, mie aceh, ayam goreng, mie jawa, soto dan masih banyak lagi. Namun, pilihan Chayra tertuju pada soto. Malam-malam dingin seperti ini rasanya enak sekali makan soto. Bisa menghangatkan diri.
"Saya soto aja kak, tapi gak pake nasi ya."
Alditya menganguk mengerti. Ia pun segera menuju ibu penjaga warung untuk memesan makanan.
Hilir mudik kendaraan yang melewati warung yang menjual berbagai macam makanan menjadi pemandangan yang menyita Chayra.
"Permisi mas ini pesanannya."
"Oh iya pak, terima kasih." .
"Sama-sama," ujar pelayanan yang mengantar makanan.
"Buruan di makan."
Chayra mengangguk. Ia menyeruput kuah soto yang masih panas. Sesekali meniup kuah sotonya agar tidak terlalu panas.
Setelah menyantap makanan sampai habis. Alditya pergi ke kasir dan membayar makanan yang telah di makan. Alditya kemudian mengajak Chayra pulang. Ia mengenakan helm bogo dan menaiki motornya. Disusul oleh Chayra yang menaiki motor Alditya. Ia menyalakan mesin motor dan kembali melajukan motornya menuju jalanan Jakarta yang masih terlihat macet.
Chayra mengeratkan tali pengait helmnya, ia mengikat tali tersebut karena helmnya sangat longar. Alditya yang menyadari tingkah Chayra dari balik kaca spion. Chayra langsung menanggapinya.
Sebelum Alditya menyadari tingkah konyolnya itu. Ia berperilaku seolah tidak ada hal yang aneh pada dirinya.
"Mau tukeran helm gak sama gua?" tanya Alditya.
"Ha?"
"Tukeran helm."
"Engga usah engga apa-apa," ujar Chayra. Alditya pun tiba-tiba menepikan motornya di pinggir jalan.
"Lo kok berhenti kak?"
"Tukar helm."
"Engga usah kak."
"Ga apa-apa."
"Tapi beneran deh kak, engga usah."
"Nurut bisa ga?"
Alditya menurukan standar motor dan turun dari motornya. Sementara itu, Chayra tetap duduk pada motor Alditya. Alditya melepaskan helm yang ia kenakan. Meletakkan helm tersebut di atas kaca spionnya.
"Ngapain si ditali-tali kaya gini," ucap Alditya. Ia melepaskan ikatan tali pengait helm yang Chayra kenakan. Chayra tersenyum kikuk.
"Maaf kak."
Alditya hanya bisa mengelengkan kepalanya. Setelah melepaskan helm yang dikenakan Chayra. Ia meminta Chayra untuk memegang helm tersebut, lalu mengenakan helm yang berada di atas kaca spion pada Chayra.
"Mangkannya jadi orang jangan kecil-kecil amat si." Chayra mengerutkan keningnya. "Ga lucu banget kalo helm yang lo pake tiba-tiba jatuh karena kebesaran!" tutur Alditya seraya menurunkan kaca helm yang Chayra kenakan. Chayra mendengus kesal.
Alditya pun segera mengambil helm yang berada di tangan Chayra dan mengenakannya. Ia terkekeh geli, membayangkan jika helm kebesaran yang Chayra kenakan benar-benar terlepas dari kepala atau malah terlepas tetapi masih tersangkut di lehernya.
"Kenapa lo, kak?" tanya Chayra yang melihat perubahan pada raut wajah Alditya.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Udah gila ya?" tanya Chayra polos. Lantas Alditya tersadar dari lamuanannya.
"Eh?" Alditya mengaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kenapa lo kak?"
"Ga apa-apa. Lo itu ternyata udah kecil, lucu, manis, penurut juga ternyata." ucap Alditya pelan.
"Ha? Kenapa kak?"
Alditya tercengah dengan ucapannya sendiri. Ia lantas memilih mengabaikan ucapkan Chayra. Memilih menaiki motor dan standar motornya. Menyalakan mesin dan tidak lupa menurunkan kaca helm, agar matanya tidak terkena debu.
"Kecil, lucu, manis, penurut. Kucing kali ah!" lirih Chayra.
Tidak ada percakapan di antara mereka setelah Alditya kembali melajukan motornya. Hingga saat lampu merah menuju rumah Chayra, Alditya memperhatikan Chayra dari balik kaca spion motor.
"Apa lo liat-liat!" ucap Chayra sambil melotot yang terlihat jelas dari kaca spion. Sementara itu, hanya bisa tertawa dalam diam dan memalingkan wajahnya.
Tiba-tiba saja Chayra memukul helm yang Alditya kenakan.
"Aduh apaan sih lo," tandas Alditya.
"Jalan cepetan udah lampu hijau itu." Alditya langsung melajukan motornya.
"Rumah lo dimana?"
"Kenapa?"
"Rumah lo di mana?"
"Di Kranggan."
Alditya menganggukkan kepalanya mengerti. Kini, laju motornya menuju lokasi yang Chayra katakan. Beruntungnya rumah Chayra ternyata searah dengannya.
Alditya menghentikan laju motornya tepat di depan rumah berpagar berwarna putih. Sesampainya di depan rumah Chayra turun dari motor. Melepaskan helm yang ia kenakan. Cowok itu menatap Chayra yang tampak kesulitan membuka pengait helmnya.
"Bisa ga?"
Dearni menatap sekilas Mahera. "Bisa."
Tetapi perkataannya tidak sesuai dengan tindakan. Ternyata pengait helm tersebut sukar untuk dilepas.
'Ini helm ga ada yang beneran dikit apa ya? Yang satu kegedean yang satu pengaitnya karatan susah buat dibuka,' batin Chayra dalam hati.
Alditya yang menyadari jika Chayra merasa kesulitan untuk membuat pengait helmnya. Ia langsung membantu Chayra. Chayra merasa tegang ketika tangan Alditya bersentuhan dengannya terlebih jarak di keduanya cukup dekat. Setelah pengait helmnya terlepas, Chayra langsung memberikan helm tersebut kepada sang pemilik helm.
"Makasih ya kak!" ucap Chayra. Ia pun menyentuh pagar rumahnya berniat membuka pagar rumah. Namun, ia berhenti karena teringat sesuatu.
"Mau mampir dulu, kak?"
Alditya melihat langit yang sudah mengelap, lalu menatap manik mata Chayra. "Engga deh Kapan-kapan aja."
Chayra mengangguk mengerti. Kini, ia menatap punggung Alditya yang kian menjauh. Setelah sampai di rumah. Chayra membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Mengingat semua kejadian yang cukup aneh namun, berkesan.