Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik
Jika niat sudah diluruskan, maka hidayah itu akan Allah tampakkan
***
Leon menatap punggung sang mama dengan heran, bukankah tadi mamanya katakan ingin kembali menemui Caca di dapur? Kenapa sekarang malah ngumpet di sini.
“Ma, Kok….”
“Ssttt, diam.”
Leon menurut. Dia jadi ikut penasaran, apa gerangan yang membuat sang Mama sembunyi tidak jelas seperti ini.
Hal pertama yang Leon lihat adalah sepatu dengan hak tinggi yang tadi ia belikan untuk Caca. Sepatu itu tergeletak sembarangan di dekat meja makan. Lalu, kemana sang pemilik sepatu?
“Hahaha, masa, sih, Bi?” Terdengar suara tawa Caca memenuhi ruang dapur. Sejak Siska dan Leon pergi meninggalkannya tadi, Caca memilih mendekati pembantu rumah itu yang sedang meneruskan masakan mamanya Leon yang belum selesai. Dari pada menunggu tanpa berbuat apa-apa, dan berakhir dengan bosan. Dia lebih memilih ikut memasak, setidaknya memasak adalah satu-satunya kegiatan yang Caca suka. Dan setelah perdebatan yang cukup sengit dengan sang bibi yang dia tau bernama Bi Siti, akhirnya dia diperbolehkan untuk membantu.
“Iya, Non. Makanya kalau Nyonya beli ayam itu harus sama kulitnya. Kalau tidak, Den Leon pasti akan ngambek, kayak anak kecil.”
Caca kembali tertawa, sementara tangannya masih sibuk melumuri setumpuk daging ayam dengan adonan yang sudah dia buat.
Siska ikut tertawa, dia jadi ikut-ikutan mengingat bagaimana anak sematawayangnya itu akan merajuk, kalau kulit ayamnya di ambil.
“Jadi pengen nyoba, Bi. Mau lihat gimana ekspresi Leon kalau kulit ayamnya diambil.”
Leon menatap geram ke arah Caca, awas saja kalau dia benar-benar melakukan hal itu. Tidak akan dia ampuni.
“Eh, Bi. Jangan di buka.” Caca segera menghentikan aksi tangan Bi Siti yang hampir memisahkan tutup panci dari pancinya.
“Kenapa, Non? Biasanya bibi buka aja?”
“Kalau di buka, nanti gizinya banyak yang hilang, Bi. Dan juga kalau masak sayur jangan terlalu mateng. Nanti kandungan vitaminnya pada nguap semua.”
Bi Siti terkekeh. Perkataan Caca di telinganya terdengar guyonan, tapi sepertinya dia harus mengikuti saran itu.
“Non Caca, calon dokter, ya?”
“Ah? Ya, bukan, lah, Bi. Emang ada calon dokter seperti Caca? Yang ada pasiennya malah kabur duluan sebelum di suntik.” Kembali mereka berdua tertawa.
“Bi, makanan kesukaan tante Siska, apa?” Untung saja, tadi di dalam mobil Caca sempat sedikit menggali informasi dari Leon, walau sekedar hanya nama dari sang calon mertua.
“Banyak, Non. Nyonya sama kayak Den Leon, suka makan apa aja. Tapi kalau udah ketemu sama makanan kampung, napsu makan nyonya bisa tiga kali lipat.”
“Oh, Ya? Bibi punya kangkung?”
“Ada, Non. Buat apa?”
“Ada, deh. Dimana? Biar Caca ambil.” Caca berjalan menuju kulkas mengambil bahan-bahan yang dia butuhkan. Kakinya yang tak memakai alas semakin memudahkannya untuk bergerak kesana-kemari.
“Bi, Tante suka pedas, nggak?” kepalanya yang masih berada di dalam kulkas membuat Caca sedikit berteriak.
“Suka, Non. Malah pakai banget. Den Leon juga suka.”
“Pas kalau gitu.” Dengan cekatan Caca membuat bumbu untuk lauk yang akan dia buat. Hari ini dia akan membuatkan calon mama mertuanya pelecing kangkung, makanan khas Lombok yang sudah terkenal kelezatannya dimana-mana. Tidak sia-sia dia merecoki mamanya di dapur kemarin-marin. Kalau tidak, mungkin sampai sekarang dia tidak akan tahu menahu dengan dunia perdapuran.
