Chayra duduk menatap Andrian sambil menopang dagunya. Kini, ia hanya bisa merutuki kebodohannya sendiri.
Kalau saja dirinya tidak lupa membawa tas ranselnya pada saat ishoma (istirahat, sholat dan makan). Ia tidak akan terjebak dalam rapat Lingkar Pena. Sebab, ia bisa saja pergi diam-diam bersama dengan beberapa anggota lain yang tidak ingin pulang terlalu larut malam.
Jam di pergelangan tangan kiri Chayra telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Batin Chayra semakin khawatir karena sejak tadi Namira—bundanya terus-menerus meneleponnya. Padahal ia sudah izin jika hari ini pulang hampir larut malam. Chayra menarik napas sejenak lalu, menghembuskannya.
"Coba itu yang di belakang. Yang pake hoodie putih, jelaskan apa yang saya katakan tadi!" tunjuk Alditya pada Chayra, yang sekarang sudah menggantikan Andrian berbicara pada rapat.
Ranasya yang duduk di samping Chayra, menyadari jika Chayra tidak merespon perkataan Andrian langsung menyenggol tubuh Chayra. Membuat Chayra terbangun dari lamunannya.
"Apa si Sya?" tanya Chayra tanpa rasa bersalah.
"Lo di tanya sama Kak Alditya," bisik Ranasya.
Mata Chayra membulat sempurna saat Alditya menunjuk dirinya. Chayra melirik Ranasya memohon agar Ranasya memberitahu padanya, apa yang Alditya tanyakan pada dirinya.
"Jangan tanya teman! Apa?" ucap Alditya tegas. Chayra hanya terdiam.
"Ga bisakan? Makanya perhatikan!"
Jantung Chayra berdegup kencang saat mendengar Alditya berteriak dan mengema di dalam ruang Lingkar Pena yang tidak cukup luas. Alditya marah. Chayra membeku, tidak berani menatap manik mata Alditya. Terlalu menakutkan untuk dilihat.
'Manusia tidak berperasaan. Seenaknya saja membentak!' rutuk Chayra dalam hati.
Malam semakin larut, namun tidak ada tanda-tanda rapat akan segera berakhir. Chayra mulai merasa kantuk, ia pun menguap. Matanya sudah terasa kering bahwa mungkin sudah memerah akibat menahan kantuk. Tanpa sengaja Alditya melihat Chayra yang telah menguap. Ia menyungingkan bibirnya lalu, berkata.
"Itu yang tadi melamun dan sekarang ngantuk. Lo jadi dokumentasi di pertandingan basket antar fakultas."
Lagi-lagi Chayra dibuat terkejut oleh Alditya. Padahal sejak tadi ia hanya diam. Chayra mengangkat tangannya sebagai bentuk protes. Namun, belum sempat ia berbicara Alditya sudah lebih dahulu berbicara.
"Ga ada penolakan, di sini kita saling belajar!" Alditya tersenyum penuh kemenangan sementara itu, Chayra bersungut kesal.
"Selain basket, seperti yang saja sudah jelaskan akan ada juga voli, sepak bola, dance, paduan suara, dan debat. Maka, kita akan membagi kelompok menjadi lima grup. Di mana masing-masing grup meliput semua acara yang diselenggarakan oleh kampus," tutur Alditya, dilanjut oleh Andrian.
"Jadi kami akan membagi kalian dalam beberapa kelompok dan tentunya akan ada mentor yang mendampingi kalian. Karena, kalian masih tergolong anggota baru. Harap didengarkan baik-baik." Andrian membuka sebuah kertas yang terlipat dari kantung kemeja yang ia kenakan.
"Grup Basket ada Indah, Laras, Kaevan, Ardam, Chayra, Evan dan Winda. Dengan mentor Andrian Geogasi. Grup Dance ada Siska, Pamungkas, Adelia, Arelia, Hadi, Ana, Gianita, dan Ervan. Dengan mentor Langit... "
Chayra menepuk keningnya ketika mendengar Alditya adalah mentornya. Itu berarti mau tidak mau ia harus berurusan dengan manusia menyebalkan itu kembali.
***
"Jam Berapa ini? Pulang-pulang!" ucap seorang security kampus yang tiba-tiba berdiri tepat di pintu base camp. Keadaan menjadi hening.
"Ga tau batas waktu kampus ya?" Semua yang berada di dalam base camp saling melirik.
Andrian selaku ketua pun berdiri dari tempat duduknya. Menghampiri security dan meminta waktu sebentar untuk mengakhiri rapat.
"Oke. Berhubung waktu yang semakin larut maka, kita akhiri rapat hari ini. Istirahat dan selamat menjalankan tugas," tutur Andrian.
'Terima kasih Bapak Security. Aku padamu!'
Langit sudah mengelap jam pun menunjukkan pukul sebelas malam. Rapat berakhir melebihi batas waktu yang diperbolehkan oleh pihak kampus. Petugas keamanan kampus sudah mengerutu serta memarahi seluruh anggota Lingkar Pena. Jadi, mau tidak mau rapat pun harus segera dibubarkan.
Alditya mengenakan jaket berwarna abu-abunya. Setelah menunaikan sholat isya yang tertunda. Akibat keadaan mushola yang terlalu ramai dan dirinya ditugaskan sebagai pembicara rapat. Alditya pun terpaksa menunda sholatnya.
"Lo mau nginep gak?" tawar Andrian.
Alditya menatap Andrian sekilas lalu berkata, "Engga deh. Gua bawa motor. Udah seminggu gua belum pulang ke rumah."
"Waduh! Ya udah deh. Hati-hati ya. Kalau jatuh berdiri sendiri ya, gua ga bisa bantu karena jauh!" Alditya tertawa mendengar penuturan Andrian.
"Ya udah, gua duluan ya!"
Alditya menepuk pundak Andrian dan pergi berlalu menuju parkiran yang sudah sepi. Ia menaiki motor matiknya yang terparkir sendirian di parkiran kampus. Untung saja tidak ada yang berniat jahat pada motornya itu.
Alditya meraih helm bogonya kemudian, mengenakannya. Ia menstarter motor dan kini roda motornya melaju menuju pintu keluar kampus.
Saat melewati halte kampus tempat menuju bus. Pandangan Alditya tertaut pada seorang gadis yang tampak tidak asing baginya. Gadis tersebut menatap layar ponselnya sesekali ia melihat ke arah jalan raya.
Alditya ingin menghampiri gadis itu, mencari tahu sebab ia tidak langsung pulang. Namun, niat itu Alditya urungkan. Ketika gadis itu dihampiri oleh seorang cowok yang mengendarai motor matik scoopy. Raut wajah cowok tersebut terlihat sangat semringah.
Mata Alditya terus memperhatikan gadis tersebut sampai akhirnya manik mata mereka tertaut. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Akhirnya Alditya melajukan motornya melewati halte tersebut. Ia menahan napasnya, entah mengapa ada perasaan sesak di dalam dadanya. Entah perasaan apa itu, ia sendiri pun bingung.