Manusia tiddak akan bisa merubah seseorang
Jika memang dari hati orang tersebut belum mau berubah
***
Caca melihat Leon bersandar di mobilnya sembari terus melihat jam di pergelangan tangannya, membuat Caca semakin mempercepat langkah.
“Ayo, jalan!”
“Eh?” Leon yang memang dari tadi tidak melihat keberadaan Caca, sedikit terkejut karena Caca tiba-tiba sudah membuka pintu mobilnya. Tidak mau mengulur waktu lagi Leon segera memutar untuk masuk ke dalam mobil juga.
“Astaga!” Pekik Leon ketika melihat siapa yang ada di sampingnya.
“Apa? Ayo jalan! Katanya udah telat, gimana, sih!” Caca masih sibuk menguncir rambutnya. Bian memang benar, seharusnya tadi ia berpenampilan biasa saja, sekarang dia sendiri yang merasa kerepotan.
Leon tidak menjawab, namun matanya masih lekat memandang Caca yang masih sibuk sendiri.
“Lo! Ishh!” geram Caca sembari menatap Leon tak suka, karena menatapnya seperti itu. Tak memperdulikan Leon, dia segera mengambil sepatu yang dari tadi dia tenteng dan belum sempat dipakai.
Caca bingung sendiri ketika tak menemukan sepatu yang dia cari, yang ada di sini hanya sepatu bot seperti miliknya yang ia sering pakai berkebun di belakang rumah.
“Sepatu gue kemana? Lo sembunyiin, Ya?” tuduh Caca sembari melotot ke arah Leon.
“Lo, niat nggak, sih buat ketemu nyokap gue? Oh, atau lo sengaja dandan kayak gini, biar nyokap gue ilfeel, gitu? Dan gue akhirnya tetap tunangan sama Maudy!”
Tatapan sangar Caca kini berganti menjadi bingung. Apa maksud Leon? Caca sendiri sudah berusaha dandan cantik dari satu jam yang lalu, waktunya yang mahal itu terbuang sia-sia hanya gara-gara mengikuti tutorial make up yang sama sekali tidak membantu dirinya.
Kelopak mata Caca merekah sempurna saat dia mengingat kalau make up yang dia pakai sudah dibersihkan setengah.
“Minggir!” Caca segera bergerak mendorong Leon agar memberinya ruang untuk berkaca di spion mobilnya.
“Ya ampun, Leon!”
Leon sebenarnya ingin tertawa, namun dia sudah terlanjur menunjukkan wajah kesalnya. Dari ekspresi yang Caca tunjukkan, menandakan bahwa dia juga tidak menyadari bagaimana penampilannya sekarang.
“Gimana dong ini?” Wajah Caca tampak memelas. Mana bisa dia pergi menemui orang tuanya Leon dalam keadaan mukanya yang seperti badut. Biarpun dirinya setengah hati menjalani kesepakatan ini, tapi dia tidak akan mau membuat dirinya sendiri malu. Mau ditaruh dimana mukanya nanti?
“Ya, mau gimana! Biarin aja seperti itu.” Leon pura-pura tak peduli, meski dia sendiri tidak akan membawa Caca kerumahnya dalam keadaan seperti itu, bisa-bisa rencananya gagal total sebelum dimulai.
“Leon! Gue serius, Gue lupa bawa tisyu lagi buat hapus ini semua! Gara-gara lo, sih, suruh gue dandan yang cantik. Kan, jadi gini!”
Bukankah seharusnya Leon yang kesal disini? Dirinya sudah menunggu cukup lama dan sekarang kembali memolorkan waktu hanya gara-gara Caca berwujud seperti badut dufan yang ternistakan.
“Terus itu? Kenapa lo malah bawa sepatu bot? emangnya rumah gue di tengah sawah!”
“Ah? Jadi ini beneran sepatu gue?”
“Kok, malah nanya ke gue! Menurut lo?”
Caca segera memeriksa sepatu bot yang ada di dekatnya. Dan benar saja sepatu itu punya dia. Akibat buru-buru dia jadi salah ambil, niatnya mau ambil sepatu kets kenapa malah yang kebawa sepatu bot.
“Iya, bener. Punya gue.” lirihnya lesu.
Perasaan, dia ketemu kakanya tadi di ruang tengah, tapi kenapa Bian malah diam saja, melihat dia berpenampilan seperti ini. Awas saja, dia akan membuat perhitungan sama Bian sepulangnya nanti.
“Terus sekarang gimana? Apa gue balik ke rumah lagi?” Leon menggeleng, dia segera melajukan mobilnya membelah jalan dengan cepat.