“Kenapa Mama, senyam-senyum?”
Siska sedikit gelagapan dipergoki sang anak senyum-senyum sendiri.
“Mama nggak senyum.” Elak Siska “Kenapa kamu disini? Bantuin Caca sana, kamu, kan juga jago masak. Siapa tahu anak itu sebenarnya tidak bisa apa-apa.”
Leon melongo, menatap kepergian sang mama. Dia segera menurut, menghampiri Caca yang terlihat sedang sibuk atau pura-pura menyibukkan diri.
Leon mengambil sepatu tinggi milik Caca yang tergeletak sembarangan di lantai, menyembunyikannya agar nanti cewek itu kebingungan.
“Apa yang lo lakuin disini?”
Caca tidak menoleh, namun ia sedikit mendengus kesal, menurut Leon selain memasak apa yang sedang dia lakukan dengan pisau dan sayur-mayur di tangannya? Namun berhubung dia lagi baik hati, jadi dia tidak akan mengabaikan pertanyaan Leon, yang memang jawabannya sudah jelas tanpa dia kasih tahu.
“Gue lagi narik angkot, mau naik angkot gue Bang? Arah pasar baru, pasar lama, pasar rusak, pasar…”
“Apa, sih! Garing tau!” Leon menyentil kening Caca.
“Astaghfirullah, Akhi! Tidak boleh seperti itu!”
Bukannya berhenti, Leon kembali menyentil kening Caca. Sepertinya Leon lupa dengan ultimatum yang dia buat sendiri tadi.
“Gue bawa pisau nih! Lo mau gue jadiin perkedel!”
Leon sedikit bergerak mundur ketika tangan Caca yang memegang pisau terarah kepadanya.
“Aduuuh, Den Leon sama Non Caca, so sweet banget.” Suara Bi Siti mengalihkan pandangan keduanya. Tatapan mereka berdua begitu lekat ke arah Bi Siti, mana ada orang sosweet seperti ini. Mau bunuh-bunuhan baru ada.
“Bi, mau tahu yang so sweet itu, kek, gimana?” Bi Siti dengan polosnya mengangguk.
“So sweet itu ketika lagi masak berdua, terus saling siram sama minyak panas sambil ketawa bareng. So sweet, kan?”
Leon bergidik, membayangkan saja bulu-bulu halus di tubuhnya seketika terangkat. So sweet apanya? Melepuh, iya!
“Lo, mau masak? Emang bisa? Nggak yakin gue.”
Kedua bola mata Caca berotasi 360 derajat.
“Wah, sepertinya lo remehin gue, nih!” Caca berkacak pinggang masih dengan pisau di tangannya.
“Gue nggak ngeremehin, tapi tampang kayak lo sepertinya memang nggak bisa masak.”
Caca menatap sangar ke arah Leon.
“Non, Den Leon jago masak, loh!”
Caca mengangkat sebelah alisnya sembari tetap menatap retina hitam itu.
“Oh, ya? Kalau gitu, mari kita duel. Siapa masakannya yang paling disukai sama Tante Siska dan Bi Siti itu yang menang. Gimana?”
Leon semakin tersenyum meremehkan, dia yakin kedua orang yang disebut Caca tadi pasti akan memihak kepadanya, masakannya jelas akan jauh lebih enak.
“Ok! Siapa takut. Yang menang akan mendapatkan hadiah yang dia mau!”
Mata Caca semakin berbinar, selain akan membuktikan perkataan Leon yang salah tentang dirinya, dia juga akan mendapatkan apa yang akan dia mau. Menarik juga. Jika sudah membahas soal hadiah, maka semangat empat lima akan membara dalam diri Caca, selain pemburu makanan dia juga pemburu hadiah.
“Ok!” Leon mengulurkan tangannya yang disabut antusias oleh Caca.
Maka pertandinganpun segera dimulai, Bi Siti dengan senang hati menyiapkan bahan-bahan yang diminta oleh dua makhluk yang tanpa sadar mengurangi pekerjaannya hari ini. Bi Siti tidak perlu repot-repot untuk memasak, dan sepertinya sekarang dia memiliki waktu untuk beristirahat.
“Awas kalau lo curang!”