***
Kini mereka sudah berada di depan rumah Leon, namun sebelum itu Leon membawa Caca ke salon untuk di make over, meski ujung-ujungnya Caca lebih memilih untuk mempoles tipis wajahnya.
“Leon, lo serius, gue harus kayak gini? Lurus banget ”
“Kenapa, nggak suka?” tanya Leon pura-pura. Dia sebenarnya tahu kalau Caca pasti tidak terbiasa dengan penampilannya yang sekarang.
“Suka, tapi kelihatan alim banget gue. Nggak cocok sekali sama sifat gue.”
Leon menarik napas dalam, sepertinya mulai sekarang Leon harus menyetok rasa sabar yang banyak, karena meladeni Caca tidak cukup dengan tenaga dan ucapan saja.
“Ini lagi, kenapa nggak beliin yang kets, sih?! Kenapa harus sepatu tinggi kayak gini?” Caca memegang tangan Leon sebagai tumpuan agar dia tidak jatuh ketika berjalan.
“Biar keleihatan anggun sedikit, Ca!” ucap Leon geram.
“Tapi gue susah jalan! Udah pakai rok panjang gini, lo lagi nambahin sepatu sepanjang derita hidup gue.” Caca masih saja terus menggerutu.
“Belajar pelan-pelan, sambil pegang gue. Kata orang, sih, belajar pakai sepatu ginian nggak akan lama. Tapi nggak tau di lo-nya”
“Lo nyemangatin, apa nyindir, sih?”
Leon tidak menggubris, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan agar Caca mulai untuk belajar berjalan.
Mereka memang belum masuk, karena Caca yang memang belum bisa berjalan dengan lancar memakai sepatu tinggi tersebut. Jadinya mereka masih berada di halaman rumah Leon sembari berjalan mondar-mandir untuk melatih Caca berjalan dengan lancar.
“Nyusahin juga lo, ya lama-lama!” Gerutu Leon.
“Lo yang salah, ngapain beliin gue sepatu ginian!”
“Lo juga nggak ngebantah tadi di toko, malah sekarang ngomelnya!”
Baiklah, perdebatan kembali terjadi diantara mereka, sampai mereka capek sendiri, dan mengakhiri itu semua. Setelah Caca merasa dirinya lumayan pandai mengendalikan sepatu yang hanya memiliki hak sebesar tusuk cilok itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk masuk.
Rasa gugup mulai menghampiri Caca, bagimanapun ini baru pertama kali dia bertamu ke rumah cowok dan langsung akan dikenalkan kepada orang tuanya. Gila bukan, sih?
“Tunggu!” Leon menghentikan langkah membuat Caca hampir saja menabraknya.
“Apa lagi?” tanya Caca geram.
“Nanti di dalam, kita nggak boleh dekat-dekat, apalagi sampai pegang-pegangan tangan atau apa. Ngerti?”
Kening Caca mengerenyit heran namun karena tak mau mengambil pusing Caca langung menganggu. Lagian, siapa juga yang ingin pegang-pegangan sama laki-laki seperti Leon.
“Bagus.”
Mereka kembali meneruskan langkah. Debaran di jantung Caca kembali terasa ketika dia melihat sosok perempuan yang terlihat anggun dengan balutan hijab sedada walau hanya dari belakang.
“Assalamu’alaikum, Ma.”
Caca sedikit mencibir mendengar Leon begitu lembut ketika mengucapkan salam kepada Mamanya. Kalau sama dia, pasti ngomongnya ngegas.
“Wa’alaikumussalam, udah pulang, sayang?” Caca belum bisa melihat bagimana rupa dari mamanya Leon, tapi hanya lewat suara dan penampilannya dari belakang saja, Caca yakin perempuan yang tengah sibuk dengan penggorengan dan sutil itu adalah wanita yang cantik dan anggun.
Leon memang mengajaknya langsung ke dapur, karena sang mama kalau sore seperti ini pasti sedang berkutat dengan alat dapur.
“Ucap salam,” bisik Leon. Tak ingin mendebat Caca mengikuti perintah Leon.
“Assalamu’alaikum. So-sore, Tante.”
Gerak tangan Siska terhenti, ketika mendengar ternyata anak laki-lakinya tidak sendiri melainkan dengan seorang gadis.
“Bi, tolong lanjutin, ya.” Siska tersenyum ramah kepada pembantunya sebelum ia menghampiri sang anak dengan tatapan menyelidik.
“Bersikap baik, jangan bar-bar.” bisik Leon, ketika melihat tatapan sang mama.