Leon sedikit mundur ketika Caca mengayunkan pisau tanpa rasa takut ke arahnya.
“Bisa nggak? Lo nggak main nodong-nodong pisau?”
Caca tidak menjawab, namun dia mengalihkan tangannya yang memegang pisau ke arah lain. Kompetisipun dimulai, Caca dan Leon dengan cepat mengambil bahan-bahan yang akan mereka sulap menjadi masakan yang lezat.
Tidak butuh waktu lama, hanya 20 menit berlalu mereka berdua akhirnya sama-sama menyelesaikan beberapa menu untuk makan malam kali ini. bertepatan dengan itu azan maghrib berkumandang. Siska muncul dari ruang tamu sembari menatap dua orang yang kini tengah menata makanan di meja.
“Le, sholat dulu. Ke masjid sana!”
“Di rumah aja ya sholatnya, Ma. Kali ini saja.”
Siska menggeleng. Interaksi antar anak dan ibu itu tidak luput dari pandangan Caca. Terlihat jelas sekali kalau Siska sangat menyayangi Leon.
“Laki-laki itu sholatnya di masjid, bukan di rumah, Le!”
“Baik, Ma.” Dengan langkah setengah ikhlas Leon keluar mengindahkan perintah sang mama.
Caca seketika tersadar, perginya Leon berarti meninggalkan dirinya dengan calon mertua berdua. Rasa gugup mulai menghampirinya, bagaimana nanti jika dia ditanya sesuatu yang tidak bisa dia jawab.
“Caca, Sholat?”
“Ah, i-iya, Tante.”
“Kalau gitu sholat berjama’ah sama tante, yuk.”
“Mampus, gue!” pekik Caca dalam hati. Caca semakin panik, seingatnya dia terakhir sholat ketika kelas enam SD, itupun diajarkan karena ada materinya.
“Ca, kenapa?”
Suara Siska menyadarkan Caca dari kepanikan yang dia rasakan. Caca segera mengangguk dan mengikuti langkah Siska menuju musola kecil yang berada di dalam rumah tersebut.
“Tante ambilin mukenah dulu, ya. Wuduhnya di sana, nggak apa-apa lepas hijabnya di sini saja, tidak ada laki-laki yang lihat.”
Caca hanya bisa mengangguk, menurut sekaligus bingung harus bagaimana. Namun bagaimanapun dia tidak boleh mempermalukan Leon, jika menurut mamanya leon, Maudy adalah calon mantu idaman karena dia terlihat shaleha, maka dia harus lebih baik dari Maudy.
“Ini, nih! Kalau islamnya cuma di KTP doang, urutan wudhu aja nggak tahu, dasar gue!” rutuk Caca pada diri sendiri. Meski masih bingung, Caca tetap bergegas ke kamar mandi, dia dengan cepat membasuh beberapa bagian tubuhnya.
“Telinga atau kepala dulu ya?” Caca masih sibuk dengan dirinya, memikirkan urutan basuhan wudu yang benar, ketika suara Siska membuatnya harus segera keluar dari kamar mandi.
“Tau ah! Intinya yang terakhir kaki.” Caca mengakhiri kebingungannya dengan membasuh ujung kakinya. Caca berpura-pura mengelap sisa air yang mengalir dari wajah dan tangannya, berharap agar mamanya Leon tidak curiga sama sekali kalau sebenarnya dirinya belum tahu urutan wudhu yang benar.
“Mau jadi imam?”
Caca dengan cepat menggeleng, jangankan menjadi imam, sholat sendiri saja dia jarang, bahkan bisa dibilang tidak pernah dari semenjak dia pubertas.
“Tante saja,” jawab Caca sopan. Siska mengangguk dan mengambil posisi sedikit lebih depan daripada Caca. Caca berdoa dalam hati, semoga dirinya tidak salah gerakan dalam sholatnya.
Caca tergugu dalam sholatnya, baru saja mamanya Leon membaca surah alfatihah, hatinya sudah bergetar tak menentu. Suara halus namun merdu itu sangat lembut masuk ke dalam gendang telinganya. Meski tidak paham dengan apa yang ia dengar, tapi hatinya perlahan terasa tenang, perasaan yang tidak pernah dia rasakan selama ini, muncul mendamaikan hatinya.