Caca mendengus kesal. Selalu saja orang-orang memperingatinya seperti itu, apakah sebar-bar itukah sikapnya sampai-sampai orang harus terus saja mengingatkannya untuk bersikap sopan. Apakah orang lain tidak bisa membiarkan dirinya hidup sesuai apa yang dia inginkan? Caca rasa Selama ini sikapnya tidak pernah merugikan orang lain, kecuali Akbar tentunya, Karena kalau Akbar memang sering dia porot, tapi Akbar malah baik-baik saja.
“Iya bawel, lama-lama lo kayak Bokap gue.” tukas Caca tak kalah lirih, karena Siska semakin dekat dengan mereka. Caca mencium tangan Siska dengan hormat, tak lupa senyum terbaiknya dia tampilkan.
“Tumben bawa teman perempuan ke rumah, Le. Ada tugas, ya?”
Le? Apa Mamanya Leon tidak ada panggilan yang lebih indah selain Le? Otak Caca yang memiliki IQ rendah jadi berlayar kemana-mana. Le, Caca, kan mikirnya Ikan Lele. Caca sekuat tenaga merapatkan kedua bibirnya, agar tawanya tidak membahana di ruangan ini. Bisa-bisa imagenya turun di depan calon mertua. Eh? Apa yang tadi Caca pikirkn, calon mertua?
“Saya Caca, Tante.” Caca memperkenalkan diri dengan sopan.
“Dia, calon istri Leon, Ma.”
Kelopak Mata Caca merekah, kaget tentunya karena ia tidak menyangka kalau Leon akan memperkenalkan dia secepat ini sebagai calon istri. Caca juga bisa menangkap raut wajah kaget dari Siska. Wajar saja, seandainya Caca yang berada di posisi Siska, dia mungkin akan jauh lebih menampakkan ekspresi kaget dan tidak percaya, bahkan mungkin dia akan langsung memarahi Leon atau paling parah akan langsung menghapus nama Leon dari daftar kartu keluarga. Sudah dicarikan calon yang bagus, Leon malah anggurin, dan lebih memilih dia sebagai calon istri. Eh, sebentar, kenapa otaknya bisa sampai berpikir seperti itu, itu sama saja Caca menganggap dirinya tidak lebih baik dari pada Maudy.
Dan apa tadi? Bukankah dia juga sudah dipilihkan jodoh oleh sang papa, berarti dia sama saja dengan Leon? Caca menggeleng, dia tetap beda. Leon dan dirinya berbeda. Leon sudah tahu dan melihat siapa yang akan dijodohkan dengan dirinya. Sedangkan Caca, dia sama sekali belum tahu bagimana bentuk dan rupa orang yang akan dijodohkan dengan dia. Bisa jadi lubang hidungnya besar sebelah, atau mungkin lubang hidungnya menghadap atas.
“Mama, mau bicara!” Suara tegas itu terdengar lirih. “Caca tunggu di sini sebentar nggak pa-pa?” Caca mengangguk, dia kagum dengan sifat dari mamanya Leon, Caca tahu perempuan paruh baya itu sedang menahan marah, tapi masih saja menampakkan sikap manis kepada dirinya.
“Leon!”
“Iya, Ma. Leon tau! Tapi, Leon benar-benar nggak mau dijodohin sama Maudy!”
“Jadi, itu alasan kamu membawa gadis itu ke sini? Apa jangan-jangan kalian cuma pura-pura di depan Mama?”
Leon bungkam, dia tak menyangka sang mama akan secepat ini menebak, dan tepat sasaran.
“Leon.”
“Iya, nggak, lah, Ma. Leon sama Caca itu sebenarnya sudah lama kenal. Tapi, karena memang kami sama-sama lagi fokus kuliah, makanya jalani masing-masing dulu. mama sendiri yang bialng sam Leon, dekati anak orang kalau sudah siap, dan sekarang Leon sudah siap.” Dalam hati Leon berharap mamanya percaya dengan alibi yang dia buat.
“Setidaknya kenalan dulu sama dia, Ma. Setelah itu terserah Mama, tapi Leon harap Mama lebih memilih pilihan Leon.”
“Baiklah, kalau Mama tidak suka, kamu harus bertunangan sama Maudy. Bagaimana?”
Dengan hati setengah terpaksa, akhirnya Leon mengangguk. Tapi sepertinya dengan berat hati dia harus bertunangan dengan Maudy, karena Leon sendiri tidak yakin, apakah sang mama akan menyukai Caca, cewek yang kemarin dia sendiri kenal tanpa sengaja.
“Gue seharusnya bawa cewek yang nggak gila. Sekarang sia-sia, dong. Akhh!”
Leon sekarang malah tambah pusing, sementara mamanya sudah kembali menuju dapur. Lebih baik dia juga segera ke sana, memastikan kalau cewek yang dia bawa tidak banyak tingkah.